Thursday, February 12, 2015

Starting with the End (Part II)



Saya ngga berani bicara ttg kematian dari sisi kesiapan secara rohani dan spiritual. Jauh banget dari kapasitas saya. Saya mau ngobrolin sisi logistiknya aja berdasarkan pemahaman saya yang sangat terbatas gimana kalo kita mesti menghadapi cobaan dan kehilangan anggota keluarga.

Terkait orang-orang terdekat di keluarga inti, sebelumnya saya tidak pernah berpikir:  gimana kalo meninggalnya mendadak? Tapi gimana juga kalo sakitnya berkepanjangan? Apakah saya mampu, kuat hati dan memiliki ilmu yang cukup untuk mendampingi mereka di saat yang paling penting di akhir hidupnya?  Apa yang seharusnya saya katakan kepada orang yang sedang kesakitan dan merasa tidak nyaman? Apakah kata-kata “Sabar ya, Allah SWT menyayangimu” itu cukup? Doa apa yang tepat untuk menenangkan batin yang sedang ketakutan? Bagaimana jika saya yang panik? Bagaimana jika niat saya ditolak ybs? Bagaimana jika saya sedang bersenang-senang di suatu tempat –ngga ada feeling apa-apa-- ketika hal mendadak itu terjadi? Saya sungguh nggak tau. And we are extremely terrified  by things we don’t know.

Saya tidak pernah membayangkan bagaimana menjadi seorang caregiver jika ada anggota keluarga yang sakit berat dan membutuhkan perawatan intensif jangka panjang, atau perawatan paliatif. Apakah saya akan punya cukup energi dan kesabaran untuk melakukannya dengan baik  meskipun1000% berniat dengan tulus dan ikhlas.  Apakah saya bisa untuk berpikir dan berperilaku positif serta tetap bersemangat and not getting sick myself? Gimana caranya saya bisa memfasilitasi keinginan sang pasien sehingga meningkatkan kualitas hidupnya secara lahir batin? Saya yakin banget hal itu ngga gampang. Baru baca tentang orang yang merawat anjingnya yang mengidap penyakit dementia (Canine Dysfunctional Disorder) kaya gini aja udah mewek. Itu baru anjing lho, dan anjingnya saya juga nggak kenal. Such a tough girl.

Kalau hal ini terjadi pada keluarga inti, sejauh apa saya bisa menyokong secara keuangan? Sudah memadai kah asuransi kesehatan yang dimiliki? Saya teringat teman sekolah saya di Amrik yang orang tuanya berusia di atas 70 tahun tapi sehat, energik, dan produktif. Dia bilang, "Our healthcare system do them so much favor". Alhamdulillah, setidaknya kita sudah punya BPJS. Seluruh biaya operasi ayah saya dan proses endoskopi+kolonoskopi ibu mertua ditanggung oleh BPJS. Sedangkan biaya kesehatan saya ditanggung oleh asuransi kantor. 

Tapi tidak bisa dipungkiri, kemarin saya tetep deg-degan. Saya belum mempersiapkan dana darurat untuk kebutuhan seperti ini. There’s no logic without logistics. Pasti kita perlu biaya untuk transportasi, biaya kontrol dokter dan obat yang tidak ditanggung, biaya untuk makanan tambahan/supplement, serta yang tidak kalah penting adalah biaya “psikologis”. Terkadang dalam keadaan sedih, bingung, murung, dan lelah, kita cenderung membuat keputusan secara impulsif. Makan ngga dipikirin dan dipilih-pilih, mau murah atau mahal, makanan sehat atau junk food, yang penting makan. Ada barang ketinggalan di rumah, daripada puyeng harus balik atau menunda penggunaan mendingan beli baru. Dalam kondisi merasa “kepepet” dan “emergency” seperti itu, kita jadi lebih permisif untuk melakukan hal-hal yang kita anggap akan melegakan dan membuat kita merasa lebih baik.

Saya juga masih kurang ilmu tentang prosesi jenazah dan pemakaman, tentang yang diwajibkan + disunnahkan dan yang diharamkan.  Sumpah... kursus mengenai topik ini ada di paling bawah “Self development course this year”.  Kepikirannya tentang kursus luar negeri melulu, sedangkan materi yang penting seperti pengurusan jenazah ngga jadi prioritas sampai mungkin kelak akan jadi “mendesak”. Hiks. 

Trus, pemakaman baiknya di mana ya? Sewanya itu untuk selamanya atau sewa pakai sampai berapa waktu? Pernah baca artikel  Jangan Mati di Jakarta” belom? Yah, begitu lah, ngga kepikiran deh. Oia, sampe sekarang nih, mau jadi anggota Yayasan Bunga Kamboja aja nggak jadi-jadi. Padahal agennya duduk di sebelah kubikel saya di kantor. Padahal preminya amat sangat terjangkau. Parahh kan? Karena sebagian dari diri saya masih menolak kenyataan yang rasanya terlalu jauh dan pahit untuk diakui.

