Tuesday, June 2, 2015

Dan hidup itu bukan cuma LARI


Bulan Maret-April 2015 kemarin itu hidup saya bener-bener rada jauh dari melarikan diri. Mau lari aja kudu nyuri-nyuri waktu di pagi hari sebelum ada SMS atau WA masuk “Mbak di mana? Ditanyain si Bapak soal.....” #Yelahhh.... Walhasil lari 10kilo di Pocari Run 2015 ngga sanggup rasanya, padahal course-nya mulus, cuaca enak ngga terlalu panas dan water station terjamin. Angka di timer-nya pas saya finish aja banyak banget hehehe....

Ya udah lah, saya mah pasrah. Nah, sekitar momen itu juga sahabat saya ada yang nanya, “Loe lagi sibuk dan excited ngapain nih? Selain lari, maksudnya....kalo soal lari, gw ngga pingin tawu.” Dia udah tutup mata dan kuping untuk urusan lari ini.

Iya ya... saya sibuk ngapain ya, selain mikirin lari (belum tentu lari jugag sih) dan ‘lari’ dari si Bapak yang pelupa tapi punya proyek seabrek-abrek itu. Ngga mungkin saya ceritain ttg proyek si Bapak karena sahabat saya langsung nyosor lagi, “Eh iya, selain soal kerjaan loe juga...”.

You are what you repeatedly do. Bener ngga ya... kayaknya sih iya. Tapi masak gw mau bilang sama sahabat gw itu bahwa most of my time are spent on work (8am to 7pm) dan perjalanan pulang pergi (2 hours x 2). Pastinya ngga menarik lah. Saya juga bingung tuh ngapain aja di kantor, rasanya ngga sempet “kerja” beneran. Urusannya ngomong ini-itu, rapat sana-sini, minta tulung anu-inu sampe saya ngga ngenalin diri saya sendiri yang sebenernya ngga seneng banyak ngomong. I wish I was not that bawel and rempong. I wish people understand what they are suppose to do. I wish I could find a better way to get things done.  Kayak di film-film gitu lho, di mana suatu tim itu ngga perlu banyak berkata-kata, udah langsung bisa bekerja. Wkwkwkwk...

Atau itu mungkin karena definisi kerja buat saya sekarang seharusnya bukan “ngerjain sesuatu”, tapi “bikin orang ngerjain sesuatu jauh lebih baik dari standar saya dan orang itu hepi ngerjainnya”. Somehow, a manager is like a messenger, interpreter, motivator and arbitrateur all in one. Lho, baru nyadar ya?  Hahaha... kata orang bayaran saya dah termasuk paket jadi messenger (penyampai pesan ya, bukan pengantar dokumen), interpreter (penyampai pesan ya, bukan penerjemah karena sama-sama pake bahasa Indonesia), motivator (penyampai pesan ya, bukan cuman menghibur dan muji-muji), and arbitrateur (penyampai pesan juga ya, supaya pada damai aman sejahtera) dan jadi debt collector kerjaan. Ya udah, diterima aja.

Oh iya, balik ke pertanyaan tadi.

Saya ngapain aja ya? Apa (masih) excited nonton drama Korea (atau baca sinopsisnya kalu ga sempet nonton) termasuk jawaban? Baca multi buku dan random bisa dikategorikan kesibukan yang exciting kah? Lunch-date di luar ruangan kantor seminggu sekali sembari hang out ama temen, gimana?  Posting foto di Path dan Twitter? Atau yang agak “lurus” deh, baca Al Qur’an setiap hari? Bingung deh jawabnya. Pertanyaan itu sederhana tapi seperti ditanya “Loe itu orang seperti apa?” Idih, serius ama yak saya ini.

Tapi aku mah gitu orangnya. Suka kepikiran.

