Saturday, October 27, 2012

Week #4 First Challenge



Minggu ke-4 program jalan-lari termasuk minggu yang menarik dan menantang. Sejak Senin malam sampai Kamis siang, saya duduk bersama rekan-rekan kantor. They are like the kings and queens of our banking reporting systems. Saya belajar banyak dari mereka tentang Data Point Model selama 4 hari itu.

Kebetulan Indra dan Adi, rekan satu departemen saya, juga termasuk yang rajin lari atau nge-gym. Indra punya program lari minimal 5K per minggu untuk menjaga kesehatan. Adi selalu berusaha ngga ninggalin olahraga di mana pun berada. They both are part of high-flyer pool in my department. And they’re cool and nice and seem very please and happy with their lives. So, they just escalated the issue about high possibility to be fit and well and happy at the same time.

Meski di Hotel Borobudur tersedia 700m jogging track, saya tetap konsisten di ruangan fitness yang ternyata cukup bagus (ada juga lho hotel yang gym-nya enggak banget). Saya punya target 4min vs 6min. Selasa sore saya sukses menjalaninya. Jalan dulu 4 menit, terus lari 6 menit; sebanyak 3 set. Bonusnya sepeda statis dan pendinginan sampai total 45-50 menit.

Tapi hari Kamis sore menandai kekalahan saya yang pertama selama 4 minggu ini. Saya capek banget hari itu. Pagi-pagi saya bolak-balik Borobudur-Kalimalang-Borobudur (ambil temporary report  di sekolah Miss K), total perjalanan cuman 34 KM-an tapi nyetirnya 2 jam. Setelah bubaran Hotel Borobudur, saya janjian sama Cica di perpustakaan kantor untuk review essay dan recommendation letter buat daftar program MBA-nya. Ketika sudah sampai di gym kantor sore-sore, saya baru sadar kalo HP saya tertinggal di toilet perpustakaan, jadi saya balik lagi ke sana. Syukur Alhamdulillah, HP itu masih jadi rezeki saya. Total jalan kaki mondar-mandir jadinya lebih dari setengah jam. Akhirnya ketika lari di set ketiga, saya nyerah.. hanya sanggup lari 4 menit.  

Butuh waktu lumayan lama untuk mengusir rasa gagal itu. Rasanya menyesal banget. Tapi saya sadar, ini adalah program jangka menengah, jadi nggak usah terlalu dipikirin. Apalagi saya termasuk orang yang terlalu aware sama kegagalan atau kesalahan. Well, siapa juga yang peduli bahwa saya gagal yang 2 menit itu? I fell down, but I got up again. That’s the most important thing.

Just let me doing what makes me happy and fulfilled. There’s no point if it’s not fun anymore. 

Beauty, Love, and Happiness


Menjadi cantik, jatuh cinta, dan bahagia rasanya seperti mengikuti sebuah permainan perasaan dan pikiran. Kisah saya sendiri dalam berburu perasaan itu adalah kisah panjang yang dibumbui penyangkalan, pengakuan, dan ketidakpedulian.  Meskipun definisi dari apa yang disebut cantik itu relatif, bahkan tidak terbatas, tapi saya merasakan dan menyaksikan kecantikan tetap berdampak dalam kehidupan seseorang. Kehidupan cintanya. Pangkal dari bahagianya.

Menjadi cantik, menarik, dan mempesona sudah menjadi salah satu cita-cita saya sejak saya menyadari bahwa saya tidak terlalu cantik, menarik, atau mempesona. Ketika umur saya sekitar 7 atau 8 tahun, saya sadari bahwa anak perempuan dengan beberapa gigi depan yang tanggal, berambut tebal pendek kaku yang bau keringat bercampur debu, lutut berboncel bekas luka parut, kulit menggelap hasil mandi matahari, serta tawa terbahak tanpa malu akan sangat sulit untuk disebut cantik. Saya cukup tabah saat itu, kenyataan tersebut tokh bukan suatu masalah besar. Punya cita-cita menjadi cantik sungguh sangat berbeda dengan punya masalah dengan kecantikan. Itu motto saya sejak SD. Lagi pula, ibu saya tidak pernah menyinggung sedikitpun hubungan antara kecantikan dan keberhasilan hidup. Mungkin saat itu memang tidak terlihat ada hubungannya.

Untungnya gua-gua ompong di gusi saya itu akhirnya terisi, rambut saya tumbuh semakin panjang dan tidak terlalu berbau, lutut dan siku saya yang penuh goresan bisa tertutupi celana panjang dan kaos tangan panjang, sedangkan kulit saya lama-lama kembali ke warna aslinya, yaitu sangat sawo matang. Tapi saya tak kunjung menjadi cantik. Tidak masalah juga. Sampai muncul berbagai hal baru dalam kehidupan saya.

