Friday, December 21, 2012

#Week14 : The 16 Minutes Running Chronicle

Minggu ini adalah minggu ke-14 acara lari+jalan (di treadmill :p). Sejauh ini saya bisa bertahan untuk mencoba berlari minimal 2x dalam seminggu. Tampaknya cita-cita mulia untuk exercise 4-5x belum bisa terlaksana. Tapi daripada menyesali yang sudah lewat, lebih baik saya mensyukuri pencapaian kecil ini dengan penuh perasaan suka cita.
Minggu ini saya berhasil berlari 16 menit non stop. Non stop. NON STOP. 3 menit pertama masih cincay. 5 menit berikutnya adalah menit-menit yang amat menentukan. Pada menit-menit itulah saya mencari ritme nafas yang paling nyaman lalu mencoba berdialog dengan diri sendiri mengenai apa yang sebaiknya saya pikirkan selama saya berlari. Setelah berpengalaman selama beberapa minggu, saya tahu bahwa urusan lari-berlari ini (untuk orang yang sehat dan segar bugar) sepenuhnya adalah urusan mind set dan kekuatan mental.
Selama 5 menit itu saya mencoba mengosongkan pikiran saya dari hal-hal yang tidak menyenangkan dan tidak berguna. Saya ciptakan gambaran kebahagiaan dan kepuasan di otak saya. Beberapa tempat favorit saya pada saat itu adalah pantai, Masjidil Haram, dan café di pinggir jalanan Paris. Ketika itu tangan saya mulai mendingin dan telapak kaki mulai terasa sakit. Perlu usaha ekstra untuk mengangkat kaki saya melangkah ke depan.
Setelah melewati 8 menit pertama, saya tiba pada tantangan yang sesungguhnya. Bahkan khayalan mengenai betapa sehat, bahagia, dan damainya saya bersama keluarga terkadang sudah tidak mempan lagi. Pada menit 9-13 inilah saya mengambil kebijaksanaan dari seekor hamster (seolah-olah ia memang memiliki kebijaksanaan itu). Saya mengosongkan pikiran dan mulai berpikir seperti hamster yang tidak pernah letih dengan roda mainannya. Roda itu adalah satu-satunya sumber kebahagiaan dan kepuasan sang hamster. Karena seekor hamster kemungkinan tidak mengenal sistem pengukuran waktu, saya juga melarang keras diri saya untuk melirik timer di dashboard atau jam tangan saya. Biarkan waktu berlalu. Nikmati saja detik-detik itu. Rasakan setiap hirupan nafasmu. Suara sang hamster (kadang ia tampil dalam pikiran saya menggunakan jubah orang suci) itu terngiang-ngiang laksana seorang guru.
Terkadang saya tergoda juga dan melirik sedikit ke arah timer. Dan seringkali saya menyesalinya.
10 menit 23 detik.
Masih jauh panggang dari api. Shhh…. Tapi sang hamster menatap saya dengan bijaknya dan berkata, “Berlarilah terus, seperti kau biarkan pikiranmu berlari tanpa batas. Temui tujuanmu.”
Baiklah. Untungnya saya berhasil kembali ke ritme yang nyaman (meski buta musik, saya adalah mahluk ritme; saya manusia yang bergantung pada ketukan dan hitungan).
3 menit terakhir menuju 16 menit itu adalah menit-menit yang sangat menyenangkan. Minutes to win it!  Entah mengapa banner dengan kata-kata itu sepertinya melambai-lambai di depan mata saya seolah menyambut pemenang lomba marathon. If I could survive the 14th minute then I can do anything. If I could pass the 15th minute with the pace of 7,2 km/hour then I must be able to run 7,3 km/hour. Itu yang saya katakan kepada diri sendiri sebelum detik-detik kemenangan itu tiba.
And ….. I did it! I ran 1,8 km in 16 minutes, non stop. N-O-N  S-T-O-P.
Itu adalah kemenangan saya. Bersama suami dan anak yang mengizinkan saya berangkat kantor jauh lebih pagi untuk bisa berlari. Bersama kantor yang menyediakan treadmill dan kamar mandi. Bersama sang hamster yang menemani saya di saat-saat paling menantang. Bersama tayangan DIVA Universal atau StArWorld di gym. Bersama teman-teman saya yang juga menikmati kegiatan kebugaran mereka. Bersama kakak ipar saya yang menyeret saya ke gym. Bersama artikel-artikel tentang lari dan kesehatan.
CongratulateMe!  

