Friday, December 13, 2013

Parent with No Property (8 inspirasi dari Han Hee-Seok)

Mengubah diri sendiri menjadi orang tua yang lebih baik

Pak Han menemukan satu-satunya kebahagiaan hidup pada saat minum bir sampai mabuk. Namun ia memutuskan berhenti minum alkohol. Mengetahui bahwa kondisi kesehatan mentalnya bisa merusak cita-cita mereka, dia rajin menjalani pengobatan dan belajar mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. Di tengah perasaan sebagai penulis yang gagal total, Pak Han bangkit dan merumuskan tujuan hidup yang jelas demi anak-anak. Dari tulisannya, terbaca Pak Han tetap memelihara rasa humornya, terutama dengan menertawakan diri sendiri.

 
Bersikap optimis dan berpikir positif karena anak akan meniru orang tua

Pak Han mengingatkan bahwa apapun pekerjaan, kebiasaan, gaya hidup, pandangan hidup, arti kesuksesan/kegagalan orang tua akan ditiru secara alamiah oleh anak-anaknya. Orang tua yang sukses dalam profesinya akan mendukung anaknya memilih profesi yang sama, sementara itu anaknya secara alami juga akan memandang profesi tersebut sebagai bukti keberhasilan hidup (jadi nggak heran ya, anak Presiden kepingin juga jadi presiden). Sedangkan orang tua yang merasa gagal dalam pekerjaannya akan melarang anaknya melakukan pekerjaan yang sama, karena secara umum orang tua tersebut merasa tidak mengetahui atau memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi sukses. Jadi sebaiknya orang tua harus berusaha menjadi representasi suatu keberhasilan atau kesuksesan hingga anak-anak punya keyakinan terhadap ortu dan dirinya sendiri.

 
“Tak usah malu. Demi anakmu, banyaklah belajar dan bertanya kepada ahlinya”

Pak Han sadar, dia bukan orang tua yang tahu segalanya, terutama tentang pendidikan akademis. Karena itu ia tidak ragu menghubungi dan bertanya kepada berbagai pihak yang menurutnya bisa memberikan pencerahan. Dia terinspirasi para pelatih baseball dan berbesar hati karena para pelatih terbaik umumnya dahulu bukan merupakan pemain bintang. Dia banyak membaca mengenai apa yang harus dilakukan seorang pelatih olahraga. Kesimpulannya, untuk mencetak seorang pemain bintang maka dia harus berperan sebagai pelatih yang tegas, disiplin, dan obyektif; bukan sebagai orangtua yang sering dibiaskan oleh perasaan.

Ketika Pak Han bingung darimana harus memulai sebagai pelatih belajar bagi Geoul, dia menelpon keponakannya dan mendapat pencerahan: ingatkan anak untuk selalu menatap guru ketika guru menerangkan materi karena daya ingat anak akan lebih kuat ketika kenangannya diperkaya dengan intonasi, ekspresi dan gerakan tambahan dari sang guru. “Paman, dorong Geoul untuk bertanya langsung kepada guru di luar sesi pelajaran ketika mendapati kesulitan” demikian kira-kira saran berikutnya dari sang keponakan.

Selain itu, suruhlah anak membuat catatan pribadi pada buku pelajaran. Catatan pribadi itu bisa berupa coretan, singkatan, angka atau apapun yang membantu anak memahami serta mengingat kembali konsep yang diajarkan.

Geoul pernah diminta Pak Han untuk membandingkan buku teks pelajarannya dengan buku pelajaran siswa rangking 1 di sekolahnya. Perbedaannya nyata: buku teks anak rangking 1 dipenuhi berbagai tulisan, coretan, gambar, dan komik yang menunjukkan proses pengolahan dan penyimpanan informasi yang berlangsung dalam otak anak itu, sementara buku teks milik Geoul terlihat putih bersih, bagai belum pernah digunakan. Sejak Geoul belajar membuat catatan pribadi di buku teks, hasil ujiannya sedikit demi sedikit meningkat.

Pak Han juga meminta nasihat dari beberapa orang lainnya yang dianggap lebih paham mengenai daftar buku sastra yang direkomendasikan dan cara belajar bahasa Inggris yang efektif. Intinya, Pak Han tidak ragu dan malu untuk mencari bantuan serta menambah pengetahuannya sebagai orang tua.

 
Berusaha memahami anak-anak

Meskipun membuat kupingnya panas, Pak Han berusaha mengerti bahasa anak-anak dan berbicara dalam bahasa mereka  dengan cara menguping pembicaraan remaja di kendaraan umum, restoran, dll.  Pada dasarnya, remaja menggunakan kata-kata umpatan sebagai subyek, predikat, kata sifat dan sekaligus kata keterangan dalam kalimat mereka. Pak Han juga belajar menyukai makanan kesukaan anak agar anak merasa bahwa mereka bisa berteman. Ketika terjadi permasalahan yang pelik, Pak Han biasanya memancing solusi dari anak dengan cara bercerita kisahnya sendiri di masa kecilnya . Waktu yang pas untuk berkomunikasi dari hati ke hati dengan anak adalah saat kedua pihak sedang tidak marah. Pak Han mengajak Geoul bersantai dengan berjalan-jalan dan hiking untuk berdiskusi.  

 
Jeli melihat peluang pembelajaran dan pengayaan pengalaman anak melalui fasilitas dan acara gratis

Ketika kita sudah kepepet, maka kita akan menjadi kreatif. Karena keterbatasan biaya, Pak Han dan anak-anak merencanakan acara liburan seru  berbiaya rendah. Pak Han memanfaatkan acara dokumenter di TV sebagai salah satu media belajar bagi anak-anaknya. Meskipun awalnya mengomel, tapi lama-kelamaan anak-anaknya menyukai acara tamasya mereka ke museum/galeri dan pertunjukan seni (musik, drama, instalasi, dll).  Pak Han juga rajin mengunjungi perpustakaan di kotanya untuk meminjam buku-buku pilihan yang berkualitas.


Mengajak anak suka membaca koran

Pak Han ingat bahwa meskipun ia sendiri tidak pandai, tapi sejak kecil ia suka membaca koran. Hal itulah yang menyelamatkannya dari jurang kebodohan dan memberikan bekal baginya sebagai seorang penulis. Karena itulah Pak Han menyuruh Geoul membaca kliping kolom dari 2 koran terbaik di kotanya. Selama 2 bulan Pak Han menyusun kliping itu dari hari ke hari, tapi Geoul tidak kunjung membaca satu halaman pun. Setelah pembicaraan yang serius dengan sang ayah, dengan enggan Geoul akhirnya mulai membaca kliping kolom koran tersebut hingga suatu saat ia bertanya pada Pak Han, “Ayah, apa pendapat Ayah tentang hukuman mati?” Berbagai materi kliping koran yang dipilih Pak Han menjadi pencetus diskusi hangat di antara mereka.  Geoul juga mulai gemar membaca setelah Pak Han membacakan sebuah buku yang sangat menarik setelah makan malam. Bahkan ketika Geoul tidak memiliki waktu untuk membaca sendiri, Pak Han membacakan buku selama Geoul makan.


