Thursday, December 5, 2013

Dream Job (Bagian 1)

Salah satu sahabat saya pernah menanyakan apakah pekerjaan saya sudah sesuai dengan cita-cita atau kecintaan saya terhadap sesuatu. Hmm... pertanyaan yang menarik.  Tapi susah menjawabnya. Akhirnya saya jawab aja, “Gue belajar mencintai aja apa yang gue kerjain.” Seolah pekerjaan saya segitu mengerikannya (macam dijodohin aja), jadi saya harus belajar mencintainya. Mungkin sahabat saya sedang mencari jawaban untuk dirinya sendiri. Mungkin juga dia bertanya karena prihatin mendengar kabar saya sering lembur, overloaded and overheated.

Para pelaku seni dan atlit –tanpa diragukan lagi– tentu berkarya sesuai dengan passion mereka. Liat aja Yovie Widianto, Deddy Mizwar, Nungki Kusumastuti, Christian Hadinata, Siman Sudartawa, dll yang begitu semangat menjalani apa yang mereka percayai sebagai hal yang bermakna bagi diri sendiri, orang lain, dan negeri ini. Demikian juga dengan penulis, perencana keuangan, pengusaha, dan orang-orang yang bekerja secara mandiri. Lalu bagaimana dengan pegawai negeri, pegawai negara yang terikat dengan berbagai aturan, birokrasi, dan target ini-itu? Bagaimana dengan pekerja kantor swasta yang jam kerja-nya gila-gilaan, penuh dengan persaingan dan sikut kiri-kanan, dan ancaman pemecatan? Apa sih yang bisa diarepin dari kerja di lembaga publik yang kinerjanya ngga jelas atau kantor swasta yang kejam kaya gitu? Masih berartikah  passion bagi mereka?

Saya teringat pernyataan teman mengapa dia mau dan bertahan bekerja di lembaga  yang membawa-bawa nama negara. Teman saya dari bank sentral Mongolia mengatakan bahwa bekerja di bank sentral itu (1) berarti  turut berperan memajukan negaranya, (2) membanggakan karena bisa lulus  seleksi masuk yang sangat ketat, (3) gaji lumayan, meskipun ngga tinggi-tinggi amat, dan (4) bisa berhubungan dan bertukar pikiran dengan orang lain dari berbagai negara dengan passion yang sama: economics. Mulia banget yaaa... 

Saya pikir dia basa-basi aja, tapi ternyata Ika, sahabat saya yang telah beberapa kali nongkrong dengan para central bankers dari berbagai negara juga bilang hal yang sama. Salah satu temannya yang bekerja di bank sentral Jerman menganggap pekerjaannya sebagai (1) sesuatu yang serius, penting, dan bermanfaat buat negara. Sebagai warna negara Jerman, dia (2) bangga dan puas atas kinerja kantornya meskipun gaji yang diterima jauh lebih kecil dari para bankers di bank-bank swasta besar di sana. Dia percaya bahwa (3) apa yang dilakukannya, apa yang dicapai kantornya itu, merupakan hal yang  menyelamatkan negara dan membuat perubahan signifikan bagi kemaslahatan masyarakat. Wooww....semangat uber alles!

Lain lagi sahabat saya yang lain, yang bertahun-tahun membangun kepakaran dalam bidang spesifik yang kira-kira sebutannya seperti ini: marketing director of corporate transportation and logistics services. Widiiih, keren ya. Yang lebih keren adalah menurut saya dia seneng kerja di bidang itu karena (1) sesuai dengan kompetensi yang dikembangkannya selama ini. It feels great if you are excellent at something. (2) Gaji dan bonus kinerja yang woowww, juga (3) social environment  yang relatif cocok dengannya. Jadi soal jam kerja gila-gilaan, persaingan pake sikut kiri-kanan, dan ancaman pemecatan atau penurunan grade gaji udah pernah dia lewatin meski penuh dengan keringat dan darah. Setelah sekian lama, dia jenuh dengan kondisi itu dan mulai memandang penting (4) fleksibilitas dalam hal waktu kerja. Setelah jadi kutu loncat di berbagai perusahaan, beberapa bulan lalu akhirnya dia mendapatkan dream job-nya untuk saat ini: tetep kerja di perusahaan, tapi dah bisa berlaku seperti pengusaha tuh, yaitu 4 hari ngantor dari rumah dan cuman kerja di kantor seminggu sekali. Dengan begitu, dia lebih bisa leluasa nemenin anak-anaknya sebelum-sepulang sekolah dan bisa lebih bebas......jalan-jalan, hang out dan belanja, tentunya. Hahaha....

Suami saya dan saya sendiri lain lagi ceritanya. Singkat cerita, kami bekerja di sektor pelayanan (meskipun ngga langsung) untuk masyarakat dan negara karena nasiblah yang mempertemukan kami dengan pekerjaan itu. Suami saya pernah mencoba berwira usaha setelah beberapa tahun menjadi pegawai negeri. Beberapa bisnis yang pernah kami tempuh: usaha transportasi logistik, ternak domba, pemodal bibit ikan, dan investasi kayu sengon. Sadly, let’s say we didn’t make it.