Pada umur 17 tahun, hal-hal itu sungguh menakutkan. Badan saya berhenti tumbuh ke atas; yang bertambah adalah berat badan saya. Ketika pemilihan “Teman ter-..” di pesta kelas, saya terpilih jadi “ Wulan sang Cewek Paling Cuek” yang meskipun berarti positif di satu sisi, tapi berpotensi negatif di sisi lain. Saat itu sebagai “cewek cuek”, artinya saya seru dan cocok untuk dijadikan... teman gila-gilaan para cowok tanpa harus jaim. Saya jadi korban dengerin cerita jorok, partner jalan-jalan godain bencong Saparua, dan tempat penampungan derai air mata tentang cewek-cewek lain.

Di lapangan basket, prestasi saya tak perlu dipertanyakan. Saya selalu jadi yang terakhir menyelesaikan lari 12 keliling ketika latihan. Sesuai perkiraan, saya gagal dalam Three-shooting Basket Ball Competition. Mental boleh juara, tapi hasil merana.

Saya juga menjadi langganan ulangan remedial pelajaran Kimia di SMA, dengan spesialisasi Reaksi dan Kesetimbangan Kimia. Itu dosa besar bagi siapa pun anak jurusan A1 yang ingin masuk ITB (dan kemudian terbukti saya gagal masuk ITB). Saya sering kehabisan uang (bukan karena tidak bisa mengelola, tapi karena uang jajan saya memang minim) sehingga terpaksa bersusah-susah pulang jalan kaki setelah bersenang-senang nongkrong makan batagor bersama teman-teman. Itulah cara saya mengelola uang saku.

Saya tidak punya pacar, tidak peduli betapa rendah standar itu saya turunkan. Kakak kelas di SMA yang saya taksir habis-habisan (sebagai catatan: dia agak gemuk, nggak bisa nyanyi/bukan anak band, keriting, pemain basket yang biasa saja, sedikit gagap, gagal masuk kelas A1, dan tidak begitu ganteng) tidak pernah menyadari bahwa saya termasuk kategori mahkuk yang bernyawa. Jika saat itu dia memandang saya dengan sebelah mata saja, pasti hati saya sudah meledak saking bahagianya. Oh, nasib.

Entah mengapa saat itu semua hal baik, termasuk menjadi cantik, menarik, dan mempesona, tidak terjadi pada saya. Menjadi orang yang tidak seberapa cantik akhirnya membuat saya banyak memiliki waktu untuk memperhatikan dan mengamati berbagai jenis kecantikan dan dampaknya dalam kehidupan.  Di mulai dari segi fisik. Kok bisa yah kulit cewek itu tetap mulus dan terang benderang padahal sama-sama seharian dijemur pas OSPEK? Kok bibirnya si Mbak sebelah tetap lembab dan merekah sampai sore hari, sementara bibir saya kering kerontang? Mata si Anu, si Ani tetap bening dan bersinar di pagi hari, belajar buat ujian nggak tuh mereka?

Dari sisi ini, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa faktor genetik sangat dominan. Sungguh tidak ada yang bisa dilakukan terhadap kulit saya, bibir saya, dan mata saya selain menjaganya agar tetap ditempatnya, berfungsi, dan tidak ngambek ketika diperlukan. Dan tidak ada yang bisa saya perbuat, untuk mencegah para kumbang jantan itu terbang mengelilingi bunga-bunga cantik yang cemerlang dan harum mewangi. Para kumbang tidak pernah berdusta, dari lirikan matanya mereka jujur berkata bahwa tidak ada tempat untuk saya, sang bunga dari jenis yang lainnya.

Dari sisi karisma, beda lagi. Orang cantik rata-rata berkarisma. Baru melenggang sambil berdehem saja, orang cantik akan membekukan dunia beberapa orang di sekitarnya. Tapi, tunggu.... Gadis yang tidak begitu cantikpun bisa berkarisma dan membuat one specific boy tergila-gila. Cowok yang saya taksir habis-habisan ketika kuliah (sebagai catatan: dia atletis, cool, suka olahraga menantang, seorang petualang alam, agak ruwet, unik/aneh/nyleneh, kekanak-kanakan, perokok berat, naik sepeda ke kampus, dan cukup ganteng) mengajak saya kencan nonton di bioskop. Waktu itu bulan April. Filmnya tentang pembunuh berantai yang kejam dan sadis. Seven. Kencan pertama yang amat mendebarkan.