Setelah minggu ini, saya mempertimbangkan untuk mulai berlari+jalan di luar ruangan. Saya masih cukup ingat betapa ngos-ngosan dan menderitanya saya ketika mencoba berlari di sepanjang Jalan Thamrin beberapa minggu lalu. Tapi sekarang mungkin akan lain lagi ceritanya. I will take it slowly and smartly. The transition from running on treadmill to running on road will be like forever for some people, maybe. But who cares? 

Thursday, December 20, 2012

Life as a Staff: The Golden Years of My Career

I had privilege to be a young staff, junior analyst, or had other titles reflected the near-bottom position for 9 years with two highly structured organizations. It might seem too long for some fast-track people, but I believe I gained some indirect career benefit from this long ‘golden’ period.
Beginner’s luck
The very profound side was that I was in balance of having my adrenalin high for cracking new challenges and having people more lenient on me because I was still in my learning curve. The statement “I’m still learning” was like a mojo to me. I could do things wrongly. I could make mistakes. And I did, a lot of times. Some were severe and cost of hours of desperation in fixing them. But that was the upper limit of my responsibilities at that time. As a staff, I always said to myself that if some fishy things came up later after my work was checked by my managers then it couldn’t be my fault. I might be wrong, but it must had been somebody else’s (a.k.a. my boss’) fault, too.
After some time, I realized that a team was just as strong as its weakest members. It was the essence of a supply chain, as I reckoned it from my 101 college subject. Slowly I changed my view and attittude toward the quality of my work; some changes were forced by situation and some because I felt that it was the right thing to do. I started figuring out any alternatives before I gave up and asked for more direction. I began to understand the needs by listening more actively. I was gaining confidence to take initiatives. Since I was not coming with IT background, I thought it might be better to also build my strength in other fields I'm more passionate about, while trying to keep up with the information system's fast development.

I want to keep the beginner's luck which proven to be in my favor during my early years. But like the old wise man said, luck should be welcomed when it knocks on our door. And since I am the very owner of the key to that door, I may have to open and lengthen my ears a little more.  
More focus
Most of the time I worked independently and happily under supervision of some bosses I liked during my junior staff years. Thanks to them, I was pretty much able to handle and organize my work. I could focus on project or tasks without extensive involvement in managerial and reporting issues. It was a relief that I didn’t have to attend long-hour meetings, supervise other people’s works, handling difficult people I, and deal with unclear situation or office’s politics.
This honeymoon period lasted only about 2 years before I was encouraged to stretch my focus on other things beyond operational level tasks. I had no idea how it started, it just happened. Maybe my curiousity and eagerness turned into an “I’m available” board sign, hanging on my forehead. To be honest, it was not always fun. I was a little bit shy-ish and silent person so it was against my nature that I jumped into several different working groups or led something. SOP reviewer, change management assistant, risk officer, staff-development planner, and document drafter were some of my ‘extracurriculer’, in addition to my daily responsibilities.
Years later, those extra miles came back to me with benefits: knowing (nice and awesome) people, gaining more understanding of what happening outside my small cubicle, building networks and partnerships, getting better perspectives, and getting inspired by many talented people. Those sometimes-painful situation (mostly out of my plans) had slowly helped me reinventing and shaping myself.
Judge for a Day
Just like my ex boss once said to me, early years in our career gave us some time to have a sneak peak on what makes a good boss, manager, or leader. In my sight, a leader should be someone always smarter than me, wiser, more objective and dilligent, always in good mood, a great motivator, negotiator and decision-maker. Almost sounds like an angel at work, a boss in my day-dream will always be there to take precaution and remedial action to save our butts. Any boss with less than those standards were considered bad.
I enjoyed being a mean and horrible judge on people above my structural level. Lunches with co-workers and friends were filled with hot topics and critics on our bosses. Almost always, we claimed to be right and they, the bosses, were undoubtfully wrong.
But when I was challenged to live up to such high standard of great leaders, I admitted that noticing the shortcomings of a leader was so much easier than recognizing and implementing the effective ways to avoid myself from doing the same things. We, the youngsters, were not even fair when we set the expectation on our bosses. We wanted our bosses not to get mad when we mistyped 1,7billion dollar for 17billion dollar money on our organization’s letter to the national press. We expected our manager to stay calm (and then fix the problem silently by her/himself) when we made some blunder to our stakeholders. We were not honestly openhearted to feedback, critics, or even new challenges. We demanded too much while giving maybe not even half of our potential, only enough to fulfil our obligation. I almost felt sorry for every boss in the world that they always seemed to be the culprit of our stress and unhappiness.
Lucky me, I met several great leaders from whom I learned so much –both directly and indirectly. Not only I learned from them about the organization and its dynamics, I also got some clues about their vision and life values. Appeared to me that a leader faced his/her own challenge, too, so many times along the road. I tried very hard to escape from perfection-trap because a perfect person doesn’t exist. I learned to accept that they are also exposed to mistakes, insecurity, self-interests, and other things I thought they wouldn’t have. They are also human beings, just like we are. With that in mind, I opened my heart to see them as they are, to believe that no (true) winner wants to stand alone.
Oh, those 9 amazing years. 
I was happy as a staff. At that time, promotion to managerial level seemed so far and unpredictable that I couldn't expect it. Once or twice I was thinking about impossible kinds of reward and appreciation to replace the promotion, such as getting a long paid-holiday to Europe or a grant for a master degree majoring in Education (preferably in US).

