Monday, January 21, 2013

Gadget-free or Gadget-freak?

Salah satu hal paling besar yang ingin saya perbaiki segera di tahun 2013 adalah jalur dan pola komunikasi saya (lhaaa.. itu mah dua dong!? :p). Hehehe… tuh kan, terbukti cara saya berkomunikasi seringkali menimbulkan berbagai reaksi ke arah yang bertentangan dari tujuannya. Itu baru satu masalah. Sometimes I could not say what I meant and other times I did not mean what I said. I was afraid that I might hurt someone. Padahal ujungnya kita nggak mungkin selalu menjadi orang yang disukai, karena meskipun kita menyampaikan hal yang benar dengan cara terbaik tetap saja persepsi, pola pikir, dan kondisi penerima informasi itu amat menentukan reaksi atau hasil dari upaya komunikasi yang kita lakukan (hal ini dibahas lain kali aja yaa).

Masalah lain, saya rada malas mengikuti perkembangan gadget, mantengin media sosial, dan membiarkan diri berada dalam kutukan blackberry yang selalu eror. Karena komunikasi zaman sekarang juga banyak difasilitasi oleh kecanggihan teknologi dengan berbagai macam media dan beragam gadget, tentunya saya nggak bisa bertahan hidup tanpa alat-alat tersebut, atau tanpa mengenal media komunikasi beserta kelebihan dan kekurangannya.

Gadget-hassle free
Kendala jalur komunikasi yang saya maksud adalah betapa lambat dan leletnya respon saya terhadap pesan yang dikomunikasikan pihak lain gara-gara hambatan infrastruktur. Blackberry saya memang tergolong generasi tua dan sudah mengalami banyak ‘penganiayaan’ karena jatuh, terbanting, dll. BB itu jadi sering mati sebelum waktunya dan boros batere. Solusinya mungkin ganti batere atau BB. Selain itu sinyal kartu XL ternyata kurang bersahabat di kantor saya di Thamrin. BBM lambat, mau telpon langsung juga putus-putus, bikin stres. Saya sudah membandingkan, BB dengan kondisi sama tapi menggunakan kartu Simpati ternyata masih mendingan (bukan iklan berbayar lhoo..). Solusinya ganti mungkin kartu. Di gedung saya sebenarnya sudah ada WiFi tapi entah bagaimana di spot tempat saya bekerja kok ya nggak begitu hot… byar-pet gitu deh. Yang satu ini saya nyerah. Masa solusinya ganti gedung sih?

Akibat dari hambatan infrastruktur komunikasi ini cukup parah. Beberapa kali, saya tidak ter-update info dari sekolah Miss K, misalnya tentang kegiatan sekolah atau keputusan libur karena ada kejadian darurat. Walhasil beberapa kali Miss K muncul di sekolah yang kosong melompong atau tidak membawa item yang dibutuhkan untuk pelajaran tertentu. Sahabat-sahabat saya selalu menyindir tenggapan saya yang selalu terlambat disertai kalimat pembuka “Maaf ya, baru bisa bales…”. Mereka biasanya meradang, “Udah basi kali, Buuuu… Bosen deh, apalagi alesannya? Biasanya kalo pagi pake alesan lagi meeting, siang alasannya sinyal jelek, sore lagi nyetir, eh malem-malem lu suka ketiduran. Kapan lu idupnya sih?”.

Urusan BB lelet juga mengancam keharmonisan rumah tangga dan kelancaran pekerjaan saya. Suami sudah sering marah-marah karena informasi manajemen rumah tangga dan janjian pulang jadi kacau gara-gara saya nggak respon balik (padahal sering juga hal itu disebabkan pesannya memang tidak diterima HP saya). Suatu hari saya pernah pula mendapat teguran dari big boss mengenai tidak sampainya BBM beliau mengenai hal yang penting dan mendesak (ya iya lah, kalo nggak penting dan mendesak kan nggak mungkin iseng kirim BBM ke gue). Rekan kerja saya sebel karena saya sering melewatkan email-email penting yang berisi updating situasi dan solusi terkini.

Jangan tanya soal Facebook dan social media lain deh, bisa diitung dalam sebulan berapa kali saya akses ke Facebook (itu pun ucapan selamat ulang tahun dan kirim jempol doang!). Meskipun saya nggak berniat jadi social butterfly, tapi saya sudah terlalu lama membiarkan ketidakpedulian itu tumbuh membesar, bertentangan dengan apa yang selama ini saya anggap utama dalam hidup ini: hablum minna naas dengan keluarga, sahabat, teman, saudara sesama Muslim, masyarakat, orang, manusia di bumi ini.