Menumbuhkan empati dan dukungan untuk anggota keluarga

Sedemikian telaten dan konsistennya Pak Han dan keluarga dalam memastikan kesuksesan Geoul maka ketika musim ujian akan tiba, Pak Han memberlakukan masa reses selama 20 hari sebelum hari ujian (conditioning). Tidak ada TV bagi seluruh anggota keluarga dan tidak ada kegiatan lain selain belajar. “Umumnya anak-anak akan gelisah dan mondar-mandir tidak jelas selama beberapa hari pertama, tapi setelah mereka terbiasa mereka akan belajar dengan tekun dengan sendirinya. Saya melihat bahwa anak yang malas sekalipun, pada saat SMA kelas 3 akan terpaksa belajar karena tidak ada teman untuk diajak bermain,” demikian kutipan pernyataan Pak Han.  Di kala lain, ketika Pak Han sedang kecewa karena karyanya ditolak penerbit, Geoul lah yang menghibur dan menumbuhkan semangat untuk ayahnya.


Memastikan anak-anak cukup istirahat dan mengenali cara terbaik mengatasi tekanan

Meski terlihat keras dan disiplin, Pak Han selalu memastikan anak-anak memperoleh jam tidur yang memadai. Rata-rata anak SMA di Korea Selatan baru sampai di rumah jam 10 malam setelah mengikuti les atau belajar di perpustakaan. Setelah itu mereka masih harus menyelesaikan PR sekolah sehingga umumnya mereka tidur lewat tengah malam. Untungnya, anak-anak Korea Selatan masih bisa tidur sekitar 7 jam 32 menit karena nggak masuk jam 06.30 pagi seperti anak sekolah negeri di Indonesia, hehe..

 
Tips yang tidak biasa dari Pak Han untuk Geoul adalah ketika Geoul merasa tertekan dan terbebani dengan kesibukan belajar di sekolah, justru kurangilah kegiatan di sekolah. “Ketika sibuk, pulanglah ke rumah,” katanya.  Tips lainnya, “Tidak apa-apa anak kita hanya peringkat 2 atau 3 atau 4, asalkan dia pernah menjadi peringkat 1 agar dia bisa memahami apa yang diperlukan untuk menjadi yang terbaik”.

Parent with No Property (Kisah Nyata Han Hee-Seok)


 
Pak Han Hee-Seok, seorang ayah di Korea Selatan, meyakini bahwa jika terjerat dalam kemiskinan adalah takdir baginya, maka mungkin tak akan ada yang bisa merubah hal itu selamanya. Tapi sebagai seorang ayah, Pak Han tidak ingin mewariskan hal yang sama kepada ketiga anaknya. Di Korea Selatan ada pepatah bahwa anak terlahir pasti membawa piring nasinya sendiri (pepatah versi Indonesianya: setiap anak punya rejekinya masing-masing). Pak Han tidak percaya itu. Anak harus belajar untuk memiliki piring nasinya sendiri.

 
Kisah dimulai ketika Pak Han pusing bukan main, memutar otak mencari cara mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Biaya tertinggi bagi keluarga di Korea Selatan adalah biaya tempat tinggal dan biaya pendidikan. Bukan hanya pendidikan formal di sekolah, tapi juga pendidikan tambahan di tempat kursus dan kegiatan ekstra kurikuler di luar sekolah.  Hampir semua keluarga di Korea Selatan berlomba untuk memasukkan anak-anak mereka ke berbagai tempat kursus agar anak mereka lebih unggul dari anak lainnya. Kondisi ini sesuai dengan hasil survey Costumer Purchasing Priority – Education oleh MasterCard  tahun 2013 yang menunjukkan bahwa 67% orang tua di Asia Pasific menghabiskan rata-rata 14% dari biaya rumah tangganya untuk membayar biaya kursus anak. Berdasarkan survey tersebut, 33% anak-anak Korea Selatan mengikuti kursus pelajaran tambahan di luar sekolah dan 50% mengikuti kursus bahasa asing. Di Thailand, Malaysia, dan Singapura rata-rata 45%-52% anak-anak ikut kursus pelajaran tambahan. Sebagai perbandingan, di Indonesia hanya 17% anak Indonesia yang ikut kursus pelajaran tambahan dan 16% yang ikut kursus bahasa asing.  

 
Pak Han yang bekerja serabutan sebagai tukang bangunan dan istrinya yang berjualan asuransi tentu tidak mampu membiayai kursus tambahan bagi Geoul, Jeoul, dan Dan Jong. Ketika mengetahui bahwa raport Geoul kebakaran dan menduduki peringkat 27 dari 36 murid di kelas 1 SMP, Pak Han tersentak dan sadar bahwa ada sesuatu yang harus berubah agar kutukan kemiskinan tidak menghantui anak-anaknya. Jalan yang ia pilih adalah mendorong anak-anaknya untuk memiliki keunggulan akademik di sekolah, tanpa mengikuti shadow education berupa kursus atau les tambahan di luar sekolah.

 
Pak Han bukannya tanpa alasan. Mereka hidup di Korea Selatan, salah satu negara di mana anak-anak harus bersaing keras memenuhistandar akademis untuk bisa sukses dalam kehidupan. Sebenarnya hal itu lumrah terjadi di negara-negara di kawasan Asia. Dalam buku memoar yang berjudul “After Orchard”,  Margareta Astaman juga menceritakan bahwa anak-anak di Singapura sejak dini sudah dibebani target prestasi akademik yang harus mereka capai di setiap jenjang pendidikan jika ingin memperoleh karir yang cemerlang setelah lulus kuliah. Segregasi nasib di mulai sejak berhasil atau tidaknya seorang anak masuk SD yang top. Kegagalan akademis di jenjang terendah berarti gagal masuk sekolah favorit di jenjang berkutnya, dan itu artinya terdapat penurunan probabilitas kesuksesan mereka di masa depan.  Tidak ada jalan lain. Geoul harus masuk universitas favorit di Korea, jika tidak maka Geoul tidak akan jadi apa-apa.

 
Hal itu yang terjadi pada Pak Han muda. Ia bukan murid yang pandai dan tidak menyukai belajar di sekolah. Tanpa keunggulan akademis, praktis ia tidak punya kesempatan karir. Sedangkan cita-citanya menjadi penulis juga kandas. Hingga menikah dan beranak 3, belum pernah ada satupun karyanya yang diterbitkan. Pilihan yang tersisa adalah sebagai pekerja bangunan.

 
Dalam buku memoar ini, Pak Han berbagi cerita mengenai hal-hal yang mereka lalui bersama sebagai suatu keluarga. Akhirnya Geoul, yang menjadi kelinci percobaan, berhasil diterima di Universitas Korea yang sangat prestisius di Korea Selatan.  Dengan keterbatasan kondisi ekonomi (miskin), kurangnya pemahaman materi akademis, dan ketidakstabilan secara emosional (Pak Han sering terkena serangan panik), ia berhasil menjadi orang tua yang mengembangkan potensi anak secara optimal.