But then the promotion 'happened' to me. It marked the end of my golden full-of-freedom days. That was the path I had to take, no matter how seriously I doubted myself if I could do it right.

Tuesday, December 11, 2012

To Change, or Not To Change


Kebanyakan orang tidak senang dengan perubahan. Termasuk Mr. Corporate Star di kantor saya. Dedikasi dan prestasinya tidak diragukan lagi. Sederet pujian dan penghargaan atas kontribusi di kantor, di organisasi, dan di majalah bukan lagi hal baru baginya. Tak urung, dia berkata bahwa dia paling anti perubahan, tidak menyukai hal-hal yang baru, dan lebih percaya pada hal-hal yang telah teruji mampu menghadirkan keamanan dan kenyamanan.

 

Aha!

Ingin rasanya saya bersorak. Saya tidak sendiri. Saya juga tidak suka perubahan. Kalaupun ada perubahan, tentunya sudah saya rencanakan sematang mungkin supaya tidak terlalu menimbulkan gejolak dan ketidaknyamanan. 10 tahun lalu saya berani beralih kantor justru karena terpaksa; di kantor lama saya sudah sangat tidak merasa aman dan nyaman. Pilihan saya hanya bertahan atau pindahan.

 

5 tahun lalu saya berani sekolah lagi di negeri orang, juga karena saya jenuh melakukan pekerjaan berulang dan merasa perlu tantangan baru. Tantangan itu saya bayar mahal dengan kehilangan berat badan, mata cekung dengan lingkaran hitam ala panda, berpisah dengan suami, dan jadi ibu ‘ratu tega’. Jauh-jauh sang ilmu saya tuntut mati-matian, hasilnya ‘hanya’ perspektif baru dalam memandang pekerjaan saya yang lama. Ya. Pekerjaan yang lama, yang berulang-ulang dan membuat jenuh itu. Dengan cara melihat yang baru itulah (alasan klise untuk menghindar dari perubahan ekstrem yang saat itu sudah tak sanggup saya tanggung) saya kembali ke haribaan bangku saya yang lama, layar komputer yang sama, posisi yang sama.