Semua kritik itu bener banget. Kepasrahan saya terhadap kondisi infrastruktur teknologi yang tidak menguntungan itu memang menyebalkan dan merugikan serta membuat saya semakin jauh dari kepedulian terhadap lingkungan. Saya sendiri saja sering gemas dengan respons time orang lain yang terlalu lama, karena saya sebagai pihak yang berkepentingan pasti ingin cepat memperoleh informasi atau konfirmasi. Orang lain pasti sama juga, dong, kalau begitu. Jadi jangan salahkan orang lain kalau saya dinilai lambat, nggak responsif (jangan-jangan malah dianggap nggak responsible juga), nggak pedulian, dan nggak menghargai orang lain.

Cukup sudah BB Gemini generasi jebot itu mendampingi saya. Terima kasih XL, tapi saya harus berpisah denganmu sekarang. Saya ganti BB sekaligus ganti kartu. Suami saya juga membeli portable electricity charger, supaya nggak ada alasan lagi BB low bat atau mati. Alhamdulillah, sejauh ini ketiga benda tersebut ditambah HP Smart 299ribuan sebagai modem di rumah cukup membantu saya sehingga benda-benda itu layak untuk disebut aset (hehehe… perhitungan amat yak). 

Mind-hassle free
Tapi suami saya masih becandain, “Gadget udah ganti baru. Otak dan pikiran kamu perlu di-upgrade nggak tuh?” Benar juga. Gadget kan tergantung penggunanya, tergantung pada mind set dan sejauh mana komunikasi yang lancar menjadi nilai yang diusung pemilik gadget tersebut. Hal atau orang yang penting bagi seorang pengguna, mungkin nggak penting bagi orang lain. Kalau dalam pikiran saya membaca email, sms, BBM, atau pesan lain itu bisa diundur-undur, maka itu lah yang terjadi… Bacanya aja telat, tentunya menjawabnya lebih lama lagi. Padahal sekarang ini adalah zamannya informasi mengalir super cepat.

Saya juga patut mempertimbangkan pendekatan berpikir saya yang selama ini cenderung terlalu fokus dan intensif pada yang kasat mata. Masih terpatri dalam benak saya bahwa orang di hadapanmu itulah yang saat itu harus diperhatikan 100%. Hal itu menahan saya dari membagi perhatian pada hal lain yang ternyata perlu perhatian yang sama intensitasnya. Multitasking, or multifocusing, for me is not about spreading the attention; it is purely about doubling the attention and intention. It’s either doing all faster or reducing some to get things better. Sometimes I failed to have the choice because I wanted it all.

Kalau dalam pikiran saya, hablum minna naas itu hanya dengan orang yang berhadapan dengan saya (face-to-face) maka semua jenis komunikasi lain yang tidak langsung akan selalu saya nomorduakan, bahkan saya lupakan dengan alasan saat itu sedang meeting, nggak ada sinyal, HP low bat, sedang sibuk, nggak sempat, dan sebagainya. Padahal, jumlah orang yang langsung berhadapan dengan saya dan berkomunikasi intensif sehari-hari paling banyak 5-10 orang, orang yang itu-itu juga. Sedangkan seluruh sisa orang lain yang saya kenal di dunia ini hanya bisa terhubung dengan saya secara tidak langsung lewat gadget dan teknologi. It’s a new way of communication that I just couldn’t escape.

Beberapa tips yang saya dapatkan dari sana-sini, artikel atau blog ini-itu semuanya mendukung penggunaan teknologi dan media komunikasi yang beragam. You can reach higher aims, get larger influence, or even feel more satisfy and be happier by using more than single old media/method of communication. Saya hanya perlu membuat proses itu menyatu dengan keseharian saya, sehingga lama-lama segala macam alasan untuk tidak menanggapi tepat waktu akan terkikis. Niat saya bukan untuk selalu tampil prima di percaturan sosial, pekerjaan, atau pergaulan … tapi berusaha untuk lebih mampu ‘hadir’ dalam semua sisi kehidupan secara lebih proporsional.

