Saturday, October 27, 2012

Beauty, Love, and Happiness


Menjadi cantik, jatuh cinta, dan bahagia rasanya seperti mengikuti sebuah permainan perasaan dan pikiran. Kisah saya sendiri dalam berburu perasaan itu adalah kisah panjang yang dibumbui penyangkalan, pengakuan, dan ketidakpedulian.  Meskipun definisi dari apa yang disebut cantik itu relatif, bahkan tidak terbatas, tapi saya merasakan dan menyaksikan kecantikan tetap berdampak dalam kehidupan seseorang. Kehidupan cintanya. Pangkal dari bahagianya.

Menjadi cantik, menarik, dan mempesona sudah menjadi salah satu cita-cita saya sejak saya menyadari bahwa saya tidak terlalu cantik, menarik, atau mempesona. Ketika umur saya sekitar 7 atau 8 tahun, saya sadari bahwa anak perempuan dengan beberapa gigi depan yang tanggal, berambut tebal pendek kaku yang bau keringat bercampur debu, lutut berboncel bekas luka parut, kulit menggelap hasil mandi matahari, serta tawa terbahak tanpa malu akan sangat sulit untuk disebut cantik. Saya cukup tabah saat itu, kenyataan tersebut tokh bukan suatu masalah besar. Punya cita-cita menjadi cantik sungguh sangat berbeda dengan punya masalah dengan kecantikan. Itu motto saya sejak SD. Lagi pula, ibu saya tidak pernah menyinggung sedikitpun hubungan antara kecantikan dan keberhasilan hidup. Mungkin saat itu memang tidak terlihat ada hubungannya.

Untungnya gua-gua ompong di gusi saya itu akhirnya terisi, rambut saya tumbuh semakin panjang dan tidak terlalu berbau, lutut dan siku saya yang penuh goresan bisa tertutupi celana panjang dan kaos tangan panjang, sedangkan kulit saya lama-lama kembali ke warna aslinya, yaitu sangat sawo matang. Tapi saya tak kunjung menjadi cantik. Tidak masalah juga. Sampai muncul berbagai hal baru dalam kehidupan saya.

Pada umur 17 tahun, hal-hal itu sungguh menakutkan. Badan saya berhenti tumbuh ke atas; yang bertambah adalah berat badan saya. Ketika pemilihan “Teman ter-..” di pesta kelas, saya terpilih jadi “ Wulan sang Cewek Paling Cuek” yang meskipun berarti positif di satu sisi, tapi berpotensi negatif di sisi lain. Saat itu sebagai “cewek cuek”, artinya saya seru dan cocok untuk dijadikan... teman gila-gilaan para cowok tanpa harus jaim. Saya jadi korban dengerin cerita jorok, partner jalan-jalan godain bencong Saparua, dan tempat penampungan derai air mata tentang cewek-cewek lain.

Di lapangan basket, prestasi saya tak perlu dipertanyakan. Saya selalu jadi yang terakhir menyelesaikan lari 12 keliling ketika latihan. Sesuai perkiraan, saya gagal dalam Three-shooting Basket Ball Competition. Mental boleh juara, tapi hasil merana.

Saya juga menjadi langganan ulangan remedial pelajaran Kimia di SMA, dengan spesialisasi Reaksi dan Kesetimbangan Kimia. Itu dosa besar bagi siapa pun anak jurusan A1 yang ingin masuk ITB (dan kemudian terbukti saya gagal masuk ITB). Saya sering kehabisan uang (bukan karena tidak bisa mengelola, tapi karena uang jajan saya memang minim) sehingga terpaksa bersusah-susah pulang jalan kaki setelah bersenang-senang nongkrong makan batagor bersama teman-teman. Itulah cara saya mengelola uang saku.

Saya tidak punya pacar, tidak peduli betapa rendah standar itu saya turunkan. Kakak kelas di SMA yang saya taksir habis-habisan (sebagai catatan: dia agak gemuk, nggak bisa nyanyi/bukan anak band, keriting, pemain basket yang biasa saja, sedikit gagap, gagal masuk kelas A1, dan tidak begitu ganteng) tidak pernah menyadari bahwa saya termasuk kategori mahkuk yang bernyawa. Jika saat itu dia memandang saya dengan sebelah mata saja, pasti hati saya sudah meledak saking bahagianya. Oh, nasib.