Lebih lanjut lagi, saya nggak tahu gimana cara pengelolaan hutang dan harta warisan; apa bedanya pelaksanaan hukum negara dengan hukum Islam. Sebaiknya gimana menyelesaikan harta dalam bentuk hibah, wasiat, dan warisan? Gimana caranya supaya harta tsb ngga memancing pertikaian dalam keluarga karena rebutan atau hanya karena beda pendapat ttg cara pengurusannya.

Ngurusin surat-surat dan dokumen administrasi harta warisannya ke mana ya? Salah satu sahabat yang baru ditinggal ibunda tercinta, kecipratan rezeki untuk mengurus dokumen harta warisan kedua orangtuanya yang telah meninggal. Urusannya ternyata ngga gampang. Cerita sahabat saya itu yang panjang kali lebar ttg pertemuan dengan Ketua RT, RW, Pak Lurah, dll --dibumbui komentar ttg betapa absurd-nya proses birokrasi di negeri ini-- membuat kami tergelak-gelak dalam kepedihan. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan segala urusannya. Amiin YRA.

Nah ini nih, saya belum yakin banget mengenai acara pengajian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari yang menurut sebagian orang lumrah (baca: nyaris wajib) dilaksanakan karena sudah tradisi dan sebagai bentuk penghormatan kepada yang meninggal dunia. Sebagian orang meyakini bahwa hal tsb termasuk bid’ah dan mengada-ada karena sesungguhnya yang masih berpengaruh terhadap orang yang meninggal hanyalah amal ibadahnya, ilmu, dan doa anak yang sholeh/sholehah. Jadi sakleknya: nggak perlu acara tahlilan. Kalo ada dissenting opinion, gimana menyelesaikannya? Jangan sampe setelah ditinggal meninggal, keluarga malah berantem.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan benda peninggalan yang lebih bersifat historis, romantis, dan sentimental dibanding nilai ekonomisnya? Disimpan, disumbangkan, atau dibagikan ke beberapa anggota keluarga, atau gimana? Bingung, kan.

Saya baca-baca, di Amerika dan beberapa negara lain sudah ada penyedia jasa yang mengkhususkan diri dalam memberikan dukungan moral dan teknis bagi para calon ibu, para penderita sakit berat dan/atau keluarganya dalam mempersiapkan tahapan penting dalam hidup mereka right at the begining and the end. Istilahnya “birth and death doula”.  Kalo dilihat deretan jasa yang mereka tawarkan melalui situs internetnya, sebagian besar hal-hal yang kita pertanyakan di atas dapat mereka selesaikan.  

Bukannya dalam masyarakat kita layanan tersebut ngga ada, tapi mungkin belum terintegrasi dari satu penyedia dan yang jelas belum dijadikan komoditas komersial yang ditawarkan dengan harga tertentu (some packages can be as high as tens of thousand dollar). Lebih jauh lagi di masyarakat kita, institusi keluarga masih memiliki nilai yang sangat tinggi dan dianggap dapat menyediakan dukungan penuh kepada anggotanya yang dalam kesusahan. Adapun bantuan dari institusi kesehatan atau agama atau lainnya merupakan bagian dari partisipasi anggota keluarga secara tidak langsung. Saat ini, keluarga bisa ‘dikutuk’ abis dan dianggap menelantarkan kalo sampe menyerahkan nasib anggotanya ke lembaga jasa komersial. Nggak tau juga ya 10-20 tahun ke depan.

So, barang kali udah waktunya buat saya agar --seiring waktu dan semakin ‘dewasa’nya saya-- mulai memikirkan dan mempersiapkan diri. Tentunya bukan untuk menyuburkan sikap paranoid dan pesimisme, tapi untuk memaknai dan merayakan kehidupan itu sendiri. Mau ngapain lagi sih, selain menikmati hidup dengan benar dan bijaksana. #jiah.

Remember, the real life begins at 40! Let’s embrace it happily.

Starting with the End (Part I)



Saya tidak pernah terlalu memikirkan tentang kematian sampai setahun terakhir. Beberapa kejadian pada saya dan orang-orang yang saya sayangi menuntun saya untuk mulai mengenal kematian sebagai keniscayaan yang layak untuk dipikirkan dan dibicarakan.
Mulai dari ibu saya sakit karena kondisi gusi buruk, gizi kurang memadai (bayangkan anaknya ‘sukses’ begini, kok orang tuanya bisa nggak makan?), dan diperparah dengan penyakit diabetes serta darah tinggi yang tidak dikelola dengan baik.