Setelah itu dia ajak saya jalan-jalan ke Lembang, ke sebuah tempat di daerah Cihideung. Saya jadi cewek pertama yang dia ajak ke tempat persembunyiannya itu. Semua terasa sempurna sebelum akhirnya tanpa saya sangka-sangka dia curhat tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Ingin rasanya saya tutup mulutnya agar dia berhenti bicara. Tapi saya hanya termangu, dan tanpa seizin saya, otot-otot muka saya bergerak menyerupai lengkungan senyum prihatin. Saya hanya selintas kenal gadis itu, dan saya tidak mengerti apa yang menarik dari dirinya. Gadis itu kurus, hitam, kurang stabil,  kucel, dan cerewet luar biasa. Masih mending saya ke mana-mana. Karena itu, pasti ada sesuatu tentangnya yang bukan tentang cantik biasa. What’s in her, damn it!
 
Dia bilang, dia juga tidak mengerti kenapa tapi gadis itu lah cinta sejatinya. Nggak adil kalo lo hanya dapet sisanya, lanjutnya lugas sambil memandang lukisan jingga di langit senja. Baiklah. Saya jatuh tertembak. Cinta saya tertolak sebelum sempat terungkap. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang itu. Saya tepuk punggung tangannya pelan dan tersenyum kecil sambil diam-diam berusaha mencabut panah berdarah dari dada saya. Setidaknya, kami memiliki perasaan yang sama. Meski ke arah yang berbeda.

Dari penantian selama 2 tahun sampai kencan pertama (sekaligus yang terakhir) dengannya, terlanjur tercipta satu buku kumpulan puisi untuknya, Seize the Day. Meski misi saya gagal total, saya berikan juga buku puisi itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya di bulan Oktober. Meski hati saya patah-patah, saya tidak ingin jadi pelit dan memelihara “sampah” rasa berlama-lama. Buku itu sekaligus sebagai kado untuk ulang tahun saya sendiri. Seperti yang dia bilang, dia tidak punya banyak hal untuk saya, termasuk ucapan selamat ulang tahun. Saya belajar menerima ketika saya memberi.

Dari sisi keberuntungan, lain lagi ceritanya. Beberapa bulan sebelum saya lulus kuliah, akhirnya saya lihat kerlip bintang di bola mata seseorang yang senyumnya selalu mengembang setiap kali saya ada di dekatnya. Saya merasa menjadi cantik. Dia juga bilang saya cantik. Saya bahagia. Akhirnya terjadi juga. Bukan sihir, bukan ge-er, bukan takabur. Saya bersumpah, saya yakin sekali, dia (sebagai catatan: dia yang pintar, ganteng, sopan dan normal, lucu, serta cukup kaya itu) sedang jatuh cinta pada saya saat itu. Semua pertanda menuju ke sana. Dia memandang saya dengan pandangan penuh makna, beberapa detik lebih lama dari waktu normal yang biasa dilakukan manusia lainnya. Dia menelpon saya tiap malam, hampir selalu tiga jam. Dia menjemput dan mengantar saya setiap kali dia bisa. Dia minta saya temani ke mana-mana. Dia memperkenalkan saya pada “Red Star”, mobil tua kesayangannya yang tidak boleh sembarangan disentuh orang lain. Dia betah menonton TV seharian bersama saya. Dia senang berada di sebelah saya. Dia bagi mimpi-mimpinya tentang hidup dan dunia. Dia bahkan menceritakan saya pada orang tuanya. Tak salah lagi. Dia jatuh cinta. Saya jatuh cinta. Jadi, inilah rasanya menjadi orang cantik yang bahagia. Oh, beruntungnya Wulan kali ini!

Tapi saya salah. Sungguh cinta tidak selalu hubungannya dengan kecantikan dan karisma. Di suatu malam, dengan terpatah-patah dia katakan bahwa saya memiliki semua hal baik yang dia kagumi. Kegembiraan, kecerdasan, kasih sayang, kebaikan hati, kesabaran, termasuk kecantikan. Dia senang dan ingin tetap bersama saya. Dia ingin tetap bisa memeluk saya. Menyayangi saya. Tapi saya bukan dia. Sama seperti ketika Ross dalam serial “Friends” mengungkapkan satu-satunya sisi buruk tentang pacar barunya setelah putus dari Rachel adalah “She’s not Rachel”. Saya lah si (calon) pacar baru yang tidak beruntung itu. Saya hadir pada saat yang salah ketika semua hal lainnya terlihat benar. Dia minta kami menjaga garis itu tetap ada sebelum terlanjur hanyut dalam kebohongan. Lalu dia pergi. Tak pernah kembali. Rachel-nya beruntung, saya bingung. Apa ini? Saya serasa menerima kertas lotere bertuliskan ‘Anda belum beruntung. Silakan coba sekali lagi’.