 
Bagaimana Pak Han melakukannya? Seperti yang sempat diulas oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya “David  vs Goliath”, untuk bisa seperti David yang menang melawan Goliath, you have to be that desperate. Pak Han berada dalam posisi tidak punya pilihan, sehingga harus maju terus. Ia mencari cara-cara yang tidak lazim agar celah tipis itu bisa semakin terbuka dan mengantarkannya pada peluang yang lebih baik.

 
Pak Han dan keluarganya juga memiliki stamina yang luar biasa, karena Pak Han sadar kesuksesan tidak bisa dibangun dalam waktu singkat. Tidak kurang dari 2.000 hari yang mereka lalui dengan air mata suka dan duka hingga akhirnya Geoul memetik hasil yang memuaskan. Kasih sayang, kesabaran, dan kekompakan keluarga Han merupakan faktor yang menentukan keberhasilan mereka menjalani hari-hari yang berat dan penuh tekanan itu.

 
Buku ini bertujuan untuk menginsipirasi keluarga lain dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam keterbatasan ekonomi. Saya menikmati membaca buku ini karena Pak Han cukup terbuka, jujur, dan lucu dalam mengungkapkan kondisi yang terjadi. Bisa jadi Pak Han merupakan gambaran para ayah yang terjerat dalam kekecewaan atas pencapaian dirinya sendiri dan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan keluarga, namun kemudian bangkit untuk memperbaiki keadaan. That’s really inspiring.

 
Meskipun demikian, saya merasa bahwa Pak Han juga mewakili beribu orang tua lainnya yang terlalu fokus pada pencapaian akademis semata dan kurang menganggap penting faktor lainnya. Anak meraih nilai ujian yang sempurna dan menduduki peringkat teratas menjadi satu-satunya tujuan hidup bagi orang tua seperti Pak Han. Pak Han bahkan membebaskan anak-anak dari melakukan hal lainnya –yang mungkin bermanfaat bagi perkembangan karakter anak, seperti membantu pekerjaan di rumah–  agar anak-anak bisa memiliki lebih banyak waktu untuk belajar. Sounds like my old-school parents :p. Sebagai orang tua jaman sekarang, saya menekankan pentingnya belajar dan hal-hal lainnya...heuheuheu (lebih parah ya?).

 
Saya juga kurang sependapat dengan cara Pak Han yang selalu berusaha membangkitkan rasa bersalah dalam diri anak-anak jika mereka tidak menuruti arahannya. Pak Han tanpa bosan selalu mengingatkan anak-anak bahwa sebagai orang tua mereka telah melakukan banyak hal dan berkorban demi anak. Pasti berat untuk anak-anak, karena pada dasarnya semua anak ingin menyenangkan dan memenuhi harapan orang tuanya. Mami Feti bilang, “Meskipun inspiratif, kayanya nggak ada sisi fun-nya untuk anak-anak.”

 
Begitulah, seperti juga saya, Pak Han bukan orang tua yang sempurna. But who is?  Perjalanan sebagai orang tua adalah perjalanan panjang tanpa peta. Pengalaman Pak Han dan keluarganya dalam menempuh jalur yang mereka pilih akan memperkaya wawasan kita sebagai orang tua untuk memilih jalur terbaik bagi anak-anak kita, sampai mereka siap memilih bagi diri mereka sendiri.

PS: terima kasih, Mami Feti, buat kado bukunya !!!  Thanks for  showing me the way so I can be a better parent.

Monday, December 9, 2013

Dream Job (Bagian 2)


So what am I doing? I’m doing numbers and texts. My business is to add values by turning numbers and texts into information and statistics. That’s it. Ohh wait, pardon me... by information and statistics, we mean comprehensive, realible, accurrate, timely, and accessibble information and statistics. Here we go.

Nampaknya udah cukup serius tuh pernyataan saya (nyontek dari dokumen resmi sih). Tapi apa sih artinya bagi saya? Saya mencoba lihat lagi diri saya dan bertanya sendiri. Apa yang saya percayai? Apa tujuan saya dalam hidup ini? Nilai-nilai apa yang saya pegang dengan sepenuh hati?

Apa yang saya percayai sebagai turunan dari anugerah Allah SWT bagi manusia dan kehidupan di dunia ini? Dalam hidup ini, saya percaya (1) semua orang (seharusnya)memiliki kesempatan untuk memutuskan yang terbaik bagi dirinya. Kunci pertama untuk memperoleh kesempatan itu adalah akses terhadap informasi. Informasi diperlukan agar orang bisa terus belajar dan mempertimbangkan banyak sisi untuk mengambil keputusan yang lebih baik. Saya juga percaya (2) hampir semua hal di dunia ini adalah relatif dan cara mengukur sesuatu terhadap sesuatu yang lainnya adalah melalui data. Data diperlukan untuk menguji suatu perkiraan atau sangkaan atau perasaan melalui suatu perbandingan dengan suatu standar yang dapat dijadikan acuan.

Kedua hal yang saya percayai tersebut dan dunia yang saya lakoni sampai sekarang ternyata amat dekat hubungannya. Sejak dulu saya suka dengan angka. Saya menjadi asisten Laboratorium Statistik sejak tahun kedua kuliah. Saya mengajar les matematika anak SD dan SMP. Meskipun tidak termasuk brilian selama program MBA, saya cukup terkenal sebagai the numbers cruncherdalam tim. Nah sekarang, saya mengolah dan menyajikan data, menyediakan informasi dan mempublikasikan statistik. Bukan sembarang informasi dan statistik, tapi informasi dan statistik yang lengkap, akurat, handal, tepat waktu dan mudah diperoleh.

Seluruh level pengguna bisa memanfaatkan informasi dan statistik itu dalam riset, formulasi kebijakan sektoral, pengambilan keputusan bisnis dan inovasi, bahkan mendukung pembangunan nasional. The universe has lead me closer to one thing I like.
 
Contohnya hari ini. Saya berada di Bandung, diundang dalam suatu pertemuan mengenai riset ekonomi dan perbankan Indonesia. Berada di tengah para peneliti ekonomi serasa berada di planet lain. Mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda. But I still like the sound of their language because I know they talked about something worth the time, knowledge, skill, and cost. They talked about our country. That’s at least the common thing amongst us.

That sounds very fascinating and promising, doesn’t it? Somehow it is also in line with what all Indonesian people always quoted as “berguna bagi nusa, bangsa, dan agama”. Adakah tujuan lain yang lebih mulia dari pernyataan itu? Hahaha.... Semua anak Indonesia jadul pasti pernah mendengar atau mengucapkan cita-cita itu. As abstract as it seems, I do my job now with this kind of blinded proud and dreamy spirit that I ‘maybe doin’ something good for the country.