Apa yang saya lakuin itu harusnya ngga cuma tujuan, jenis, dan recehannya yang penting tapi juga adakah dampak baik yang terjadi. Saya lari, trus apakah saya jadi lebih sehat, bugar, bahagia sehingga jadi orang yang lebih baik buat orang sekitar? Saya ngerjain proyek si Bapak, trus apakah saya mampuin diri untuk nggak ngomel doang dan ambil hikmahnya: jadi tau hal baru, lebih ikhlas, dapet berkah kenalan lebih banyak orang, kerja lebih trengginas, dan paham nilai utama bahwa “repot untuk Indonesia” itu layak dikerjakan? Saya nonton drama Korea, trus apa itu bisa bikin saya menghargai dan menerapkan budaya Indonesia yang baik-baik? Saya baca buku ini-itu, gonta-ganti setiap minggu, trus apa itu bikin saya menulis dengan lebih efisien dan mampu ngirimin pesan yang mengena di hati? Saya baca Al-Qur’an, trus apa saya sudah mampu memahami dan mengamalkannya (beneran lho, kita hidup wajib baca manualnya. Gadget aja ada manualnya).

You are what you do, how you do it and what impact you make from doing it. Kalo nonton acara Kick Andy yang menghadirkan orang-orang fenomenal yang berusaha “membuat dunia jadi lebih baik” rasanya tertonjok hehehe. Soalnya saya ngga ngapa-ngapain, gitu. Cetek banget hari-harinya. Tapi trus saya juga inget kalo mau “sibuk” tuh yang  sederhana aja dulu, ngga usah muluk-muluk, tapi dikerjain terus-menerus. Setidaknya ada dampak ke diri sendiri. Harusnya.

Jadi, jawaban saya apa dong ke sahabat saya itu? Karena hidup bukan cuma lari dan kerja maka ide jawabannya ada di sini nih www.onedayonejuzz.org. Nothing new, but I hope it was meaningful enough because it is for me. It challenges me to put first things first and not let the busy-ness distract me from what I believe in. Sekalian ngajak fastabiqul khairat, berlomba-lombalah atau bersegeralah dalam berbuat kebaikan. Termasuk berbuat baik untuk suami-anak, keluarga besar, teman, diri sendiri.

Alhamdulillah, sekarang saya mulai bisa lari lagi karena big project repot untuk Indonesia-nya udah kelar. Gantian dong big projectnya. Baca Qur’an? Ya iya lah.

Thursday, February 12, 2015

Starting with the End (Part II)



Saya ngga berani bicara ttg kematian dari sisi kesiapan secara rohani dan spiritual. Jauh banget dari kapasitas saya. Saya mau ngobrolin sisi logistiknya aja berdasarkan pemahaman saya yang sangat terbatas gimana kalo kita mesti menghadapi cobaan dan kehilangan anggota keluarga.

Terkait orang-orang terdekat di keluarga inti, sebelumnya saya tidak pernah berpikir:  gimana kalo meninggalnya mendadak? Tapi gimana juga kalo sakitnya berkepanjangan? Apakah saya mampu, kuat hati dan memiliki ilmu yang cukup untuk mendampingi mereka di saat yang paling penting di akhir hidupnya?  Apa yang seharusnya saya katakan kepada orang yang sedang kesakitan dan merasa tidak nyaman? Apakah kata-kata “Sabar ya, Allah SWT menyayangimu” itu cukup? Doa apa yang tepat untuk menenangkan batin yang sedang ketakutan? Bagaimana jika saya yang panik? Bagaimana jika niat saya ditolak ybs? Bagaimana jika saya sedang bersenang-senang di suatu tempat –ngga ada feeling apa-apa-- ketika hal mendadak itu terjadi? Saya sungguh nggak tau. And we are extremely terrified  by things we don’t know.

Saya tidak pernah membayangkan bagaimana menjadi seorang caregiver jika ada anggota keluarga yang sakit berat dan membutuhkan perawatan intensif jangka panjang, atau perawatan paliatif. Apakah saya akan punya cukup energi dan kesabaran untuk melakukannya dengan baik  meskipun1000% berniat dengan tulus dan ikhlas.  Apakah saya bisa untuk berpikir dan berperilaku positif serta tetap bersemangat and not getting sick myself? Gimana caranya saya bisa memfasilitasi keinginan sang pasien sehingga meningkatkan kualitas hidupnya secara lahir batin? Saya yakin banget hal itu ngga gampang. Baru baca tentang orang yang merawat anjingnya yang mengidap penyakit dementia (Canine Dysfunctional Disorder) kaya gini aja udah mewek. Itu baru anjing lho, dan anjingnya saya juga nggak kenal. Such a tough girl.