Entah mengapa saat itu semua hal baik, termasuk menjadi cantik, menarik, dan mempesona, tidak terjadi pada saya. Menjadi orang yang tidak seberapa cantik akhirnya membuat saya banyak memiliki waktu untuk memperhatikan dan mengamati berbagai jenis kecantikan dan dampaknya dalam kehidupan.  Di mulai dari segi fisik. Kok bisa yah kulit cewek itu tetap mulus dan terang benderang padahal sama-sama seharian dijemur pas OSPEK? Kok bibirnya si Mbak sebelah tetap lembab dan merekah sampai sore hari, sementara bibir saya kering kerontang? Mata si Anu, si Ani tetap bening dan bersinar di pagi hari, belajar buat ujian nggak tuh mereka?

Dari sisi ini, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa faktor genetik sangat dominan. Sungguh tidak ada yang bisa dilakukan terhadap kulit saya, bibir saya, dan mata saya selain menjaganya agar tetap ditempatnya, berfungsi, dan tidak ngambek ketika diperlukan. Dan tidak ada yang bisa saya perbuat, untuk mencegah para kumbang jantan itu terbang mengelilingi bunga-bunga cantik yang cemerlang dan harum mewangi. Para kumbang tidak pernah berdusta, dari lirikan matanya mereka jujur berkata bahwa tidak ada tempat untuk saya, sang bunga dari jenis yang lainnya.

Dari sisi karisma, beda lagi. Orang cantik rata-rata berkarisma. Baru melenggang sambil berdehem saja, orang cantik akan membekukan dunia beberapa orang di sekitarnya. Tapi, tunggu.... Gadis yang tidak begitu cantikpun bisa berkarisma dan membuat one specific boy tergila-gila. Cowok yang saya taksir habis-habisan ketika kuliah (sebagai catatan: dia atletis, cool, suka olahraga menantang, seorang petualang alam, agak ruwet, unik/aneh/nyleneh, kekanak-kanakan, perokok berat, naik sepeda ke kampus, dan cukup ganteng) mengajak saya kencan nonton di bioskop. Waktu itu bulan April. Filmnya tentang pembunuh berantai yang kejam dan sadis. Seven. Kencan pertama yang amat mendebarkan.

Setelah itu dia ajak saya jalan-jalan ke Lembang, ke sebuah tempat di daerah Cihideung. Saya jadi cewek pertama yang dia ajak ke tempat persembunyiannya itu. Semua terasa sempurna sebelum akhirnya tanpa saya sangka-sangka dia curhat tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Ingin rasanya saya tutup mulutnya agar dia berhenti bicara. Tapi saya hanya termangu, dan tanpa seizin saya, otot-otot muka saya bergerak menyerupai lengkungan senyum prihatin. Saya hanya selintas kenal gadis itu, dan saya tidak mengerti apa yang menarik dari dirinya. Gadis itu kurus, hitam, kurang stabil,  kucel, dan cerewet luar biasa. Masih mending saya ke mana-mana. Karena itu, pasti ada sesuatu tentangnya yang bukan tentang cantik biasa. What’s in her, damn it!
 
Dia bilang, dia juga tidak mengerti kenapa tapi gadis itu lah cinta sejatinya. Nggak adil kalo lo hanya dapet sisanya, lanjutnya lugas sambil memandang lukisan jingga di langit senja. Baiklah. Saya jatuh tertembak. Cinta saya tertolak sebelum sempat terungkap. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang itu. Saya tepuk punggung tangannya pelan dan tersenyum kecil sambil diam-diam berusaha mencabut panah berdarah dari dada saya. Setidaknya, kami memiliki perasaan yang sama. Meski ke arah yang berbeda.

Dari penantian selama 2 tahun sampai kencan pertama (sekaligus yang terakhir) dengannya, terlanjur tercipta satu buku kumpulan puisi untuknya, Seize the Day. Meski misi saya gagal total, saya berikan juga buku puisi itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya di bulan Oktober. Meski hati saya patah-patah, saya tidak ingin jadi pelit dan memelihara “sampah” rasa berlama-lama. Buku itu sekaligus sebagai kado untuk ulang tahun saya sendiri. Seperti yang dia bilang, dia tidak punya banyak hal untuk saya, termasuk ucapan selamat ulang tahun. Saya belajar menerima ketika saya memberi.

