Sunday, October 14, 2012

Kenapa Berenang?


Dike, salah satu sahabat saya pernah bertanya, “Kenapa Mbak kepingin banget Kay untuk ikut renang, sampe ikut-ikut lomba segala?”


Yang pertama muncul dalam benak adalah adalah agar Kay punya semangat juang mengatasi hal yang menakutkan dan tidak mudah menyerah. Agar Kay punya semangat juang dan tidak menyerah, ternyata pelajaran yang terpaksa saya dapatkan adalah juga diperlukan semangat juang, hati yang pantang menyerah, kesabaran dan komitmen dari ortunya, pelatih, nenek-kakek, sepupu, teman-teman latihan, keluarga, dan all crew in our household management.


Awalnya Kay takut dan jelas tidak suka berenang (dan saya lebih senang berpikir bahwa sekarang ia menyukainya). Setelah hampir 1 tahun berlatih on-off  akhirnya Kay bisa juga berenang gaya dada tanpa bantuan pelampung atau sirip kaki. Satu tahun adalah waktu yang jauh lebih lama dibanding iklan di papan pengumuman Nirwana Swimming Club, tempat Kay berlatih. Di pengumuman itu tertulis “8x latihan dijamin bisa berenang”.  After the 12th week, I sat there in half-desperation, watching her failed again after several very hard tries. I said loudly to myself, I know you can do it, Kay. Doesn’t matter how long it takes, I know you can do it well. Just like any other things you do.” Kay took almost 25 weeks before she finally made it. It was a relief for us that my husband and I, the parent, didn’t quit.


Lalu yang terpikir tentang alasan lain adalah agar Kay percaya diri dan yakin bahwa segala yang dia pelajari akan berguna dan menyenangkan pada waktunya. You don’t have to think when you have to do it. That’s the point of training. Kompetisi renang pertama Kay adalah di Lippo Cikarang Olympic Pool pada November 2010. Saya ngga yakin ketika pertama kali pelatih Kay menawarkan formulir pendaftaran. Tapi Kay ingin ikut semua hal yang diikuti teman-teman se-klubnya (group influence sudah terasa di umur 6 tahun lho). Jadilah Kay mendaftar lomba. Kay turun di 50 meter gaya dada kelompok usia V (mulut saya hampir jatuh dari dagu ketika melihat panjangnya lintasan renang itu, mau pingsan rasanya.... tapi untungnya saya berhasil menguasai diri dan tetap tersenyum sambil mengacungkan dua jempol kepada Kay supaya dia tetap pe-de :p). Please, God...help her be brave! Semoga bekal latihan Kay selama ini mampu menumbuhkan keyakinan dirinya.


Hasilnya, Kay berhasil menyelesaikan lomba 50m yang tampak tiada akhir itu dengan susah payah, terombang-ambing sisa dorongan air 7 perenang lain yang mengunggulinya. Buat Kay, pengalaman itu begitu berkesan. Bukan karena dia merasa sukses menyelesaikan lomba pertama dengan selamat. Tapi karena berjam-jam menunggu giliran lomba bisa dia gunakan untuk bermain di children pool sampai puas.  Olalaaaa......  Segala yang kita pelajari akan berguna pada waktunya. Dan Kay telah belajar dengan cepat bahwa  di balik semua ketakutan dan ketidaknyamanan, selalu ada hal yang bisa dinikmati dengan bahagia. “Asik banget, Bu... aku sama Kak Nabila main salto di kolam anak-anak. Trus aku selam-selaman di sana, jadi aku bisa ngadem terus!”


Begitulah lomba renang pertama Kay, yang berakhir bahagia buat Kay dan sakit kepala parah buat saya dan suami karena bosan menunggu, kepanasan, dan kekurangan oksigen di tengah keramaian itu. Ternyata demikian juga yang terjadi pada lomba renang yang berikut-berikutnya dan acara anak-anak yang massal lainnya. Akhirnya saya selalu siap Panadol, banyak persediaan air mineral, dan some laid-back attitude serta tidak pernah membuat rencana lain pada hari H setiap kali Kay bertanding atau mengikuti kegiatan sekolah atau acara lainnya.  Sisa waktu di hari itu sudah di-booking  untuk full istirahat atau kegiatan senang-senang serta melupakan hasilnya (karena sering kalahnya..haha). That’s how we move on.


Kemudian saya ingat kutipan dari Maya Angelou bahwa every achievement requires time. Seringkali daam arti yang sebenarnya.