Seperti ayam jantan yang selalu berkokok di jam yang sama, saya adalah mahluk ritual dan saya benci semua hal yang merusak itu. Saya ingin duduk di kursi yang sama di perpustakaan. Sepanjang masih tersisa, saya akan lari di threadmill yang sama. Dalam meeting, saya buru-buru duduk di sebelah orang yang pertama saya kenali. Sepatu baru saya kemungkinan baru akan dipakai 3 bulan dari tanggal pembeliannya. Saya ajak keluarga berlibur ke tempat yang sudah pernah saya atau suami datangi ketika acara kantor kami. Pendeknya, saking sulitnya berubah dan cintanya pada kebiasaan lama, saya menjadi agak membosankan.

Dan sekarang, kantor saya sedang dilanda demam perubahan. Banyak yang merasa takut, seperti saya. Memang belum seserius ancaman PHK. Tapi berbagai pikiran negatif langsung muncul seiring makin santernya berita perubahan itu. Saya merasa terusik, bagaimana nasib saya nanti? Apakah tuntutan dan tekanan pekerjaan akan lebih besar? Jam kerja lebih panjang? Akankah saya dikelilingi rekan-rekan kerja yang sekaligus sahabat saya seperti sekarang? Mampukah saya cepat beradaptasi dengan kondisi baru? Kalau kantor kami pindah lokasi, commuting time bisa makin panjang dong? Will I be happier? Will I be more fulfilled?

Mr. Corporate Star bilang bahwa salah satu cara menghadapi dan menjalani perubahan adalah dengan meyakini bahwa perubahan adalah keniscayaan dalam hidup ini. Ada perubahan yang bisa kita kendalikan, ada juga yang di luar kuasa manusia. Ketika kita menjadi bagian penting atau penggerak dari perubahan itu, kita sesungguhnya berusaha mengambil kendali atas perubahan tersebut sehingga manfaatnya akan terasa lebih besar dari mudharatnya. Ketika perubahan itu di luar kuasa manusia, resepnya hanya satu: ikhlas, katanya.

Keikhlasan merupakan bentuk yang abstrak buat saya. Mudah diucapkan, sulit untuk dilakukan. Tapi rupanya Allah SWT mencoba lagi menunjukkan pada saya. DIA mempertemukan saya dengan seseorang secara sepintas lalu dalam kursus manajemen yang saya ikuti minggu ini.

Ia adalah seorang penyiar radio di Belanda, membawakan siaran khusus tentang Indonesia. Hidupnya tenang dan damai sampai terjadinya krisis ekonomi di Eropa. Rasionalisasi stasiun radio di akhir tahun ini memaksanya untuk cepat berpikir mengenai kemungkinan yang bisa ia tempuh setelah berhenti bekerja. Ia memilih pulang ke Indonesia dan membuka biro jasa konsultan komunikasi proyek.

Kenapa jasa komunikasi? Karena itulah bidang keahliannya. Spesialisasi biro jasanya adalah proyek di Indonesia yang bekerja sama dengan konsultan dan penyedia jasa teknis dari Belanda. Kenapa proyek dan kenapa Belanda? Lama tinggal di Belanda, membuatnya mengenali karakteristik lansekap kota di Belanda yang mungkin berguna untuk penataan kota di Indonesia. Proyek pionirnya adalah mensukseskan pembangunan bendungan pantai utara Jakarta yang akan ditangani oleh ahli teknik bendungan dari Belanda. Voila. Semua itu terjadi padanya dalam waktu yang sangat singkat.

Keputusannya memang terkesan cepat. Tapi sesungguhnya saya yakin, ia telah bertahun-tahun mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang ia sendiri mungkin tidak pernah tahu ke arah mana. And one good thing leads to another. Kecintaan pada pekerjaannya, ketertarikannya pada lansekap kota, dan ingatannya pada tanah air secara sambung-menyambung telah berkonspirasi menjadikan dirinya seperti saat ini, dengan keputusan yang seperti sekarang.

 

Mungkin inilah yang disebut Mr. Corporate Star dengan ikhlas menerima perubahan sekaligus berperan aktif dalam mengarahkan perubahan itu menjadi (sedikitnya) sesuai keinginan kita, untuk keuntungan kita, demi kebahagiaan kita. Kenali diri kita, kenali kelebihan dan kekurangan kita, dan kenali apa yang bisa kita tawarkan pada dunia. Bahasa sederhananya: build your core competency.