Kalau hal ini terjadi pada keluarga inti, sejauh apa saya bisa menyokong secara keuangan? Sudah memadai kah asuransi kesehatan yang dimiliki? Saya teringat teman sekolah saya di Amrik yang orang tuanya berusia di atas 70 tahun tapi sehat, energik, dan produktif. Dia bilang, "Our healthcare system do them so much favor". Alhamdulillah, setidaknya kita sudah punya BPJS. Seluruh biaya operasi ayah saya dan proses endoskopi+kolonoskopi ibu mertua ditanggung oleh BPJS. Sedangkan biaya kesehatan saya ditanggung oleh asuransi kantor. 

Tapi tidak bisa dipungkiri, kemarin saya tetep deg-degan. Saya belum mempersiapkan dana darurat untuk kebutuhan seperti ini. There’s no logic without logistics. Pasti kita perlu biaya untuk transportasi, biaya kontrol dokter dan obat yang tidak ditanggung, biaya untuk makanan tambahan/supplement, serta yang tidak kalah penting adalah biaya “psikologis”. Terkadang dalam keadaan sedih, bingung, murung, dan lelah, kita cenderung membuat keputusan secara impulsif. Makan ngga dipikirin dan dipilih-pilih, mau murah atau mahal, makanan sehat atau junk food, yang penting makan. Ada barang ketinggalan di rumah, daripada puyeng harus balik atau menunda penggunaan mendingan beli baru. Dalam kondisi merasa “kepepet” dan “emergency” seperti itu, kita jadi lebih permisif untuk melakukan hal-hal yang kita anggap akan melegakan dan membuat kita merasa lebih baik.

Saya juga masih kurang ilmu tentang prosesi jenazah dan pemakaman, tentang yang diwajibkan + disunnahkan dan yang diharamkan.  Sumpah... kursus mengenai topik ini ada di paling bawah “Self development course this year”.  Kepikirannya tentang kursus luar negeri melulu, sedangkan materi yang penting seperti pengurusan jenazah ngga jadi prioritas sampai mungkin kelak akan jadi “mendesak”. Hiks. 

Trus, pemakaman baiknya di mana ya? Sewanya itu untuk selamanya atau sewa pakai sampai berapa waktu? Pernah baca artikel  Jangan Mati di Jakarta” belom? Yah, begitu lah, ngga kepikiran deh. Oia, sampe sekarang nih, mau jadi anggota Yayasan Bunga Kamboja aja nggak jadi-jadi. Padahal agennya duduk di sebelah kubikel saya di kantor. Padahal preminya amat sangat terjangkau. Parahh kan? Karena sebagian dari diri saya masih menolak kenyataan yang rasanya terlalu jauh dan pahit untuk diakui.

Lebih lanjut lagi, saya nggak tahu gimana cara pengelolaan hutang dan harta warisan; apa bedanya pelaksanaan hukum negara dengan hukum Islam. Sebaiknya gimana menyelesaikan harta dalam bentuk hibah, wasiat, dan warisan? Gimana caranya supaya harta tsb ngga memancing pertikaian dalam keluarga karena rebutan atau hanya karena beda pendapat ttg cara pengurusannya.

Ngurusin surat-surat dan dokumen administrasi harta warisannya ke mana ya? Salah satu sahabat yang baru ditinggal ibunda tercinta, kecipratan rezeki untuk mengurus dokumen harta warisan kedua orangtuanya yang telah meninggal. Urusannya ternyata ngga gampang. Cerita sahabat saya itu yang panjang kali lebar ttg pertemuan dengan Ketua RT, RW, Pak Lurah, dll --dibumbui komentar ttg betapa absurd-nya proses birokrasi di negeri ini-- membuat kami tergelak-gelak dalam kepedihan. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan segala urusannya. Amiin YRA.