 I hold deeply in heart fairness, equal opportunity, and human’s ability to adapt and develop himself. No matter what’s happening on the work place, I believe those values are worth to embrace and pass on to people around me.
 
To be fair, we need to have knowledge and wisdom, as well as compassion. That’s what Prophet Muhammad SAW meant by sinergizing faith and knowledge to be a muslim kaffah (well-rounded moslem).
 
To endorse equal opportunity, people need to understand others because what constitute good thing for one may not be true for the other. And for me, considering every one is unique, the word “equal” is easier said than done.
 
The last thing about people’s potential to be empowered and make themselves useful is  important to me. I see people are so drawned either in their comfort couches or in their uncomfort slumps, they refuse to change. I see this as “man-on-pause”, we’re not getting anywhere. Can’t go back, can’t move on. Trapped in a big time machine, until our time is up.

Jadi, setelah uraian panjang lebar di atas, bisakah sekarang saya menjawab pertanyaan teman saya mengenai apakah pekerjaan saya sudah sesuai dengan cita-cita atau kecintaan saya terhadap sesuatu? Despite all and all, I’d say “yes”. All the paths I took, all the routes I visited, and all small decisions I made along the way have guided me to be here now.

I accepted my job as it has accepted me for who I am.
We respect each other and only exchange the best of us.

Thursday, December 5, 2013

Dream Job (Bagian 1)

Salah satu sahabat saya pernah menanyakan apakah pekerjaan saya sudah sesuai dengan cita-cita atau kecintaan saya terhadap sesuatu. Hmm... pertanyaan yang menarik.  Tapi susah menjawabnya. Akhirnya saya jawab aja, “Gue belajar mencintai aja apa yang gue kerjain.” Seolah pekerjaan saya segitu mengerikannya (macam dijodohin aja), jadi saya harus belajar mencintainya. Mungkin sahabat saya sedang mencari jawaban untuk dirinya sendiri. Mungkin juga dia bertanya karena prihatin mendengar kabar saya sering lembur, overloaded and overheated.

Para pelaku seni dan atlit –tanpa diragukan lagi– tentu berkarya sesuai dengan passion mereka. Liat aja Yovie Widianto, Deddy Mizwar, Nungki Kusumastuti, Christian Hadinata, Siman Sudartawa, dll yang begitu semangat menjalani apa yang mereka percayai sebagai hal yang bermakna bagi diri sendiri, orang lain, dan negeri ini. Demikian juga dengan penulis, perencana keuangan, pengusaha, dan orang-orang yang bekerja secara mandiri. Lalu bagaimana dengan pegawai negeri, pegawai negara yang terikat dengan berbagai aturan, birokrasi, dan target ini-itu? Bagaimana dengan pekerja kantor swasta yang jam kerja-nya gila-gilaan, penuh dengan persaingan dan sikut kiri-kanan, dan ancaman pemecatan? Apa sih yang bisa diarepin dari kerja di lembaga publik yang kinerjanya ngga jelas atau kantor swasta yang kejam kaya gitu? Masih berartikah  passion bagi mereka?

Saya teringat pernyataan teman mengapa dia mau dan bertahan bekerja di lembaga  yang membawa-bawa nama negara. Teman saya dari bank sentral Mongolia mengatakan bahwa bekerja di bank sentral itu (1) berarti  turut berperan memajukan negaranya, (2) membanggakan karena bisa lulus  seleksi masuk yang sangat ketat, (3) gaji lumayan, meskipun ngga tinggi-tinggi amat, dan (4) bisa berhubungan dan bertukar pikiran dengan orang lain dari berbagai negara dengan passion yang sama: economics. Mulia banget yaaa... 

Saya pikir dia basa-basi aja, tapi ternyata Ika, sahabat saya yang telah beberapa kali nongkrong dengan para central bankers dari berbagai negara juga bilang hal yang sama. Salah satu temannya yang bekerja di bank sentral Jerman menganggap pekerjaannya sebagai (1) sesuatu yang serius, penting, dan bermanfaat buat negara. Sebagai warna negara Jerman, dia (2) bangga dan puas atas kinerja kantornya meskipun gaji yang diterima jauh lebih kecil dari para bankers di bank-bank swasta besar di sana. Dia percaya bahwa (3) apa yang dilakukannya, apa yang dicapai kantornya itu, merupakan hal yang  menyelamatkan negara dan membuat perubahan signifikan bagi kemaslahatan masyarakat. Wooww....semangat uber alles!

Lain lagi sahabat saya yang lain, yang bertahun-tahun membangun kepakaran dalam bidang spesifik yang kira-kira sebutannya seperti ini: marketing director of corporate transportation and logistics services. Widiiih, keren ya. Yang lebih keren adalah menurut saya dia seneng kerja di bidang itu karena (1) sesuai dengan kompetensi yang dikembangkannya selama ini. It feels great if you are excellent at something. (2) Gaji dan bonus kinerja yang woowww, juga (3) social environment  yang relatif cocok dengannya. Jadi soal jam kerja gila-gilaan, persaingan pake sikut kiri-kanan, dan ancaman pemecatan atau penurunan grade gaji udah pernah dia lewatin meski penuh dengan keringat dan darah. Setelah sekian lama, dia jenuh dengan kondisi itu dan mulai memandang penting (4) fleksibilitas dalam hal waktu kerja. Setelah jadi kutu loncat di berbagai perusahaan, beberapa bulan lalu akhirnya dia mendapatkan dream job-nya untuk saat ini: tetep kerja di perusahaan, tapi dah bisa berlaku seperti pengusaha tuh, yaitu 4 hari ngantor dari rumah dan cuman kerja di kantor seminggu sekali. Dengan begitu, dia lebih bisa leluasa nemenin anak-anaknya sebelum-sepulang sekolah dan bisa lebih bebas......jalan-jalan, hang out dan belanja, tentunya. Hahaha....

Suami saya dan saya sendiri lain lagi ceritanya. Singkat cerita, kami bekerja di sektor pelayanan (meskipun ngga langsung) untuk masyarakat dan negara karena nasiblah yang mempertemukan kami dengan pekerjaan itu. Suami saya pernah mencoba berwira usaha setelah beberapa tahun menjadi pegawai negeri. Beberapa bisnis yang pernah kami tempuh: usaha transportasi logistik, ternak domba, pemodal bibit ikan, dan investasi kayu sengon. Sadly, let’s say we didn’t make it.

Banyak alasannya: kurang fokus (ngga bisa in charge langsung karena tetep sembari kerja kantoran yang menyita ‘energi’), kurang pengalaman dalam manajemen bisnisnya (termasuk memperoleh SDM pelaksana usaha yang terpercaya), dan kurang berani untuk meraih kesempatan yang lewat karena keterbatasan dalam dua hal sebelumnya. Kesimpulan kami, kalo mau bisnis mesti all out, ngga bisa sembari disambi dengan kegiatan lain, apalagi yang dibayarin ama negara. Nggak tega lah, ninggalin kewajiban dan tanggung jawab di kantor hanya demi kepentingan pribadi. Jadi, dia balik lagi ke idealisme: kerja bakti bagi negara. Cieee.... hehehe (*nge-lap keringet*).