Jadi, inilah janji sederhana saya. Nge-charge HP setiap hari wajib saya lakukan di rumah supaya tidak ada alasan low bat. Saya juga berjanji untuk cek email kantor setiap muncul pop-up dan segera putuskan apa yang akan dilakukan terhadap email itu (hapus, teruskan kepada yang lebih berhak, jawab, atau simpan dalam folder tersendiri sementara menunggu penyelesaian). By the way, saya masih punya PR menyortir 11.744 email dalam mailbox saya… hiks. Itu hasil kemalasan saya selama 2 tahun, gila nggak tuh….! Saya berniat mengaktifkan nada getar atau tengok-tengok Blackberry setiap 5 menit sekali, lalu langsung jawab begitu selesai baca pesan di Line, WhatsApp, sms atau BBM (jangan pernah menunda jawab pesan yang telah berstatus “Read”, hal tersebut konon bertentangan dengan etika…wiiih…). Buka Facebook minimal 2 kali sehari, langsung beri tanggapan yang diinginkan. Langsung posting di blog atau Twitter begitu ide itu datang (you can never be perfect by postponing or waiting for the ‘right time’, so just do it right away!). Saya mewajibkan diri menelpon kembali atau minimal sms setiap kali ada panggilan masuk yang tak terjawab.

Tahun 2013 baru berlangsung 3 minggu. Dari sekian banyak janji saya, masih banyak yang belum bisa konsisten saya lakoni. Tapi secara prinsip saya paham dan yakin bahwa jantung dari hidup yang bahagia adalah komunikasi yang baik. Bahwa gadget yang memadai akan membantu, saya setuju. Tapi yang lebih penting untuk saya perhatikan adalah niat baik dan perhatian yang tulus dalam setiap bentuk komunikasi dengan siapa pun, kapan pun, di mana pun. Meski tidak ada batasan mengenai definisi cepat atau lambat, tapi hati kita tahu mana saja hal yang bisa kita lakukan dengan lebih baik. Your gadgets can be your assets, but your relationships are the true wealth you can get.