Jika ada yang bilang beauty is a lie maka saya akan setuju, karena ugliness is a truth adalah benar adanya. Kebohongan yang menyenangkan dan memabukkan sulit hinggap pada saya. I was not even worth the lies. Because lies take a lot: one’s best ideas, utmost energy, time, and sometimes great deal of fortune. Sebaliknya, saya harus terbiasa dengan kejujuran yang menyakitkan. Sisi baiknya, saya tidak pernah sempat dibohongi. Jadi meski terdengar naif dan memaksa, saya masih percaya bahwa cinta sejati yang jujur dan tulus masih bisa ada untuk saya.

Sampai suatu waktu, saya terus mencari cinta. Mencari hal yang menjadi pangkal bahagia. Entah saya berhasil mendapatkannya dengan jeratan ketidakbegitucantikan saya, balutan karisma saya (jika ada), atau murni keberuntungan (dan kasih sayang Tuhan) semata. Hubungan antara kecantikan, cinta, dan bahagia belum lagi bisa saya pecahkan rumusnya.

Doa saya sampai saat saya bertemu dengan matahari saya adalah: Please, God... make it simple and easy, just let him search and rescue me. For I had no clue.

Friday, October 19, 2012

Perayaan Minggu ke-3 Program Jalan-Lari


It’s the week of celebration!

Minggu ke-3 program jalan-lari saya lumayan sukses. 50 menit yang menyenangkan di Selasa dan Kamis pagi saya bagi menjadi 5 menit jalan + 5 menit lari (kecepatan  6.8 km/jam) sebanyak 3 set, dilanjutkan dengan jalan kaki menanjak (tanjakan tingkat 3) selama 5 menit dan jalan kaki untuk cooling down sampai berhenti selama 5 menit. Karena tersedia sepeda statis kosong, lumayan lah 5 menit santai-santai di sana sambil nonton TV sebelum akhirnya pendinginan 5 menit. Urusan mandi dan cuci+keringin rambut yang malah lama, hahaha….

Yang mengejutkan adalah ternyata saya bisa juga lho lari… meskipun mulainya pelan-pelan, tapi ada perkembangan. Saya nggak pasang target muluk-muluk, yang penting setiap minggu saya tambah 1 menit lari dengan mengurangi porsi jalan kakinya. Strategi saya ini juga mirip-mirip dengan rekomendasi dari  Running.About.com yang membahas pernik-pernik dan tips running & walking. Nggak apa-apa deh mulainya di treadmill, yang penting konsisten aja dulu mengingat istiqomah itu kan susah banget. Lagian banyak juga kok keuntungan lari di treadmill, apalagi buat pemula, misalnya:
·        -  lari jadi lebih mudah serta tekanannya untuk kaki dan lutut tidak terlalu berat,
·         - kita bisa mengukur dan mengendalikan kecepatan,
·         - nggak terganggu dengan cuaca di luar ruangan,
·         - nyaman, dan
·         - bisa dilakukan sambil melakukan hal lain.

Manfaat yang saya rasakan sejauh ini?
Hmm, kalau soal tidur lebih nyenyak..itu nggak usah diitung kali ya.. saya kan tukang tidur! Dari berbagai manfaat dan alasan olahraga lari, saat ini saya fokus pada peningkatan kesehatan fisik, menjalani pengalaman dan tantangan baru,  dan menambah energi untuk melakukan hal-hal lainnya. Alhamdulillah, badan saya terasa lebih segar. Itu pasti disebabkan peredaran darah yang lebih lancar dan aliran nafas yang lebih teratur. Tapi selain dampak kebugaran, yang terpenting saya juga merasakan dampak positif secara psikologis. It’s about starting and doing something good and fun for myself; only for my own happiness.

Saya merayakan keberhasilan minggu ke-3 ini dengan berbagi cerita dan semangat ke Ade, teman kantor saya yang mulai nge-gym juga minggu ini. Hmmm, yang rada sableng saya juga kasih bonus ke diri sendiri berupa es krim Walls Neapolitan pake roti tawar..hehe, biar serasa di Singapura nontonin orang jogging sambil makan Uncle's Ice Cream. 

Wish me the best luck for the 4th week, will you?

Sunday, October 14, 2012

Kenapa Berenang?


Dike, salah satu sahabat saya pernah bertanya, “Kenapa Mbak kepingin banget Kay untuk ikut renang, sampe ikut-ikut lomba segala?”


Yang pertama muncul dalam benak adalah adalah agar Kay punya semangat juang mengatasi hal yang menakutkan dan tidak mudah menyerah. Agar Kay punya semangat juang dan tidak menyerah, ternyata pelajaran yang terpaksa saya dapatkan adalah juga diperlukan semangat juang, hati yang pantang menyerah, kesabaran dan komitmen dari ortunya, pelatih, nenek-kakek, sepupu, teman-teman latihan, keluarga, dan all crew in our household management.