Saya sendiri ngga pernah berani mencoba berwira usaha. Kalo aja saya berani buka praktek jadi dukun curhat sejak kuliah dulu, barangkali saya dah bisa mengembangkan grup usaha bernama “Harapan Jaya” yang bergerak di bidang personal empowerment, hehehe. Tapi saya tersanjung dan terharu juga bahwa saya yang ngga punya skill apa-apa ini masih berguna buat orang lain.

Rumah saya semasa kuliah, terutama saat menjelang ujian, selalu dipenuhi teman-teman yang semaput karena belum siap ujian dan mengharapkan ada wangsit tips and tricks dari saya (padahal menurut saya, mereka itu pinter-pinter, cuman suka ngga yakin aja. Jadi cuman butuh penguatan). Macem jimat aja, kalo udah liat fotokopian catetan saya, mereka udah ayem.  

Kalau lagi low season ujian, gantian masalah percintaan yang mengemuka (padahal tau apa sih saya ttg cinta? Saya lah satu-satunya yang ngga punya pacar selama kuliah  --well, masa jadian saya dengan Mr. X yang berumur 10 hari serta cinta-cinta saya yang bertepuk sebelah tangan itu ngga usah diitung lah yaa--). Walhasil kadang saya agak terbawa suasana saking menjiwai peran sebagai penasihat cinta dan sering berpikir “ Would it be better if they both do things differently? How different I would react in the same situation? Can this relationship survives and grows? So, what’s the cure for a brokenheart? etc”.

Bertahun-tahun kemudian, ketika kami telah terberai dengan hidup dan karir masing-masing, eh.. ujug-ujug ada pertanyaan via BBM saya “Haaiii, loe lagi sibuk ngga? Eh, gw boleh nanya ya... gimana menurut loe, gw ambil tawaran kerja di Bank P atau di Bank Q yaa?  Please jawab a.s.a.p. ya  karena loe kan terkenal lelet jawab BBM. Gw perlu banget nih jawabannya.”   Hehehe..... emangnya saya siapa, kok ya berani merasa lebih tau ttg bank-bank tsb? Akhirnya daripada salah memberi jawaban, saya cuma berani  mengajukan pertanyaan. A right question equals half of its right answer.

Belum lama ini, bos saya datang dengan tergopoh-gopoh ke meja saya. Waduuuh, ada kerjaan yang bermasalah nih kayanya. Ternyata: “Mbak, saya mau konsultasi nih, penting banget. Ada waktu kan? Ini lho..., saya kan mau jualan makanan. Kotak plastik packaging-nya yang cocok dan murah itu bisa saya beli di mana ya? “  OMG, really ????? 

Pffyuhh, saya emang ngga bakat jadi konsultan atau asisten pribadi :p. In conclusion, I stay and stick with the offices. No idea to build a business on my own. Soal bisnis yang jadi impian saya, ntar dibahas lain kali.

Kembali ke topik awal.  Am I happy with what I am doing now? What exactly am I doing now? What business am I in? That’s the purpose statement  I should formulate for myself.

Sambil mikirin purpose statement saya dalam bekerja, saya timbang-timbang lagi seberapa samanya saya dengan orang-orang yang saya ceritakan di atas. Pernyataan kolega dari bank sentral Mongolia dan Jerman membuat saya malu. Harusnya saya kan berpandangan seperti mereka ketika menjawab pertanyaan sahabat saya di paragraf pertama. Nikmat Allah SWT yang mana lagi yang saya mintakan?

Tanpa bermaksud menyombong, ortu saya parah banget bangganya terhadap institusi tempat saya bekerja yang mereka anggap sebagai lambang dari intelektualitas (ortu kan pasti berpendapat anaknya ‘pinter, cerdas, berbakat, dst’), kemapanan, dan kontribusi bagi Indonesia (you know, tentunya karena mereka adalah pensiunan pegawai negeri yang berdedikasi, kesannya we have something in common). They never complained about my long hour at work, maybe because I resemble themselves as a responsible person working for the society. #eaaa banget ngga tuh? Mereka kan ngga kenal konsep ‘work-life balance’; mereka kenalnya Nike : Just do it (yo wis, dijalani wae). Karena itu, kalau mereka bangga...ya sudahlah, memang jatahnya mereka untuk menikmati hasil 'panen'nya.

Lambang intelektualitas? Meski berada di lingkungan kerja yang semua orangnya pinter-pinter kadang bikin ciut nyali dan terseok-seok ngejarnya, tapi beliau-beliau yang pintar itu banyak menginsipirasi saya untuk berpikir lebih jauh dan berbuat lebih banyak. To do the extra mile. Dari sisi kemapanan, Alhamdulillah saya bersyukur imbalan yang saya peroleh bisa menunjang kemandirian ekonomi keluarga dan bantu orang lain dikit-dikit. 

Soal kontribusi, setidaknya hasil dari apa yang saya kerjakan bisa dimanfaatkan oleh orang lain di seluruh Indonesia. That’s the power of data, my friend. I am anonymous to just about every user of the data I worked on. Nonetheless, I’ve built strong virtual relationship with them. I feel their  passion and ambition for projects their are in. I sense their anxiety and anger when their work’s due dates were approaching yet they got nothing from me. So, some people saw me as a heroine. Some didn’t happy and blamed me for things they failed. Some --just like myself most of the time--  are wishing we can do more.

Mestinya sih , setelah menimbang faktor-faktor di atas, secara umum harusnya saya menjawab bahwa apa yang saya kerjakan adalah sesuatu yang saya minati dan cintai. Tapi saya penasaran untuk menggali semakin dalam, sebelum terlambat.... Apakah saya mengerjakan sesuatu yang bermakna? 

A right question equals half of its right answer.

 

5K Mandiri Run, 6 Oktober 2013

Yang rada beda dari 5K sebelumnya adalah kali ini saya dateng rame-rame bareng Miss K, Ihsan, dan Babe. Akhirnyaaaa, my babe mau juga (katanya mau nemenin Miss K, kalo ngga kuat jalan kaki aja). Selain itu temen kantor --para pejuang data-- (Ade, Roby, dan Fanto) serta BI-Runners juga ikut memeriahkan festival yang diselenggarakan Bank Mandiri ini. Oh iya, kabarnya semua finisher (termasuk 5K) akan dapet medali dan gelang e-money. Peningkatan dari race Mandiri Run Mei 2013 lalu, barangkali banyak yang protes ketika tertulis finisher 5K cuman dapet gelang e-money.