Wednesday, January 16, 2013

Lethal Affection

Beberapa kisah dan cerita membuka mata saya tentang sisi lain dari kasih ibu yang tak lekang di sepanjang hayat. Buku-buku menarik yang menceritakan hubungan ibu dan anak (terutama anak perempuannya) telah mendorong saya berpikir lebih keras, lebih jauh, dan lebih jujur mengenai hubungan saya dengan Miss K, buah hati saya yang tengah beranjak besar. Semua ibu pasti mencintai dan menyayangi anak-anaknya, rela berkorban dan selalu menginginkan yang terbaik bagi mereka.  Saya tidak pernah mengira bahwa cinta dan kasih sayang bisa menjadi posesif, mengurung, dan mengerdilkan. Ketika kesalahan itu berlebihan maka cinta bisa mematikan, dalam arti sebenarnya maupun dalam arti kiasan.
The Piano Teacher karya Elfriede Jelinek – Di balik kisah cinta terlarangnya, Erika -sang guru piano- menyimpan duka dan lukanya akibat perlakuan ibunya yang  mendominasi, kejam, dan “tidak masuk akal”. Novel ini dipenuhi oleh bayangan kekejian dan tindakan kejam yang diam-diam telah menyusup dalam batin Erika sebagai hasil dari penganiayaan batin yang dilakukan ibunya. Saya mempertanyakan mengapa cinta seorang ibu bisa jadi demikian mengikat, mengatur, dan melukai. Semua dilakukan atas nama melindungi, mengasihi dan mengupayakan ‘kebaikan untuk Erika’.
Akhir yang tragis untuk Erika karena sebagai korban dan pelaku dia menjebak dirinya dan mengizinkan lahirnya penganiaya baru. Buat saya novel ini termasuk kategori ‘horor’ sehingga sulit meyakinkan diri sendiri untuk membaca buku ini yang kedua kalinya. Terus terang saya sudah lupa dengan detail novel ini. Hanya kesan mengerikan yang digambarkan dengan sangat baik oleh penulisnya lah yang tetap tinggal dalam kenangan.
Bumi Manusia karya Pramoedia Ananta Toer – Cinta seorang perempuan agung dan cerdas melebihi zamannya belum tentu mampu mengantarkan sang anak menuju kemandirian dan kebahagiaannya sendiri. Saya trenyuh dengan Annelies, dia memperoleh seluruh limpahan kasih sayang Nyai Ontosoroh. Tidak diragukan lagi cinta, dedikasi, ketulusan dan perjuangan sang Nyai untuk membela kepentingan anak gadisnya itu. Tapi sekali lagi, dominasi dan penguasaan sang Mama telah melemahkan jiwa Annelis dan menggagalkannya menemukan jati diri serta kekuatannya sendiri.
Nyai Ontosoroh berpandangan jauh tentang bangsanya dan menolak untuk pasrah pada penguasaan penjajah. Sesungguhnya batin Nyai juga dipenuhi dendam terhadap orangtuanya yang telah menjualnya kepada seorang Belanda ketika ia berumur 14 tahun. Nyai tidak bisa memaafkan ibunya karena ‘berdiam diri dan tak berdaya’ sebagai perempuan Jawa atas keputusan ayahnya untuk menjual Nyai.
Keinginan Nyai untuk tidak pernah berdiam diri dan upayanya melepaskan diri dari ketidakberdayaan perempuan terbaca oleh Annelies sebagai standar yang tak akan pernah bisa ia capai. Mamanya terlalu agung, terlalu tinggi menjulang kualitasnya untuk ditiru dan dicintai apa adanya. Ia hanya mampu menuruti sang Mama, sebagai bukti cinta dan kasih sayang sang anak yang terpendam. Perjuangan cinta Nyai untuk ‘anak bangsanya’, untuk hal yang lebih besar dari dirinya sendiri, tanpa sadar telah membuatnya lupa untuk mencintai Annelies sebagai seorang anak.
Secara tidak langsung, Nyai pun telah menjual Annelies kepada 'bangsa'nya, dengan harapan bahwa dengan menikahi seorang calon pemimpin bangsa ini maka Annelies akan otomatis menjadi bagian dari perjuangan itu,menjadi bagian dari kebangkitan yang Nyai impikan. Sayangnya Annelies meninggal; penyakit fisik Annelies hanya memperkuat kesakitan yang ada dalam batinnya yang tidak mampu menerima hentakan dan gonjang-ganjing kehidupan. Benteng sang Nyai tidak mampu melindungi Annelies dari kerapuhannya sendiri.
The Battle Hymn of The Tiger Mother karya Amy Chua – Cinta dalam perjuangan mempertahankan standar hidup serta mengejar standar kualitas, etos, dan mimpi besar keluarga Amerika keturunan Cina. Dibanding dua novel di atas, buku yang ditulis Amy Chua di tengah krisis dirinya sebagai seorang ibu dari 2 anak perempuan ini memberikan banyak pandangan nyata mengenai pengasuhan anak. Dari sudut pandang dan budaya Cina (dan Asia umumnya), pola pengasuhan yang baik berarti orang tua mati-matian melaksanakan kewajibannya dan anak-anak mati-matian melaksanakan kewajibannya pula.
Prestasi akademik tak bercacat dan deretan medali ekstra kurikuler yang tak berujung dinilai sebagai hasil dari sikap hormat dan patuh pada orang tua serta disiplin diri yang luar biasa. Sebagian besar uraian Amy Chua mengenai alasan mengapa  dia melakukan hal-hal yang “luar biasa kejam” terhadap anak-anaknya sepenuhnya saya pahami dan setujui. Siapa yang tidak ingin anaknya siap hidup di masa depan yang kian tak menentu? Siapa yang mau anaknya menjadi pecundang, tidak percaya diri, tidak mandiri, dan menjadi beban masyarakat?