 

Meski saya sudah bertemu dengan Mr. Corporate Star dan Pak Konsultan, saya masih merasa takut akan perubahan. Dan saya akan terus merasakan perasaan itu sampai akhirnya saya harus berhadapan dengannya. Tapi saya percaya pada perubahan karena perubahan adalah esensi dari kehidupan. Melarikan diri dari perubahan adalah sesuatu yang paradoksial, karena ternyata pelarian itu menuntut kita untuk juga berubah.

 

Saya harap ketika saya bertegur sapa dengan perubahan di kantor saya, saat itu saya akan menyambut perubahan sebagai suatu kesempatan dan suatu penyegaran, bukan ancaman. Sebagai satu lagi pintu yang terbuka untuk saya. Untuk bisa berbuat sesuatu yang bermakna.

 

Thursday, December 6, 2012

Ngomel Macetnya Jakarta? #BukanTrendingTopicLagi

Minggu ini kemacetan Jakarta, khususnya dari kantor saya ke rumah yang hanya berjarak 17 kilometer, sudah sangat ter...la...lu. Senin sore saya buru-buru pulang jam 5 menggunakan miss Livi agar bisa saya (sebagaimana puluhan ribu ibu-ibu di Jakarta yang punya anak usia SD) menemani Kaylia belajar menghadapi UAS. Ternyata perlu perjuangan selama 4 jam untuk sampai di rumah, gara-gara lampu merah di perempatan McD Duren Sawit gagal mengakomodir luar biasanya volume kendaraan dari arah Jatinegara (180 detik durasi lampu merah dan hanya 27 detik durasi lampu hijau). Hasilnya, tentu saja macet total mulai Pasar Prumpung.

Hal yang semakin membuat saya  geram adalah ternyata Kaylia menunggu saya pulang untuk bersama-sama latihan hafalan surat Al Quran. Dia menangis. Saya kaget karena jarang-jarang Kaylia menangis. Dia menangis karena malam itu entah mengapa dia merasa kesulitan menghafalkan surat-surat Al Quran untuk tes esok harinya. Saya menyesal sekali, karena tidak di sana ketika dia sangat membutuhkan saya. Karena sudah hampir jam 9.30 malam dan keliahatannya dia sudah lelah, saya membujuknya untuk tidur saja dan tidak usah mengkhawatirkan tentang tes Tahfidz di sekolah. "Besok dicoba saja sebisanya, Kay... kalau ternyata belum berhasil, bilang pada Ustadz untuk meminta remedial. Nanti kita coba lagi."

Hari Selasa, saya coba pulang lebih awal lagi jam 4.40 sore dan mengambil jalur perjalanan lain, melewati Jalan Pramuka. Perjalanannya memakan waktu 2 jam, masih 'untung' saya bisa sholat Maghrib di rumah. Saya sempat belajar bareng Kaylia dan membacakan paragraf pilihan dari buku Life of Pi (Kaylia sedang senang sekali dengan kisah itu setelah nonton filmnya).

Hari Rabu, kebetulan saya lembur dan pulang jam 7 malam. Saking stress-nya, saya tinggalkan miss Livi di kantor dan ikut menumpang motor Temi, teman saya yang rumahnya searah. Alhamdulillah, naik motor bisa lebih cepat, 'hanya' sekitar 1 jam 10 menit. Tapi sayangnya, ketika saya pulang Kaylia sudah tidur karena kecapekan setelah belajar bareng Babe-nya. Satu lagi kesempatan yang terlewatkan.

Hari Kamis, tadi malam, saya terjebak kemacetan dengan judul "merayap" sepanjang 17 kilometer itu. Tidak kurang dari 3 jam saya dan Dike akhirnya ngobrol ngalor-ngidul demi membunuh waktu, kekesalan, dan kebosanan berada di jalanan.  Waktu 3 jam itu setara dengan membuat cake yang enak-enak di rumah, membahas 3 bab ttg science bersama Kaylia, menulis di blog, nge-gym membakar 350 kalori atau yoga (plus steam dan shower dan grooming berlama-lama), baca beberapa bab buku yang menarik, atau berbagai kegiatan produktif lain yang jauuuuuuh lebih menyenangkan.