Saya sendiri excited karena mau lari pakai sepatu BROOKS baru yang dibeli 3 hari sebelumnya di Bandung. Sepatunya sih udah 2 kali dipake dan nyaman banget. Patut untuk dicoba diajak nge-race lah, batin saya. Selain itu berhubung bulan Oktober 2013 tuh tepat 1 tahunan urusan me'lari'kan diri ini, saya pake kaos Indiana. I wanna celebrate the idea of running. Saya inget di Bloomington, IN semua orang (baca: sebagian mahasiswa) pada lari semua. Saya juga mengenang indoor jogging track-nya di Student Recreational Sport Center yang nyaman banget. Duh, dulu sih boro-boro ada ide ikutan running club di sana. Yang ada riweuh belajar...hehehe.

Malem sebelum race, semua bib udah dipasang di kaos masing-masing. Rute 5K udah dicek (ternyata ada perubahan rute tuh). Rutenya udah kenal, sama dengan Mandiri Run Mei 2013. Start di depan Senayan City, muter ke dalem sedikit, trus belok ke Jl. Sudirman, lewatin gerbang GBK, nanjak di Semanggi flyover, turun dan lurus terus sampe belok kanan di Patung Pemuda, masuk ke finish area. Ihsan udah diwanti-wanti untuk nge-charge handphone supaya besok bisa dihubungi sehabis race, dan ngga ilang di tengah keramaian Mandiri Festival City 2013.

Seperti biasa, rombongan sirkus kami berangkat rada telat untuk ukuran acara lari. Untung lokasinya di Senayan City, masih bisa dicapai dalam 40 menit dari rumah. Akhirnya masang tali sepatu dan sarapan roti selai kacang terpaksa di mobil. Anak-anak pada tidur lagi, hihi. Kami sampai di depan Senayan City 20 menit sebelum start. Walhasil, antri pot-a-potty alias toilet-nya udah panjang bukan kepalang kaya ular naga. Padahal ada sekitar 4 mobil toilet tuh. Hadeuuhh... Untunglah ketika yang 10K berangkat, kita (yang bergabung di kelas festival 5K) dah selesai memenuhi panggilan alam tsb. Tugas udah dibagi-bagi. Saya dan Ihsan akan lari sendiri-sendiri sesuai pace masing-masing. Babe dan Kay akan lari (dan jalan) sama-sama.
Saya WhatsApp-an juga sama Ade. Kita semua janjian ketemuannya di tenda yang paling deket dengan tempat pembagian minum dan pisang.


Jumlah peserta race sekitar 5000-an untuk 10K dan 5K serta corporate challenge. Panitia mengklaim bahwa #MandiriRun 2013 ini adalah race lari berbayar yang terbesar di Indonesia. Biasanya kan yang banyak pesertanya adalah yang gratisan tuh. Sebenernya sih Mandiri Run Oktober 2013 ini jatuhnya gratis juga sih. Biaya pendaftaran 5K untuk pemilik rekening Bank Mandiri Rp50.000,00. Nanti setelah finish dapat gelang e-money bernilai Rp50.000,00 juga. Bonusnya ya race pack standar-nya: T-shirt unisex by Joma warna biru-kuning khas Bank Mandiri dengan ukuran yang nggak kira-kira (gedenya), bib + timing chip, dan pernak-pernik sponsor standar. 

Tapi selain itu, Mandiri Run Oktober 2013 ini juga merupakan bagian dari hajatan besar Jakarta 'Festival City' Marathon 2013. Kegiatan yang dilaksanakan tanggal 27 Oktober 2013 itu adalah yang pertama setelah 20 tahun dan diharapkan menjadi salah satu jalan mempromosikan keindahan Jakarta, Indonesia. Iya dong, masak cuman banjir, macet, dan premannya aja yang terkenal. Kami sekeluarga sudah mendaftar sejak jauh-jauh hari, jadi hanya mengeluarkan biaya early bird @ Rp75.000/orang untuk 5K dan Rp50.000 untuk Maratoonz anak-anak 4-12 tahun sepanjang 1.3K.

Jam 6.15 WIB dimulailah race Mandiri Run 5K. Saya yang berada di barisan belakang memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai di garis start. Saya mulai lari pelan-pelan. And pretty much stayed in that slow pace or slower or walked. Nggak tau kenapa, larinya berasa lambaaaat banget. Udah gitu kok napas ngos-ngosan. Saya sebel deh. Pokoknya ngga seperti yang diarep-arep deh. Boro-boro bisa mencapai target sub-40 min. Yang ada malahan jalan pas turunan Semanggi (disalip Fanto deh jadinya) dan struggling sampe deket Patung Pemuda (disalip Indra yang ikutan 10K).  I guess, instead of just ran, I thought too much at that time about how I felt, how was my stride, could I be faster after so much I did in the past weeks... Ujungnya jadi kontra produktif. 

Liat deh foto ini, duhhh... nggak sporty dan photogenic banget. Yang ada kaya orang melarikan diri abis disiksa... hahaha. Kalo aja saya selebriti reality show, para penonton dan fans pasti kecewa berat. Chiptime-nya 45:59 menit. Huiks. Saya kecewa berat.  It's been one year. If I can't make this very basic race right, how can I move on to 10K, half or full?

Go, Hoosier!

Tapi perasaan itu langsung pudar begitu ketemu garis finish (pengaruh hormon..hehehe). Para finishers langsung dapet kipas buat ngilangin gerah. Nyebrang jalan dikit, ketemu antrian medali plus gelang e-money yang bisa diaktifasi dan dipakai untuk membayar sajian kuliner khas nusantara. Saya ketemu ama beberapa temen kantor sebelum akhirnya ketemu ama Babe, Kay, dan Ihsan.
 

Senangnya dapet medali dan gelang warna-warni...


Babe juga sumringah karena ternyata dia masih kuat lari. Sambil nemenin Kay yang ngomel-ngomel kecapean, Babe larinya bolak-balik. Maju berapa puluh meter trus lari balik lagi nyamperin anaknya. Waktu mereka 54:20 menit. Ihsan mencatat 36:58 menit.

Penyelenggaraan Bank Mandiri dalam festival ini menurut saya standar aja. Penempatan water station buat yang 5K sih lumayan tepat, ngga kayak yang 10K. Konon kabarnya ampe lewat beberapa ratus meter dari tanda 5K, water station buat pelari 10K belum keliatan. Saya taunya dari update WhatsApp temen yang ikutan 10K (sempet WA-an gitu yah :p). Untungnya yang 5K ngga ada masalah (selain sampah dan jalanan yang basah). Sayangnya saya salah ambil, bukannya ambil gelas berisi air mineral, malah nyaplok yang berisi Mizone. Glukk.. cuma seteguk yang bisa masuk.

O iya, sistem antrian photo booth rada membingungkan, mesti antri untuk sign up dulu akun Facebook, baru antri lagi untuk di mesin foto. Saya salah antri, pas udah di depan layar foto dan pasang aksi, mbak-nya baru bilang. Haiyaaah... Trus jumlah stand makanan ngga seimbang dengan jumlah peserta yang kelaparan. Setelah muter-muter stand makanan yang semuanya rata-rata antri panjang, Kay dan Ihsan akhirnya nyerah dan nongkrong nonton Raisa nyanyi (she's soooo cute). Sementara itu Babe ngobrol sama beberapa temen kampusnya.