Awalnya Kay takut dan jelas tidak suka berenang (dan saya lebih senang berpikir bahwa sekarang ia menyukainya). Setelah hampir 1 tahun berlatih on-off  akhirnya Kay bisa juga berenang gaya dada tanpa bantuan pelampung atau sirip kaki. Satu tahun adalah waktu yang jauh lebih lama dibanding iklan di papan pengumuman Nirwana Swimming Club, tempat Kay berlatih. Di pengumuman itu tertulis “8x latihan dijamin bisa berenang”.  After the 12th week, I sat there in half-desperation, watching her failed again after several very hard tries. I said loudly to myself, I know you can do it, Kay. Doesn’t matter how long it takes, I know you can do it well. Just like any other things you do.” Kay took almost 25 weeks before she finally made it. It was a relief for us that my husband and I, the parent, didn’t quit.


Lalu yang terpikir tentang alasan lain adalah agar Kay percaya diri dan yakin bahwa segala yang dia pelajari akan berguna dan menyenangkan pada waktunya. You don’t have to think when you have to do it. That’s the point of training. Kompetisi renang pertama Kay adalah di Lippo Cikarang Olympic Pool pada November 2010. Saya ngga yakin ketika pertama kali pelatih Kay menawarkan formulir pendaftaran. Tapi Kay ingin ikut semua hal yang diikuti teman-teman se-klubnya (group influence sudah terasa di umur 6 tahun lho). Jadilah Kay mendaftar lomba. Kay turun di 50 meter gaya dada kelompok usia V (mulut saya hampir jatuh dari dagu ketika melihat panjangnya lintasan renang itu, mau pingsan rasanya.... tapi untungnya saya berhasil menguasai diri dan tetap tersenyum sambil mengacungkan dua jempol kepada Kay supaya dia tetap pe-de :p). Please, God...help her be brave! Semoga bekal latihan Kay selama ini mampu menumbuhkan keyakinan dirinya.


Hasilnya, Kay berhasil menyelesaikan lomba 50m yang tampak tiada akhir itu dengan susah payah, terombang-ambing sisa dorongan air 7 perenang lain yang mengunggulinya. Buat Kay, pengalaman itu begitu berkesan. Bukan karena dia merasa sukses menyelesaikan lomba pertama dengan selamat. Tapi karena berjam-jam menunggu giliran lomba bisa dia gunakan untuk bermain di children pool sampai puas.  Olalaaaa......  Segala yang kita pelajari akan berguna pada waktunya. Dan Kay telah belajar dengan cepat bahwa  di balik semua ketakutan dan ketidaknyamanan, selalu ada hal yang bisa dinikmati dengan bahagia. “Asik banget, Bu... aku sama Kak Nabila main salto di kolam anak-anak. Trus aku selam-selaman di sana, jadi aku bisa ngadem terus!”


Begitulah lomba renang pertama Kay, yang berakhir bahagia buat Kay dan sakit kepala parah buat saya dan suami karena bosan menunggu, kepanasan, dan kekurangan oksigen di tengah keramaian itu. Ternyata demikian juga yang terjadi pada lomba renang yang berikut-berikutnya dan acara anak-anak yang massal lainnya. Akhirnya saya selalu siap Panadol, banyak persediaan air mineral, dan some laid-back attitude serta tidak pernah membuat rencana lain pada hari H setiap kali Kay bertanding atau mengikuti kegiatan sekolah atau acara lainnya.  Sisa waktu di hari itu sudah di-booking  untuk full istirahat atau kegiatan senang-senang serta melupakan hasilnya (karena sering kalahnya..haha). That’s how we move on.


Kemudian saya ingat kutipan dari Maya Angelou bahwa every achievement requires time. Seringkali daam arti yang sebenarnya.

Masih tentang lomba renang pertama itu. Kami sudah nongkrong di olympic pool  Lippo Cikarang jam 7 pagi untuk registrasi. Itu artinya kami kumpul di markas latihan di Taman Palem-Pondok Kelapa, lengkap dengan berbagai perbekalan, beserta nenek dan tante sebagai cheerleaders sejak jam 6 pagi. Setelah iseng-iseng berkenalan dengan beberapa orang tua, saya baru tahu bahwa kejuaraan ini adalah kejuaraan tingkat Jawa Barat sehingga peserta untuk setiap kelompok umur mencapai ratusan orang. Ada yang datang dari Tangerang, Sukabumi, Bandung, bahkan Cirebon. Ternyata oh ternyata..... Kami tidak menyangka Kay baru bertanding pada jam 12.30 siang, di tengah terik matahari yang menyengat!