Nah ini nih, saya belum yakin banget mengenai acara pengajian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari yang menurut sebagian orang lumrah (baca: nyaris wajib) dilaksanakan karena sudah tradisi dan sebagai bentuk penghormatan kepada yang meninggal dunia. Sebagian orang meyakini bahwa hal tsb termasuk bid’ah dan mengada-ada karena sesungguhnya yang masih berpengaruh terhadap orang yang meninggal hanyalah amal ibadahnya, ilmu, dan doa anak yang sholeh/sholehah. Jadi sakleknya: nggak perlu acara tahlilan. Kalo ada dissenting opinion, gimana menyelesaikannya? Jangan sampe setelah ditinggal meninggal, keluarga malah berantem.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan benda peninggalan yang lebih bersifat historis, romantis, dan sentimental dibanding nilai ekonomisnya? Disimpan, disumbangkan, atau dibagikan ke beberapa anggota keluarga, atau gimana? Bingung, kan.

Saya baca-baca, di Amerika dan beberapa negara lain sudah ada penyedia jasa yang mengkhususkan diri dalam memberikan dukungan moral dan teknis bagi para calon ibu, para penderita sakit berat dan/atau keluarganya dalam mempersiapkan tahapan penting dalam hidup mereka right at the begining and the end. Istilahnya “birth and death doula”.  Kalo dilihat deretan jasa yang mereka tawarkan melalui situs internetnya, sebagian besar hal-hal yang kita pertanyakan di atas dapat mereka selesaikan.  

Bukannya dalam masyarakat kita layanan tersebut ngga ada, tapi mungkin belum terintegrasi dari satu penyedia dan yang jelas belum dijadikan komoditas komersial yang ditawarkan dengan harga tertentu (some packages can be as high as tens of thousand dollar). Lebih jauh lagi di masyarakat kita, institusi keluarga masih memiliki nilai yang sangat tinggi dan dianggap dapat menyediakan dukungan penuh kepada anggotanya yang dalam kesusahan. Adapun bantuan dari institusi kesehatan atau agama atau lainnya merupakan bagian dari partisipasi anggota keluarga secara tidak langsung. Saat ini, keluarga bisa ‘dikutuk’ abis dan dianggap menelantarkan kalo sampe menyerahkan nasib anggotanya ke lembaga jasa komersial. Nggak tau juga ya 10-20 tahun ke depan.

So, barang kali udah waktunya buat saya agar --seiring waktu dan semakin ‘dewasa’nya saya-- mulai memikirkan dan mempersiapkan diri. Tentunya bukan untuk menyuburkan sikap paranoid dan pesimisme, tapi untuk memaknai dan merayakan kehidupan itu sendiri. Mau ngapain lagi sih, selain menikmati hidup dengan benar dan bijaksana. #jiah.

Remember, the real life begins at 40! Let’s embrace it happily.

Starting with the End (Part I)



Saya tidak pernah terlalu memikirkan tentang kematian sampai setahun terakhir. Beberapa kejadian pada saya dan orang-orang yang saya sayangi menuntun saya untuk mulai mengenal kematian sebagai keniscayaan yang layak untuk dipikirkan dan dibicarakan.
Mulai dari ibu saya sakit karena kondisi gusi buruk, gizi kurang memadai (bayangkan anaknya ‘sukses’ begini, kok orang tuanya bisa nggak makan?), dan diperparah dengan penyakit diabetes serta darah tinggi yang tidak dikelola dengan baik.

Lalu saya sendiri sempat dig-dig-dug-deg-dor karena dokter pertama memberikan vonis yang menyeramkan atas kondisi tiroid saya. Alhamdulillah, menurut dokter yang memang ahlinya, kondisi tsb tidak membahayakan selama saya memperhatikan pengobatan dan menjaga kesehatan lahir batin agar hormon bisa seimbang. Setiap bertemu teman atau keluarga, pasti saya menerima komentar “Kok sekarang kurus sekali dan kuyu? Sakit apa? Jangan kurus-kurus ah, ngga bagus keliatannya. Makan yang banyak, biar seger”. Hehehe... alhamdulillah masih ada yang merhatiin.

Tidak lama, ayah saya harus operasi hernia. Meskipun hitungannya bukan operasi besar, faktor usia yang sudah lanjut menyumbang risiko tersendiri. Selama 4 siang-malam saya menemani ayah agar beliau tenang karena tau saya yang mengurusnya di rumah sakit.