Dari sisi keberuntungan, lain lagi ceritanya. Beberapa bulan sebelum saya lulus kuliah, akhirnya saya lihat kerlip bintang di bola mata seseorang yang senyumnya selalu mengembang setiap kali saya ada di dekatnya. Saya merasa menjadi cantik. Dia juga bilang saya cantik. Saya bahagia. Akhirnya terjadi juga. Bukan sihir, bukan ge-er, bukan takabur. Saya bersumpah, saya yakin sekali, dia (sebagai catatan: dia yang pintar, ganteng, sopan dan normal, lucu, serta cukup kaya itu) sedang jatuh cinta pada saya saat itu. Semua pertanda menuju ke sana. Dia memandang saya dengan pandangan penuh makna, beberapa detik lebih lama dari waktu normal yang biasa dilakukan manusia lainnya. Dia menelpon saya tiap malam, hampir selalu tiga jam. Dia menjemput dan mengantar saya setiap kali dia bisa. Dia minta saya temani ke mana-mana. Dia memperkenalkan saya pada “Red Star”, mobil tua kesayangannya yang tidak boleh sembarangan disentuh orang lain. Dia betah menonton TV seharian bersama saya. Dia senang berada di sebelah saya. Dia bagi mimpi-mimpinya tentang hidup dan dunia. Dia bahkan menceritakan saya pada orang tuanya. Tak salah lagi. Dia jatuh cinta. Saya jatuh cinta. Jadi, inilah rasanya menjadi orang cantik yang bahagia. Oh, beruntungnya Wulan kali ini!

Tapi saya salah. Sungguh cinta tidak selalu hubungannya dengan kecantikan dan karisma. Di suatu malam, dengan terpatah-patah dia katakan bahwa saya memiliki semua hal baik yang dia kagumi. Kegembiraan, kecerdasan, kasih sayang, kebaikan hati, kesabaran, termasuk kecantikan. Dia senang dan ingin tetap bersama saya. Dia ingin tetap bisa memeluk saya. Menyayangi saya. Tapi saya bukan dia. Sama seperti ketika Ross dalam serial “Friends” mengungkapkan satu-satunya sisi buruk tentang pacar barunya setelah putus dari Rachel adalah “She’s not Rachel”. Saya lah si (calon) pacar baru yang tidak beruntung itu. Saya hadir pada saat yang salah ketika semua hal lainnya terlihat benar. Dia minta kami menjaga garis itu tetap ada sebelum terlanjur hanyut dalam kebohongan. Lalu dia pergi. Tak pernah kembali. Rachel-nya beruntung, saya bingung. Apa ini? Saya serasa menerima kertas lotere bertuliskan ‘Anda belum beruntung. Silakan coba sekali lagi’.

Jika ada yang bilang beauty is a lie maka saya akan setuju, karena ugliness is a truth adalah benar adanya. Kebohongan yang menyenangkan dan memabukkan sulit hinggap pada saya. I was not even worth the lies. Because lies take a lot: one’s best ideas, utmost energy, time, and sometimes great deal of fortune. Sebaliknya, saya harus terbiasa dengan kejujuran yang menyakitkan. Sisi baiknya, saya tidak pernah sempat dibohongi. Jadi meski terdengar naif dan memaksa, saya masih percaya bahwa cinta sejati yang jujur dan tulus masih bisa ada untuk saya.

Sampai suatu waktu, saya terus mencari cinta. Mencari hal yang menjadi pangkal bahagia. Entah saya berhasil mendapatkannya dengan jeratan ketidakbegitucantikan saya, balutan karisma saya (jika ada), atau murni keberuntungan (dan kasih sayang Tuhan) semata. Hubungan antara kecantikan, cinta, dan bahagia belum lagi bisa saya pecahkan rumusnya.

Doa saya sampai saat saya bertemu dengan matahari saya adalah: Please, God... make it simple and easy, just let him search and rescue me. For I had no clue.

No comments:

Post a Comment