Saya baru sadar mengapa keluarga lain lebih heboh (a.k.a siap) dengan perbekalannya, terutama yang dari luar kota. Mereka membawa coolbox, tikar, portable air conditioner, tape, bantal, dll. Salah seorang ibu dari Kuningan (kota Kuningan, bukan Jl. HR Rasuna Said, Jakarta) bercerita bahwa saking cinta pada olahraga renang, anaknya kelas 2 SD minta dipindahkan ke klub yang lebih baik di Cirebon. Anak itu latihan 5 kali per minggu di Cirebon dengan durasi latihan sekitar 2-3 jam (Kay hanya berlatih 1 jam sekali seminggu, nggak level yak??). Setiap pulang sekolah, ibunya mengantar dari Kuningan ke Cirebon pp.  Untuk pertandingan hari itu, mereka sekeluarga berangkat jam 2 subuh dari Kuningan. Pfiuhh...


Masih banyak cerita lain yang serupa tentang para perenang cilik itu. Apakah benar memang rasa suka dan keinginan anak yang mendorong sang anak dan keluarganya untuk bersama menuju tangga kesuksesan, ataukah semata-mata bentuk ambisi orang tua? Apakah ortu berlebihan jika seorang anak latihan 5 kali seminggu? Perlukah kita mengasihani anak itu, ataukah kita perlu mengacungkan jempol dan mengagumi niat kuat dan determinasinya? Akankah ortu justru akan dianggap salah ketika tidak memberikan kepercayaan kepada anak itu untuk latihan 5 kali seminggu demi prestasinya? Tentunya saya tidak bisa menilai dan menghakimi semudah itu. Yang jelas di kolam itu saya saksikan bukti dari ratusan jam yang didedikasikan anak-anak dan orang tua demi mencapai apa yang dicita-citakan.   


Jika kita coba teliti dilema tadi dengan teori 10.000 jam yang disebarluaskan Malcom Gladwell dalam The Outlier, mungkin semua jadwal ketat latihan tak kenal ampun itu jadi masuk akal. Untuk mencapai suatu taraf keahlian mumpuni dalam berenang, seorang Siman Sudartawa yang mulai berenang di usia 6 tahun mungkin telah berlatih rata-rata 2.75 jam per hari, 365 hari per tahun, tanpa absen...selama 11 tahun!  Mungkin demikianlah caranya sehingga di usia 17 tahun, Siman bisa menggondol Medali Emas Sea Games. In sport, how much time you spend matters. Smart work alone can never beat hard work. Tapi itulah hebatnya manusia, terus mencoba menaklukkan meskipun paham bahwa hanya sekitar 2,5% dari populasi apapun di seluruh dunia yang merupakan positive outliers.  


Jadi apa yang saya harapkan dari 1 jam sesi latihan berenang per minggu untuk Kay?  Maybe not the Olympic Medals. It’s more about mastering life skills, both in physical (such as be aware about safety first, do warming up session seriously, eat healthy food, take good care of your eyes and skin) and pschycological (be discipline, be nice, be patient and respectful) terms. Also about having fun in the water (I know, I should have put the “fun” thing first to appear like a thoughtful loving mom). But there’s no free fun! Jangan lupa, segala bentuk kesenangan juga menuntut waktu untuk ‘dibuang’.


Tahun 2012 ini menandai 3 tahun Kay ikut berenang. Dia masih terus berlatih dan menikmati waktu latihannya, tentu karena dilakoni bersama teman-teman Nirwana’s girls dan karena 5-10 menit bonus main di kolam luncur setelah latihan. Dia berterus terang nggak berminat jadi atlit renang, tapi berminat bisa berenang seperti lumba-lumba. Buat kami, itu sudah cukup menjawab pertanyaan tadi.