Ngga kerasa udah 5 lagu yang Raisa nyanyikan. Matahari makin tinggi, udara makin panas, dan perut makin keroncongan.
Ide Kay untuk nunggu Coboy Junior manggung, ditolak mentah-mentah sama warga sirkus. Jangan biarkan orang kelaparan menunggu, Nak. Bisa bahaya. 

Akhirnya festival minggu pagi itu kami akhiri dengan nongkrong untuk sarapan di Kedai Bubur Ayam di Tebet. Nikmat banget deh. Lupakan sejenak tentang lari. Tentang pola 3-2. Tentang plank. Tentang jarak dan waktu. Kita nikmati aja pencapaian hari ini.

Because tomorrow has its own worriesAnd it's not too bad to see things from the back of the pack.

Sunday, November 17, 2013

YOU do know you're beautiful

Nothing beats us like boredom. Trust me. A very high-tide day might turn out to be our best day. Or, okay… our worst. But a boring day would end up even worse, left us feeling that tomorrow must have had something weary to make up the day. We usually got lost and grumpy during that kind of day; we craved for dry humor, slurpy diets, and endless surfing on the internet.

However, tight-scheduled day also knocked us out. It yanked us into migraine and nausea. Some people called, sometimes kind of yelled. Some people were not showing up to do the commitments, made us wanted to bang someone. Data screeched to be examined and be dag endlessly. Co-workers howled. The machine stopped working properly. The system was off. We said to ourselves, “Seriously??? Come on, you can’t do this to me…”.

A day like that may come one, two, four to five times a week, depends on how lucky we were at work. Neither is good: a long boring day or a tight-pants day. So what’s good, then?

A change. Any (good) change would do us fine. Including putting make up (and big smiles) on our faces. Do you remember when was the last time you feel you are the prettiest girl in the world? Do we remember the last time our big smiles melt people’s heart down? I hardly remember me doing that. “What’s the point of being pretty like Barbie? Would that make my life easier? Why should I smile more?”

So when I received The Body Shop invitation to a free beauty class at Grand Indonesia, I jumped in excitement (I could bring friends). Despite the fact that it can’t replace sincere smiles and warm hearts, wearing make up usually springs girls’ mood up. That is just what we need… A little get-away from daily routine with the number. Here we go!  *too bad I couldn't make it since it was Miss K's swimming race day*

So it was just Ade and Fera. Go get it, girls! Just enjoy the session and don't look at the number. Coz any number (a.k.a. the price) can make you suffer.

How do they look?
Stunning!

Now, the girls know they’re (MORE) beautiful !!!

Monday, October 7, 2013

1st year Running Anniversary : Adidas King of The Road 2013


This October month marks my one year journey to the world of WJR, walking-jogging-running. It was one great year. Don’t ask me about my running logs, since I didn’t have any. That was because there were too few runnings to put into the log. My now-shutdown miCoach reported 25 km during January to April 2013. The Nike+ recorded 48.87 km so far since January 2013 (I used miCoach or Nike+). That made the average of 2 km per week or less than 1.5 miles/week. Haa.

But let me put it another way. That might also mean I (slowly) did a good job of taking off my butt then putting one of my foot in front of another repeatedly (please put some serious consideration on the word “repeat”, that’s probably the success factor in nearly every thing in the world). From that angle, 2 km is better than zero km.

Don’t ask me about my running pace. I always hide behind the slogan “Neither distance nor pace really matters”. This perfect jargon suits me, pampers me when I was down, realizing there were too little improvement during some specified periods I worked on. I have everything in the world to blame on. Works interrupted. I got sick. My Nike+ must had some error in calculating the pace (I got slower each time! Can’t you believe it?). We had a whole fasting month and holiday travel. The office gym was too crowded. The weather was too hot. I got up late and missed the Commuter Line. I barely had the energy to tightened my shoe-laces. I forgot to bring the apparels. My kid (kind of) needed me at home. And the list would go on and on…
So here I am, a faithful member to the turtle-crowds after one year. I felt a little terrible about that, but what could I do beside not moaning and keep going? In every 5K event  I was in, I foolishly hoped the timer would somehow slow down so I could make my PR. Amazingly, that happened one day.

It was Adidas King of the Road 5K, Sept 29, 2013 at BSD City. The route was a long up-and-down road around a nice newly-built neighborhood. Although it was not too steep, my untrained legs and huffing lung were protested after the first 2.5 km. I dragged them until the 4 km distance mark. I wanted to finish this 5K strong and not walking. I have had myself prepared a little bit more serious this time: I started logging my running, training the 3-2 breathing pattern, doing postrun stretching, also putting attention on nutrition. The fact that I had to take a walk break during AKoTR just dropped my confidence and made me wanted to scream. But I nodded and said to myself “Keep going. Breathe. Keep going.”.

After the up road ended, I could manage to boost the pace in the last 500 m (flat course, of course) and booked 40:55 min on my chiptime. It was far off my office runners’ time who are in sub 40 or 30 minutes but I got my 5K PR.  
I learned something from my 5th race: it is the (wrong) perception (of walking) that slows us down. Walking is not a sin. The reality is: the walking time had saved me (and millions of other beginner runners). It gave us time to refocus, recharge, and refuel to let us running strong again.

After the photo-taking with my office-runners, we dismissed with some endorphin left in our system. My best guess after the Adidas King of the Road 2013: we had something in our mind about running, about the upcoming races in town, about the goal tapping, about all we can think about when we think about running.  
Just like I did. I’m all in for 5K Mandiri Run this week end. I am super excited. It will be a familiar 5K route. My family will join to run or walk. My co-workers are also thrilled by the event. I want to have fun, yet I still have the same things in mind: to finish strong and not walking and to make my new PR. Let’s see what happens this Sunday.

If I can make it, be happy with me, guys. If I don’t, at least it is the first time my little family run together. Also there are other races and runs I can do to make it up. It’s a win-win game. So let’s play it.

Friday, July 5, 2013

Halo Fit Run Jakarta 2013: Our first 5K together


Dengan Mbak Siti setelah Halo Fit Run 2013, Jakarta
Masih tentang lari. Kali ini saya ajak-ajak keluarga. Meski gagal ngajak Babe, tapi akhirnya Miss K, Mbak Siti (kakak ipar saya yang kenes), dan Ade (temen kantor) berhasil saya komporin untuk ikut Halo Fit Run 2013 di Jakarta tanggal 9 Juni 2013. Rute 5K-nya adalah start di gerbang GBK, muter di Semanggi, trus menuju Patung Pemuda, muter di sana, masuk ke arah Hotel Atlet Century, muterin Masjid Al Bina, baru masuk Sudirman lagi dan finish di depan gerbang GBK.