Baru minggu lalu ibu mertua saya menjalani biopsi di leher, setelah sebelumnya kami berobat ke ahli gastro karena masalah pencernaannya dan shock atas diagnosis awal yang menakutkan berdasarkan hasil CT Scan. Alhamdulillah, hasil biopsi menyatakan beliau tidak terkena kanker.
Ayah dari beberapa sahabat saya juga terserang penyakit berat dan membuat sahabat saya mulai berpikir hal terburuk yang dapat terjadi ketika kita atau orang yang kita sayangi berada dalam kondisi kesehatan gawat.

Tahun lalu saya juga kebetulan menjalani umur yang kata orang waktunya memulai kehidupan. Isn’t it ironic? Kalau dipikir lagi, enggak juga. Ketika katanya saya seharusnya memulai hidup,  ternyata yang dimaksud adalah seharusnya kesadaran saya akan kehidupan mulai muncul (andai sebelumnya belum :p). Tapi apakah kehidupan itu sesuatu yang terlepas dari kematian? Justru titik tolaknya di situ. Hidup dan mati adalah dua sisi dari satu mata uang, tidak bisa dipisahkan begitu saja. So when life begins at 40, it is actually an alarm of how I perceived the chance of how it ends someday.

Tapi orang-orang lebih suka bicara tentang kehidupan daripada kematian. Dalam budaya kita, katanya “pamali” atau nggak baik ngomong tentang kematian. Kita juga takut setengah mati untuk memikirkan kematian kita sendiri. Merasa tidak siap, banyak dosa, belom berbakti, takut neraka, dll. Jadi kita lebih suka menghindar dari topik tersebut, seolah hal tsb adalah hal yang sangat jauh dan penuh misteri (mungkin lebih nyaman ngegossip tentang hal yang “jauh” lainnya seperti beda harga LV di Hongkong dibanding Milan, atau nebakin Syaiful Jamil akhirnya merit sama siapa). Akhirnya pembicaraan tentang kematian terbatas pada majelis ilmu di mesjid, kajian muslimah, atau ceramah agama karena di situ ada orang yang kita anggap berilmu (sang ustadz atau ustadzah) sehingga berhak memulai pembicaraan sulit tsb.

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Itu saja patokan saya untuk memberanikan diri membicarakan hal ini, setidaknya di sini, dengan diri saya sendiri.

Seperti yang saya bilang tadi, topiknya susah karena ngga ada pelaku sejarah dan saksi hidup yang  bisa berbagi pengalaman gimana sebenernya kondisi di “alam sana”. Meskipun ada yang pernah mengalami keajaiban tidak jadi meninggal dunia dan bisa menceritakan hal-hal luar biasa, tapi nyatanya ya belom bisa dibilang meninggal beneran.

Apalagi nyariin ahlinya, itu lebih susah. Manusia belom adil nih. Kan katanya lahir, rejeki, jodoh, dan mati adalah ketetapan Allah SWT. Nyariin organizer untuk menyambut kelahiran bayi udah banyak, mulai dari paket pemeriksaan, senam hamil, neonatal home care, dokumentasi, sampe pengelolaan tali pusar. Bisnis mak comblang juga terus marak karena manusia selalu ingin bisa ketemu jodohnya. Apalagi wedding organizer...mau mahal atau murah semua tersedia, mempelai tinggal duduk manis. Yang seret rezekinya masih bisa cari kerjaan baru, nyari konsultan bisnis, dukun, atau hynotherapist supaya pikiran bisa fresh, kinerja naik, rezeki berpihak ke kita. 

Nah, untuk yang kematian ini sepengetahuan saya yang tersedia adalah unit perawatan paliatif dan yayasan pengurusan jenazah.  Kedua jenis layanan itu juga kalo bisa ngga perlu kita bicarain deh. Ngeri. Kita menghindar sebisa mungkin.

Yang kebayang sama saya, pastinya ribet banget ya buat kita mempersiapkan kematian tersebut. Selain mempersiapkan diri pribadi untuk suatu kepastian yang saat ini masih abstrak, kita juga harus mempersiapkan orang lain dan hal-hal yang nggak pernah kepikiran sebelumnya. Bener kata orang. We’ll never be too prepared.