Tapi ketika saya membuka Twitter dan berniat ngomel tentang lalu lintas Jakarta terkini, saya terhenyak membaca tweet orang lain: "Ngomel soal macetnya Jakarta? Lo baru ya di sini?".  Nah..... nggak cuma urusan rebutan jalan, urusan ngomel aja saya udah keduluan hehehe. Tapi tweet itu menyadarkan saya. Percuma ngomel, kayak orang baru aja. Itu nggak akan merubah apapun. Ayo, sudah tahu kondisi jalanan Jakarta  seperti itu, pikirin dong apa yang bisa diperbuat untuk membuat perjalanan saya lebih cepat.

Alternatif yang ada adalah naik angkutan umum (Kopaja dan disambung angkot), naik motor, naik sepeda atau naik kereta. 

Pilihan yang dangkal dan bisa ditebak. Saya belum pernah naik Kopaja disambung Metromini atau angkot dari kantor sampai rumah sebelumnya. Dan saya merasa ini bukan saatnya. Lha wong saya komplen soal jalanan yang macet, kok malah naik kendaraan juga. Mungkin ada bedanya dari sisi waktu tempuh. Tingkat keganasan Kopaja dan Metromini di jalanan (mungkin) membuat perjalanan saya lebih cepat. Tapi faktor risiko seperti keselamatan, kemungkinan ketiduran (kalau dapat tempat duduk), kecopetan, kerampokan, serta adanya ancaman para pengamen atau peminta-minta membuat saya bertahan untuk tidak memilih sarana transportasi ini.
Mau naik motor…waaah, jauh panggang dari api. Saya belum pernah mengendarai sepeda motor seumur hidup. Jadi pilihan ini juga saya coret dari daftar.
Bike to work? Hmmm… kayaknya juga enggak deh. Selain dari sisi jarak yang menurut saya lumayan jauh untuk ditempuh dengan bersepeda, saya juga kurang percaya diri di tengah kondisi jalanan Jakarta yang bak hutan belantara. Siapa yang kuat dan pe-de, dialah yang jalan duluan.
Akhirnya, kereta api CommuterLine tetap jadi pilihan saya. Sebelumnya saya juga pengguna on-off CommuterLine selama 2012 ini. Dilihat dari sisi jadwal keberangkatan (seandainya tepat waktu), CommuterLine yang berangkat setiap 30-40 menit sekali menawarkan fleksibilitas waktu. Dilihat dari harga tiket Rp8.500 (dan ojek Rp10.000) menurut saya masih setara dengan 2 liter bensin yang  saya gunakan untuk perjalanan one-way 17 kilometer dengan tingkat kemacetan ‘wajar’. Dilihat dari jarak rumah-stasiun dan kantor-stasiun, saya pikir tidak terlalu jauh (sekitar 1-2 kilometer) sehingga bisa ditempuh dengan bajaj, ojek, atau bahkan berjalan kaki. Dari sisi berjubelnya penumpang, kebetulan jalur CL ke arah rumah saya masih bisa dibilang nggak terlalu memprihatinkan seperti jalur lainnya ke arah Serpong, Bogor, dan Depok. Tahan-tahan sebentar deh, tokh dalam 30 menit saya sudah turun di stasiun dekat rumah.
Jadi, mulai hari ini… dengan hati yang bulat, saya niatkan untuk istiqomah memerangi kemacetan Jakarta dengan… naik CommuterLine. Semoga nggak terlalu banyak pekerjaan akhir tahun yang membuat saya harus lembur. Semoga musim hujan tidak menyebabkan banjir atau membuat rusaknya sentra CommuterLine. Semoga CommuterLine bisa tepat waktu. Semoga. Demi kualitas hidup yang lebih baik. Bismillah.