5K lagi? Ya eya laah… Hati saya masih tertambat di 5K, belom berani untuk nyoba yang 10K. Next year my target would be hitting the 10K mark. Target tahun ini adalah tetap hidup, bernafas, dan sehat di garis finish 5K. Soal waktu nggak terlalu dipikirin deh. Miss K mulai saya ajak supaya dia dapat pengalaman mencoba berbagai jenis olahraga. Syukur-syukur dia menikmati lari jadi kami bisa berlari bersama. Sebelum latian renang sih biasanya dia lari 3 keliling kolam renang sambil becanda-canda dengan temennya. Di sekolah dia cerita, hobinya kejar-kejaran sama temen sekelas yang gokil-gokil. Jadi saya pikir, kenapa ngga sekalian aja lari bareng, hehehe…

Pagi itu kami pergi dari rumah jam 5 pagi. Udah siap dengan shirt, bib number, dan RIFD tag di sepatu. Sampai di seputar GBK sekitar jam 5.30, kami bertemu pemuda-pemudi ganteng dan cantik yang baru selesai dugem di parkiran. Ada anak muda ganteng sempoyongan, ada seorang gadis muda cantik berpakaian minim yang jalannya dipapah, ada yang teriak-teriak, ada yang baunya minta ampun. Waduuuhh, serem deh. Miss K nanya, “Mereka ini abis ngapain sih, Bu?”  Saya jawab aja, “Nah, itu dia, K... Mungkin mereka juga ngga tau abis ngapain atau diapain.” Miss K bengong dengan jawaban yang dipikirnya nggak nyambung itu.

Sampai di depan gerbang GBK ternyata udah banyak banget para pelari dan pelari wanna-be yang dengan bebasnya berkumpul dan berpendapat (ngobrol, maksudnya). Kebetulan saya juga ketemu sama Ade di sana. Bukannya siap-siap dengan pemanasan, kita malah asyik foto-foto.  Sementara Babe sibuk dititipin tas dan ini-itu.

Sebelum start saya udah bilang sama Miss K agar pelan-pelan aja larinya, kalau ngga kuat bisa bareng jalan kaki sama Mbak Siti. Mbak Siti juga menyambut baik ide itu, supaya ada alasan “Nemenin keponakan yang masih di bawah umur, jadinya ngga bisa cepet sampe finish deh”.

Ketika start, Miss K berlari bareng saya. Kelihatannya dia terpancing dengan laju pelari lain (termasuk anak-anak sesusianya) yang langsung melesat. Jadinya dia mau buru-buru aja, kaya kalo becandaan dengan temen-temennya. Setelah KM1, baru deh dia mulai ngos-ngosan. Saya tunjukin pesawat kecil yang dikendalikan jarak jauh di atas kepala kami, “Itu tuh ada kameranya lho, yuk kita senyum dan dadah-dadah…”.

Di tanjakan Semanggi, Miss K nyerah dan kami berjalan kaki sambil mengambil gelang di Panitia. Kami mencoba berlari lagi di turunan Semanggi. Pas di 2K, Miss K mulai mempertanyakan lokasi water station yang dia udah pelajari di peta brosur Halo Fit Run. “Di mana sih air minumnya? Janjinya ada setelah 2K lho, Bu” katanya sambil meringis. Ternyata jatah air minum ada di KM2,5-an dan setelah minum Miss K memutuskan mau jalan aja. Setelah beberapa ratus meter, Miss K melanjutkan lari bersama saya karena Mbak Siti, yang mau saya titipi Miss K, belum kelihatan posisinya di mana.

Kami memutari Patung Pemuda dan mulai berbicara tentang garis finish. Kebetulan ada seorang bapak dan 2 anak laki-lakinya yang berusia sedikit lebih tua dari Miss K berada di sebelah kami dalam status jalan-lari-jalan-jalan-jalan, gitu. “Look at us, K. We’re good. We can make it”.

Ketika melewati tanda 4K, saya genggam tangan dinginnya dan mencoba berlari lagi. Sama seperti saya dulu, cara berlarinya juga rada-rada memprihatinkan. Dia mendarat dengan jari dan kaki bagian depan. Nafasnya pendek-pendek. Tangannya keliatan berat menjuntai di samping badan. Jadi saya tau dia pasti merasa capek dan tersiksa. Apalagi dia belum terbiasa lari jauh seperti ini. Karena itu seringkali kami berjalan kaki diselingi dengan lari 100-200 meter.
Run, K, run !!!
Di depan Masjid Al Bina, Miss K terlihat udah ngga bisa senyum lagi. Saya sadar mungkin ini adalah kesalahan besar, mengajak Miss K ikutan 5K tanpa mengajaknya berlatih dan membiasakan diri sebelumnya. Mungkin memang dia senang lari-lari di sekolah, mungkin dia lari di kolam renang pada waktu pemanasan. Tapi untuk menaklukkan 5K? Waaaah, saya tega banget yaaaks?? Seharusnya saya lebih bersabar menunggu event lari yang ada Kids Race-nya (meski kayanya rada jarang di Indonesia). Mestinya saya ajak dia sejak jauh hari untuk mencoba jarak yang lebih pendek. Mestinya kan anak-anak lari dengan benar secara bertahap. Harusnya. Yah, sudah lah, sesal kemudian nggak berguna juga.

Menjelang garis finish saya bilang pada Miss K untuk bisa bertahan sedikiiiiit lebih lama lagi. “Tuuh, lihat… finish-nya udah deket banget. Kita coba lagi yuk larinya. Babe di sana, K..pasti Babe bangga lhoo kita bisa selesaikan sampai finish”.


Run like a celeb!
Akhirnya kami sampai juga di garis finish, disambut dengan lambaian tangan Babe di pinggir marka jalan, sambil merekam kami di beberapa meter terakhir (ternyata kemudian file rekamannya ngga sengaja keapus...grrgggh).

Supaya ngga kejadian lagi ada pose foto kayak di Mandiri Run Mei 2013, saya ngga lupa untuk memaksakan diri tersenyum lebar dan melambaikan tangan bak selebriti. As if 5K was a piece of cake.



Yeayy, we're finishers!

Meski kecapekan, Miss K --gadis kecil 9 tahun saya--  ternyata senang juga. Apalagi setelah menerima finisher medal. Kebetulan banget dia sedang keranjingan dan penasaran dengan medali, karena belum pernah punya. Sementara Miss K mengagumi medalinya, saya lirik timer di pinggir tiang finish. Ternyata lumayan juga. Miss K dan saya menyelesaikan 5K bersama kami yang pertama dengan waktu 46 menit 9 detik.


Pas Babe nanya gimana perasaannya bisa ngatasi rasa capek harus lari dan jalan kaki sepanjang 5K, dia menjawab enteng "Yah, lumayan seneng, tapi aku capek buangeeeeet, Be. Trus sekarang aku lapar, kita makan di mana nih?"  Hehehe..

Akhirnya pagi itu kami sempurnakan dengan sarapan Soto Mie di sebelahnya Giant - Pondok Bambu. What a day!