Lalu saya sendiri sempat dig-dig-dug-deg-dor karena dokter pertama memberikan vonis yang menyeramkan atas kondisi tiroid saya. Alhamdulillah, menurut dokter yang memang ahlinya, kondisi tsb tidak membahayakan selama saya memperhatikan pengobatan dan menjaga kesehatan lahir batin agar hormon bisa seimbang. Setiap bertemu teman atau keluarga, pasti saya menerima komentar “Kok sekarang kurus sekali dan kuyu? Sakit apa? Jangan kurus-kurus ah, ngga bagus keliatannya. Makan yang banyak, biar seger”. Hehehe... alhamdulillah masih ada yang merhatiin.

Tidak lama, ayah saya harus operasi hernia. Meskipun hitungannya bukan operasi besar, faktor usia yang sudah lanjut menyumbang risiko tersendiri. Selama 4 siang-malam saya menemani ayah agar beliau tenang karena tau saya yang mengurusnya di rumah sakit.

Baru minggu lalu ibu mertua saya menjalani biopsi di leher, setelah sebelumnya kami berobat ke ahli gastro karena masalah pencernaannya dan shock atas diagnosis awal yang menakutkan berdasarkan hasil CT Scan. Alhamdulillah, hasil biopsi menyatakan beliau tidak terkena kanker.
Ayah dari beberapa sahabat saya juga terserang penyakit berat dan membuat sahabat saya mulai berpikir hal terburuk yang dapat terjadi ketika kita atau orang yang kita sayangi berada dalam kondisi kesehatan gawat.

Tahun lalu saya juga kebetulan menjalani umur yang kata orang waktunya memulai kehidupan. Isn’t it ironic? Kalau dipikir lagi, enggak juga. Ketika katanya saya seharusnya memulai hidup,  ternyata yang dimaksud adalah seharusnya kesadaran saya akan kehidupan mulai muncul (andai sebelumnya belum :p). Tapi apakah kehidupan itu sesuatu yang terlepas dari kematian? Justru titik tolaknya di situ. Hidup dan mati adalah dua sisi dari satu mata uang, tidak bisa dipisahkan begitu saja. So when life begins at 40, it is actually an alarm of how I perceived the chance of how it ends someday.

Tapi orang-orang lebih suka bicara tentang kehidupan daripada kematian. Dalam budaya kita, katanya “pamali” atau nggak baik ngomong tentang kematian. Kita juga takut setengah mati untuk memikirkan kematian kita sendiri. Merasa tidak siap, banyak dosa, belom berbakti, takut neraka, dll. Jadi kita lebih suka menghindar dari topik tersebut, seolah hal tsb adalah hal yang sangat jauh dan penuh misteri (mungkin lebih nyaman ngegossip tentang hal yang “jauh” lainnya seperti beda harga LV di Hongkong dibanding Milan, atau nebakin Syaiful Jamil akhirnya merit sama siapa). Akhirnya pembicaraan tentang kematian terbatas pada majelis ilmu di mesjid, kajian muslimah, atau ceramah agama karena di situ ada orang yang kita anggap berilmu (sang ustadz atau ustadzah) sehingga berhak memulai pembicaraan sulit tsb.

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Itu saja patokan saya untuk memberanikan diri membicarakan hal ini, setidaknya di sini, dengan diri saya sendiri.

Seperti yang saya bilang tadi, topiknya susah karena ngga ada pelaku sejarah dan saksi hidup yang  bisa berbagi pengalaman gimana sebenernya kondisi di “alam sana”. Meskipun ada yang pernah mengalami keajaiban tidak jadi meninggal dunia dan bisa menceritakan hal-hal luar biasa, tapi nyatanya ya belom bisa dibilang meninggal beneran.

Apalagi nyariin ahlinya, itu lebih susah. Manusia belom adil nih. Kan katanya lahir, rejeki, jodoh, dan mati adalah ketetapan Allah SWT. Nyariin organizer untuk menyambut kelahiran bayi udah banyak, mulai dari paket pemeriksaan, senam hamil, neonatal home care, dokumentasi, sampe pengelolaan tali pusar. Bisnis mak comblang juga terus marak karena manusia selalu ingin bisa ketemu jodohnya. Apalagi wedding organizer...mau mahal atau murah semua tersedia, mempelai tinggal duduk manis. Yang seret rezekinya masih bisa cari kerjaan baru, nyari konsultan bisnis, dukun, atau hynotherapist supaya pikiran bisa fresh, kinerja naik, rezeki berpihak ke kita. 

Nah, untuk yang kematian ini sepengetahuan saya yang tersedia adalah unit perawatan paliatif dan yayasan pengurusan jenazah.  Kedua jenis layanan itu juga kalo bisa ngga perlu kita bicarain deh. Ngeri. Kita menghindar sebisa mungkin.

Yang kebayang sama saya, pastinya ribet banget ya buat kita mempersiapkan kematian tersebut. Selain mempersiapkan diri pribadi untuk suatu kepastian yang saat ini masih abstrak, kita juga harus mempersiapkan orang lain dan hal-hal yang nggak pernah kepikiran sebelumnya. Bener kata orang. We’ll never be too prepared.