Dari dulu saya ngga suka lari. Saya lari hanya untuk memenuhi sesuatu, dan sesuatu itu pasti bukan untuk kesenangan. Pelajaran olahraga SD-SMP-SMA, pemanasan lari keliling lapangan basket, ujian saringan masuk PNS, dan program samapta kantor adalah beberapa peristiwa mengenaskan di mana saya lari sempoyongan, megap-megap kehabisan oksigen, dengan tangan terkulai hampir menyentuh tanah. Selalu di urutan terakhir.
Lalu sampailah saya di Amerika, negeri kebebasan dan impian berjuta manusia. Di sanalah saya melihat betapa olahraga lari sangat digemari. Lari hampir menyamai kecintaan warga Amerika akan wahana roller coaster nan mendebarkan, juga memabukkan. Entahlah, mungkin bagi orang Amerika, berlari adalah tantangan paling ecek-ecek dibanding tantangan lain untuk menjawab panggilan jiwa petualang dan pacuan adrenalin mereka.
Di Boulder, CO dan Bloomington, IN saya sempat menyengajakan diri menonton para pelari itu, biasanya sambil nongkrong di perpustakaan atau kedai kopi. Laki-laki dan perempuan, kaya dan kurang kaya, tua dan muda, ganteng dan jelek, cantik dan biasa saja, kurus dan gemuk, cepat dan lambat, berpakaian trendi dan bikini. Mereka semua berlari dengan gaya sendiri-sendiri. Hanya dua yang terlihat sama pada mereka. Ear set nempel di kuping terhubung dengan, karena mereka Amerika, tentu saja iPod atau iPhone. Yang kedua adalah, kemungkinan besar, niat. Tak peduli siang atau malam, cerah atau hujan, lurus atau menanjak, mereka terus berlari. Entah apa yang dikejar atau dicari. Saya, yang mudah terpesona oleh berbagai hal, tentu saja ‘meleleh’ dengan pemandangan menawan tersebut. All things about determination, hard will, and endurance fascinate me. Saya memang harus bilang “Wow”.
Saya lalu mulai berniat lari. Hal keren wajib dicoba. Tapi berjalan di treadmill di gym kampus adalah hal terdekat yang mungkin bisa dikaitkan dengan lari. Saya menyerah, jarang ke gym lagi.
Lalu sampailah saya kembali ke Jakarta tahun 2009. Ternyata lari juga mulai digemari di sini. Saya terinspirasi oleh banyak orang: pengusaha, selebritis, pemain biola, atlit. Terinspirasi juga dari kisah-kisah heroik kompetisi Ironman, tentang mengapa dan bagaimana mereka akhirnya bisa menyelesaikan apa yang mereka mulai. Saya mulai mencoba lagi untuk berlari. Saya jajal gym kantor, Monas, dan daerah kompleks rumah. Tapi peristiwa mengenaskan itu selalu terjadi. Saya lari sempoyongan, megap-megap kehabisan oksigen, dengan tangan terkulai hampir menyentuh tanah. Mau pingsan rasanya. Saya protes, selebritis aja bisa… kenapa saya enggak????
Tapi saya lagi-lagi menyerah. Benar kata orang bahwa running is not about how fast you move, but how fast you quit. And I’m such a hanging low, cheap quiter.
Saya setengah mati mencari cara agar saya tidak menyerah. Saya inventaris alasan-alasan klasik andalan saya: nggak ada waktu, sibuk, nggak enak badan atau masuk angin, mau ada meeting pagi, kesiangan bangun, jalanan menuju gym kantor atau Monas macet, dan beribu alasan kreatif lainnya. Dan semakin dipaksa, saya yakin saya pasti mampu mengeluarkan jurus-jurus menghindar yang lebih jitu lagi.
Jadi bagaimana nih? Slesta, sang pendiri The Urban Mama, bilang bahwa dia berlari karena berbagai alasan baik. Teman kuliah saya, Susan J., berlari untuk mensponsori sebuah yayasan cure for cancer. Gurunya Kaylia –bersama istrinya yang baru-baru ini melahirkan dan mulai berlari lagi setelah minggu ke-6-- di Bloomington berlari karena mereka suka melakukannya. Night or day, rain or sunshine…just let them run!
Tapi saya nggak punya alasan-alasan itu. Kenapa saya harus lari? Keinginan untuk jadi keren dan being part of the happening trend in Jakarta sudah luntur didera napas ngos-ngosan dan mata berkunang-kunang di menit ke-5. Nggak papa deh ngga jadi keren. Body ramping dan seksi yang didamba nggak sepadan dengan paru-paru yang mau meledak. Niat mulia menjaga kesehatan juga kandas tersengat panasnya matahari Jumat pagi di Monas. Jaga kesehatan kan nggak cuma dengan berlari. Ckk, nothing is easy about running.
Sekarang sudah Oktober 2012. Dan saya masih belum berlari juga. Sebagai seorang quiter sejati, saya pasti gampang untuk melupakan urusan lari-lari ini. Tapi sementara saya mengerek bendera putih itu, saya masih usaha nawar. Gimana kalo jalan (ya jalan kaki lahhh…)? Susan S. Paul --seorang coach olahraga lari-- memberikan secercah harapan, pelari pemula bisa memulai dengan program jalan kaki selama 12 minggu, sekitar 2-3 kali seminggu. Very promising and attainable. Siapa tau? Meski prospek saya untuk menjadi pelari tetap tipis, saya cukup bisa mengandalkan diri sebagai seorang pejalan kaki yang hepi. Days only, sunshine only… just let me walk happily!
Dan sampailah saya pada saat yang berbahagia itu. Saya mulai berjalan lagi hari ini. 30 menit berjalan dengan selingan 3 kali lari 2 menitan. Plus sepedaan 10 menit dan cooling down 10 menit. Semuanya di depan TV gym kantor yang menayangkan channel TLC: Man vs Food. O, yeah..... I am so happy.
No comments:
Post a Comment