Friday, October 12, 2012

Tahan Banting

Temukanlah setidaknya satu saja hal positif dari setiap orang yang kau temui hari ini!
Itu janji saya setiap hari. Tapi di pagi hari, biasanya saya sudah gagal total. Entah karena nggak bisa menahan umpatan di tengah macet dan simpang siurnya lalu lintas Jakarta, entah karena pagi-pagi saya sudah dirongrong dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan yang aneh-aneh. Atau sang Kryptonite saya sedang kumat.
Tapi sore ini, saya menyadari sesuatu bahwa saya patut mengambil pelajaran dari sang Kryptonite saya tadi. Di luar segala hal menyebalkan tentangnya, dia adalah seseorang yang tahan banting. Berbagai cobaan hidup, di keluarga maupun di kantor, telah menghampirinya. Namun dengan berbagai cara (menggunakan akal manusia atau “akal kancil”), dia tetap bertahan dan mencapai apa yang dia inginkan. Saya tidak bilang bahwa pilihannya dalam menggapai ambisi pribadi, di tengah berbagai kondisi yang kurang prima, selalu merupakan pilihan bijaksana. But who did not make (constant) mistakes?  Saya angkat topi karena entah bagaimana dunia seolah berkonspirasi mendukungnya untuk sukses.
Di sisi lain, dua malam lalu saya mengantar sepupu saya berangkat naik haji. Sepupu saya itu berusia awal 50 tahunan. Berbagai cobaan hidup juga telah terjadi padanya. Tapi sungguh Allah SWT mencintainya begitu besar sehingga semua penderitaan itu seakan mengangkatnya ke kedudukan lebih tinggi. Operasi ginjal 4 kali, operasi usus buntu, dan operasi tumor 2 kali ditambah beberapa kali serangan jantung menghantuinya sejak belasan tahun lalu. Dia juga kehilangan anak bungsu kesayangannya beberapa tahun lalu karena virus yang menyerang otak secara mendadak. Istrinya keguguran ketika dia mengharapkan pengganti anaknya yang telah berpulang. Saya sempat menyaksikan how lively and cheerful he was, tapi juga sempat memergoki sinar kehidupan dan kebahagiaan yang meredup di matanya. Bagi saya, dia salah satu contoh tahan banting yang sejati. Dengan berbagai cara yang bukan akal kancil, perlahan saya saksikan mata itu bersinar kembali. He bounced back. Dia ikut program bersepeda dengan penuh semangat, menjadi Ketua RT dan aktivis masjid dengan gembira, serta rajin melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat lainnya. Oh ya, dia eksis di Facebook juga lho. Untuk menjaga silaturahmi, katanya.
2 malam lalu, kebahagiaan, keharuan dan harapan menghiasi wajah sepupu saya itu. Dia berangkat bukan ke mana-mana, tapi untuk memenuhi panggilanNya. Ambisinya untuk pergi haji di tengah kondisi kesehatan yang kurang prima merupakan pilihan bijaksana. Saya memuji Allah SWT karena dengan kuasaNya dunia telah berkonspirasi mendukung sepupu saya untuk sukses menunaikan cita-citanya. Mudah-mudahan Allah SWT menjadikanmu haji mabrur, Mas.
Menjadi tahan banting, fleksibel, elastis.. atau apa pun istilahnya bukan lagi tambahan kualitas yang harus dimiliki. Tapi suatu keharusan; apalagi di dunia zaman kini yang selalu berubah, kian menuntut, dan menyeret penghuninya ke pusaran berbagai ancaman. 
Satu pe-er besar lagi buat saya. Untuk jadi tahan banting yang bukan akal-akalan. Be tough means expect changes to happen; be ready to rebound and smile; always in the 'think and act positive' mode on; and last but not least ... always take myself as I am.  

Tuesday, October 9, 2012

Another 50 minutes of glory


Plok…plok…plok

Selamat untuk saya!

 
Ini hari kedua saya menjajal diri di urusan jalan kaki dan lari. 50 menit yang berharga! 50 menit itu saya bagi menjadi 40 menit di threadmill, yaitu 3 set paket 10 menit (6 menit berjalan + 4 menit lari) plus cooling down 10 menit. Bonus 5 menit di sepeda statis sambil nonton Hawaii-5 O dan 5 menit stretching sebelum selesai. Alhamdulillah, mata saya tidak berkunang-kunang atau mengalami kepanikan akibat nafas ngos-ngosan. I am very hopeful that 12-week program suggested by BeginnerRunnersWorld website would work more conveniently for me.

 
Program lain yang lebih progresif bisa di cek di website RunnersWorld yang menyarankan program latihan 8 minggu dengan tujuan mencapai kemampuan berlari konsisten selama 30 menit non stop. 30 menit non stop dengan kecepatan rendah-sedang itu dinilai memadai untuk dapat mempertahankan berat badan, kebugaran, atau meningkatkan kesehatan seseorang secara umum.

 
OK, let's gimme a try!