Masih tentang lomba renang pertama itu. Kami sudah nongkrong di olympic pool  Lippo Cikarang jam 7 pagi untuk registrasi. Itu artinya kami kumpul di markas latihan di Taman Palem-Pondok Kelapa, lengkap dengan berbagai perbekalan, beserta nenek dan tante sebagai cheerleaders sejak jam 6 pagi. Setelah iseng-iseng berkenalan dengan beberapa orang tua, saya baru tahu bahwa kejuaraan ini adalah kejuaraan tingkat Jawa Barat sehingga peserta untuk setiap kelompok umur mencapai ratusan orang. Ada yang datang dari Tangerang, Sukabumi, Bandung, bahkan Cirebon. Ternyata oh ternyata..... Kami tidak menyangka Kay baru bertanding pada jam 12.30 siang, di tengah terik matahari yang menyengat!


Saya baru sadar mengapa keluarga lain lebih heboh (a.k.a siap) dengan perbekalannya, terutama yang dari luar kota. Mereka membawa coolbox, tikar, portable air conditioner, tape, bantal, dll. Salah seorang ibu dari Kuningan (kota Kuningan, bukan Jl. HR Rasuna Said, Jakarta) bercerita bahwa saking cinta pada olahraga renang, anaknya kelas 2 SD minta dipindahkan ke klub yang lebih baik di Cirebon. Anak itu latihan 5 kali per minggu di Cirebon dengan durasi latihan sekitar 2-3 jam (Kay hanya berlatih 1 jam sekali seminggu, nggak level yak??). Setiap pulang sekolah, ibunya mengantar dari Kuningan ke Cirebon pp.  Untuk pertandingan hari itu, mereka sekeluarga berangkat jam 2 subuh dari Kuningan. Pfiuhh...


Masih banyak cerita lain yang serupa tentang para perenang cilik itu. Apakah benar memang rasa suka dan keinginan anak yang mendorong sang anak dan keluarganya untuk bersama menuju tangga kesuksesan, ataukah semata-mata bentuk ambisi orang tua? Apakah ortu berlebihan jika seorang anak latihan 5 kali seminggu? Perlukah kita mengasihani anak itu, ataukah kita perlu mengacungkan jempol dan mengagumi niat kuat dan determinasinya? Akankah ortu justru akan dianggap salah ketika tidak memberikan kepercayaan kepada anak itu untuk latihan 5 kali seminggu demi prestasinya? Tentunya saya tidak bisa menilai dan menghakimi semudah itu. Yang jelas di kolam itu saya saksikan bukti dari ratusan jam yang didedikasikan anak-anak dan orang tua demi mencapai apa yang dicita-citakan.   


Jika kita coba teliti dilema tadi dengan teori 10.000 jam yang disebarluaskan Malcom Gladwell dalam The Outlier, mungkin semua jadwal ketat latihan tak kenal ampun itu jadi masuk akal. Untuk mencapai suatu taraf keahlian mumpuni dalam berenang, seorang Siman Sudartawa yang mulai berenang di usia 6 tahun mungkin telah berlatih rata-rata 2.75 jam per hari, 365 hari per tahun, tanpa absen...selama 11 tahun!  Mungkin demikianlah caranya sehingga di usia 17 tahun, Siman bisa menggondol Medali Emas Sea Games. In sport, how much time you spend matters. Smart work alone can never beat hard work. Tapi itulah hebatnya manusia, terus mencoba menaklukkan meskipun paham bahwa hanya sekitar 2,5% dari populasi apapun di seluruh dunia yang merupakan positive outliers.  


Jadi apa yang saya harapkan dari 1 jam sesi latihan berenang per minggu untuk Kay?  Maybe not the Olympic Medals. It’s more about mastering life skills, both in physical (such as be aware about safety first, do warming up session seriously, eat healthy food, take good care of your eyes and skin) and pschycological (be discipline, be nice, be patient and respectful) terms. Also about having fun in the water (I know, I should have put the “fun” thing first to appear like a thoughtful loving mom). But there’s no free fun! Jangan lupa, segala bentuk kesenangan juga menuntut waktu untuk ‘dibuang’.


Tahun 2012 ini menandai 3 tahun Kay ikut berenang. Dia masih terus berlatih dan menikmati waktu latihannya, tentu karena dilakoni bersama teman-teman Nirwana’s girls dan karena 5-10 menit bonus main di kolam luncur setelah latihan. Dia berterus terang nggak berminat jadi atlit renang, tapi berminat bisa berenang seperti lumba-lumba. Buat kami, itu sudah cukup menjawab pertanyaan tadi.

No comments:

Post a Comment