Tapi pilihan tindakan yang dia lakukan sungguh-sungguh di luar kemampuan saya untuk mengerti dan memahaminya. Kok seorang ibu bisa begitu ya? Tidak adakah cara lain? Mungkin saya perencana yang idealis, termasuk dalam 'merencanakan' masa depan anak saya. Tapi untuk benar-benar 'membayar' rencana dan impian saya itu dengan hilangnya kenyamanan dan kebahagiaan kami? Saya pasti menyerah. Saya memilih jalan lain yang lebih mudah, lebih tidak menantang (Papa Panda pun mungkin tak setuju betapa mudahnya saya mengibarkan bendera putih).
Saya sering disebut sebagai ‘macan malas’ oleh Miss K karena meskipun mata, telinga dan otak saya tampak sedang berproses mengenai sesuatu :p (kalau saya macan beneran, pasti saat itu saya sedang mikirin besok makan hewan buruan apa lagi yaaaa, yang sehat dan lezat buat anak-anak macan), saya tetap macan yang senang leyeh-leyeh, santai-santai di depan TV, dan took this life for granted. Sebagai macan malas, saya benar-benar terkesima dengan apa yang Amy Chua lakukan terhadap Sophia dan Lulu. Determinasi tinggi dan disiplin yang kuat itu saya rasakan laksana awan yang menghalangi cinta matahari untuk menerangi dan menghangatkan saya.
Tak urung akhirnya saya (juga Amy Chua) jadi bertanya-tanya: bahagiakah Sophia dan Lulu? Bahagiakah Miss K? Setelah apa yang kami lakukan terhadap mereka atas nama cinta, kasih sayang, perlindungan terbaik, dan cita-cita mulia menjadi warga produktif dan bahagia? Amy Chua telah menjawab di bagian akhir bukunya: Ya, mereka bilang mereka bahagia. Dia juga bilang bahwa pola pengasuhan yang ia yakini adalah about believing in your child more than anyone else – more than they believe in themselves – and helping them realize their potential, whatever it may be.
Saya? Belum ada jawaban pasti. Saya masih mencari dan mencari di tengah rentetan topik yang jadi PR saya: kegilaan pagi hari untuk berangkat sekolah dan ngantor, ulangan dan ujian sekolah, 'seabrek' ekskul (sesungguhnya Miss K hanya ikut menyanyi, berenang, bahasa Inggris, dan Kumon; yang mungkin masih di persneling 1 dibanding anak-anak Indonesia lainnya yang lebih beruntung... atau malah 'tidak beruntung' ya?), pendidikan agama dan akhlak, kemandirian, pergaulan anak dan remaja masa kini (6 deadly challenge for kids and teenagers today: smoking, alcohol and drugs as well as bullying, pornography and sex), dll... dll... Ya Allah, bless us and give me the STRENGTH so I can pass it on to her to live her own life.
Mengasuh dan mendidik sekaligus mendampingi dan menginspirasi anak bukan hal yang mudah. Terutama bagi saya yang sangat kekiri-kirian (otaknya) dan sangat percaya pada motivasi internal. Ketika menyusui dan menggendong bayi mungkin merupakan hal yang naluriah bagi sebagian besar ibu, saya perlu memastikan dgn melihat serangkaian indikator untuk tahu bahwa saya melakukannya dengan benar (bayangkan saja, contohnya saya memarkir mobil bukan dengan perasaan tapi dengan perhitungan berupa bayangan sudut sekian derajat, kecepatan sekian, jarak sekian meter dan putaran stir sekian kali… di dalam kepala saya). Ketika anak saya tidak mau makan, saya kebingungan karena seingat saya, sejak saya TK saya jarang sulit makan karena sudah paham bahwa makanan yang baik diperlukan bagi tubuh untuk tumbuh dan berkembang (sejak kecil saya serius dan sedikit membosankan...:p). Ibu dan bapak saya tidak sempat panjang lebar menasehati ini-itu karena sebagian besar hal-hal mendasar sudah sejak kecil saya lakukan sendiri.
Tapi Miss K bukan saya. Saya yang sekarang pun bukan saya yang dulu. Saya bersyukur saya memiliki kesempatan untuk terlahir kembali (dengan harapan sebagai 'saya' versi yang lebih baik) ketika Miss K hadir ke dunia ini hampir 9 tahun yang lalu. Sosok mungilnya telah mengubah hidup saya sejak saat itu. Banyak hal yang telah kami lakukan bersama, atau tidak bersama (karena saya tidak selalu ada untuknya). Semoga cinta dan kasih sayang saya mampu menggapai hatinya yang terdalam, dan membopongnya untuk berani hidup dengan keyakinannya, dengan bahagia. Jangan sampai ketulusan saya sebagai orang tua menjadi berlebihan, mematikan dan mengecilkan semangatnya untuk menghadapi dan menghiasi dunia.
Saya berdoa agar cinta saya kepadanya tidak menghancurkan diri saya juga. Di atas segala-galanya saya lah yang sebenarnya membutuhkan cinta, pengakuan, kesabaran, dan pengertiannya. Ketika suatu saat nanti saya berhenti ‘tumbuh dewasa’, saya ingin dia memaafkan, memaklumi dan menerima saya apa adanya.