Wednesday, October 3, 2012

Walk is the New Run

Dari dulu saya ngga suka lari. Saya lari hanya untuk memenuhi sesuatu, dan sesuatu itu pasti bukan untuk kesenangan. Pelajaran olahraga SD-SMP-SMA, pemanasan lari keliling lapangan basket, ujian saringan masuk PNS, dan program samapta kantor adalah beberapa peristiwa mengenaskan di mana saya lari sempoyongan, megap-megap kehabisan oksigen, dengan tangan terkulai hampir menyentuh tanah.  Selalu di urutan terakhir.
Lalu sampailah saya di Amerika, negeri kebebasan dan impian berjuta manusia. Di sanalah saya melihat betapa olahraga lari sangat digemari. Lari hampir menyamai kecintaan warga Amerika akan wahana roller coaster nan mendebarkan, juga memabukkan. Entahlah, mungkin bagi orang Amerika, berlari adalah tantangan paling ecek-ecek dibanding tantangan lain untuk menjawab panggilan jiwa petualang dan pacuan adrenalin mereka.
Di Boulder, CO dan Bloomington, IN saya sempat menyengajakan diri menonton para pelari itu, biasanya sambil nongkrong di perpustakaan atau kedai kopi. Laki-laki dan perempuan, kaya dan kurang kaya, tua dan muda, ganteng dan jelek, cantik dan biasa saja, kurus dan gemuk, cepat dan lambat, berpakaian trendi dan bikini. Mereka semua berlari dengan gaya sendiri-sendiri. Hanya dua yang terlihat sama pada mereka. Ear set nempel di kuping terhubung dengan, karena mereka Amerika, tentu saja iPod atau iPhone. Yang kedua adalah, kemungkinan besar, niat. Tak peduli siang atau malam, cerah atau hujan, lurus atau menanjak, mereka terus berlari. Entah apa yang dikejar atau dicari. Saya, yang mudah terpesona oleh berbagai hal, tentu saja ‘meleleh’ dengan pemandangan menawan tersebut. All things about determination, hard will, and endurance fascinate me. Saya memang harus bilang “Wow”.
Saya lalu mulai berniat lari. Hal keren wajib dicoba. Tapi berjalan di  treadmill di gym kampus adalah hal terdekat yang mungkin bisa dikaitkan dengan lari. Saya menyerah, jarang ke gym lagi.
Lalu sampailah saya kembali ke Jakarta tahun 2009. Ternyata lari juga mulai digemari di sini. Saya terinspirasi oleh banyak orang: pengusaha, selebritis, pemain biola, atlit. Terinspirasi juga dari kisah-kisah heroik kompetisi Ironman, tentang mengapa dan bagaimana mereka akhirnya bisa menyelesaikan apa yang mereka mulai. Saya mulai mencoba lagi untuk berlari. Saya jajal gym kantor, Monas, dan daerah kompleks rumah. Tapi peristiwa mengenaskan itu selalu terjadi. Saya lari sempoyongan, megap-megap kehabisan oksigen, dengan tangan terkulai hampir menyentuh tanah. Mau pingsan rasanya. Saya protes, selebritis aja bisa… kenapa saya enggak????
Tapi saya lagi-lagi menyerah. Benar kata orang bahwa running is not about how fast you move, but how fast you quit. And I’m such a hanging low, cheap quiter.
Saya setengah mati mencari cara agar saya tidak menyerah. Saya inventaris alasan-alasan klasik andalan saya: nggak ada waktu, sibuk, nggak enak badan atau masuk angin, mau ada meeting pagi, kesiangan bangun, jalanan menuju gym kantor atau Monas macet, dan beribu alasan kreatif lainnya. Dan semakin dipaksa, saya yakin saya pasti mampu mengeluarkan jurus-jurus menghindar yang lebih jitu lagi.
Jadi bagaimana nih? Slesta, sang pendiri The Urban Mama, bilang bahwa dia berlari karena berbagai alasan baik. Teman kuliah saya, Susan J., berlari untuk mensponsori sebuah yayasan cure for cancer.  Gurunya Kaylia –bersama istrinya yang baru-baru ini melahirkan dan mulai berlari lagi setelah minggu ke-6-- di Bloomington berlari karena mereka suka melakukannya. Night or day, rain or sunshine…just let them run!
Tapi saya nggak punya alasan-alasan itu. Kenapa saya harus lari? Keinginan untuk jadi keren dan being part of the happening trend in Jakarta sudah luntur didera napas ngos-ngosan dan mata berkunang-kunang di menit ke-5. Nggak papa deh ngga jadi keren. Body ramping dan seksi yang didamba nggak sepadan dengan paru-paru yang mau meledak. Niat mulia menjaga kesehatan juga kandas tersengat panasnya matahari Jumat pagi di Monas. Jaga kesehatan kan nggak cuma dengan berlari. Ckk, nothing is easy about running.
Sekarang sudah Oktober 2012. Dan saya masih belum berlari juga. Sebagai seorang quiter sejati, saya pasti gampang untuk melupakan urusan lari-lari ini. Tapi sementara saya mengerek bendera putih itu, saya masih usaha nawar. Gimana kalo jalan (ya jalan kaki lahhh…)? Susan S. Paul --seorang coach olahraga lari-- memberikan secercah harapan, pelari pemula bisa memulai dengan program jalan kaki selama 12 minggu, sekitar 2-3 kali seminggu. Very promising and attainable. Siapa tau? Meski prospek saya untuk menjadi pelari tetap tipis, saya cukup bisa mengandalkan diri sebagai seorang pejalan kaki yang hepi. Days only, sunshine only… just let me walk happily!
Dan sampailah saya pada saat yang berbahagia itu. Saya mulai berjalan lagi hari ini. 30 menit berjalan dengan selingan 3 kali lari 2 menitan. Plus sepedaan 10 menit dan cooling down 10 menit. Semuanya di depan TV gym kantor yang menayangkan channel TLC: Man vs FoodO, yeah..... I am so happy.