Banyak alasannya: kurang fokus (ngga bisa in charge langsung karena tetep sembari kerja kantoran yang menyita ‘energi’), kurang pengalaman dalam manajemen bisnisnya (termasuk memperoleh SDM pelaksana usaha yang terpercaya), dan kurang berani untuk meraih kesempatan yang lewat karena keterbatasan dalam dua hal sebelumnya. Kesimpulan kami, kalo mau bisnis mesti all out, ngga bisa sembari disambi dengan kegiatan lain, apalagi yang dibayarin ama negara. Nggak tega lah, ninggalin kewajiban dan tanggung jawab di kantor hanya demi kepentingan pribadi. Jadi, dia balik lagi ke idealisme: kerja bakti bagi negara. Cieee.... hehehe (*nge-lap keringet*).

Saya sendiri ngga pernah berani mencoba berwira usaha. Kalo aja saya berani buka praktek jadi dukun curhat sejak kuliah dulu, barangkali saya dah bisa mengembangkan grup usaha bernama “Harapan Jaya” yang bergerak di bidang personal empowerment, hehehe. Tapi saya tersanjung dan terharu juga bahwa saya yang ngga punya skill apa-apa ini masih berguna buat orang lain.

Rumah saya semasa kuliah, terutama saat menjelang ujian, selalu dipenuhi teman-teman yang semaput karena belum siap ujian dan mengharapkan ada wangsit tips and tricks dari saya (padahal menurut saya, mereka itu pinter-pinter, cuman suka ngga yakin aja. Jadi cuman butuh penguatan). Macem jimat aja, kalo udah liat fotokopian catetan saya, mereka udah ayem.  

Kalau lagi low season ujian, gantian masalah percintaan yang mengemuka (padahal tau apa sih saya ttg cinta? Saya lah satu-satunya yang ngga punya pacar selama kuliah  --well, masa jadian saya dengan Mr. X yang berumur 10 hari serta cinta-cinta saya yang bertepuk sebelah tangan itu ngga usah diitung lah yaa--). Walhasil kadang saya agak terbawa suasana saking menjiwai peran sebagai penasihat cinta dan sering berpikir “ Would it be better if they both do things differently? How different I would react in the same situation? Can this relationship survives and grows? So, what’s the cure for a brokenheart? etc”.

Bertahun-tahun kemudian, ketika kami telah terberai dengan hidup dan karir masing-masing, eh.. ujug-ujug ada pertanyaan via BBM saya “Haaiii, loe lagi sibuk ngga? Eh, gw boleh nanya ya... gimana menurut loe, gw ambil tawaran kerja di Bank P atau di Bank Q yaa?  Please jawab a.s.a.p. ya  karena loe kan terkenal lelet jawab BBM. Gw perlu banget nih jawabannya.”   Hehehe..... emangnya saya siapa, kok ya berani merasa lebih tau ttg bank-bank tsb? Akhirnya daripada salah memberi jawaban, saya cuma berani  mengajukan pertanyaan. A right question equals half of its right answer.

Belum lama ini, bos saya datang dengan tergopoh-gopoh ke meja saya. Waduuuh, ada kerjaan yang bermasalah nih kayanya. Ternyata: “Mbak, saya mau konsultasi nih, penting banget. Ada waktu kan? Ini lho..., saya kan mau jualan makanan. Kotak plastik packaging-nya yang cocok dan murah itu bisa saya beli di mana ya? “  OMG, really ????? 

Pffyuhh, saya emang ngga bakat jadi konsultan atau asisten pribadi :p. In conclusion, I stay and stick with the offices. No idea to build a business on my own. Soal bisnis yang jadi impian saya, ntar dibahas lain kali.

Kembali ke topik awal.  Am I happy with what I am doing now? What exactly am I doing now? What business am I in? That’s the purpose statement  I should formulate for myself.

Sambil mikirin purpose statement saya dalam bekerja, saya timbang-timbang lagi seberapa samanya saya dengan orang-orang yang saya ceritakan di atas. Pernyataan kolega dari bank sentral Mongolia dan Jerman membuat saya malu. Harusnya saya kan berpandangan seperti mereka ketika menjawab pertanyaan sahabat saya di paragraf pertama. Nikmat Allah SWT yang mana lagi yang saya mintakan?

Tanpa bermaksud menyombong, ortu saya parah banget bangganya terhadap institusi tempat saya bekerja yang mereka anggap sebagai lambang dari intelektualitas (ortu kan pasti berpendapat anaknya ‘pinter, cerdas, berbakat, dst’), kemapanan, dan kontribusi bagi Indonesia (you know, tentunya karena mereka adalah pensiunan pegawai negeri yang berdedikasi, kesannya we have something in common). They never complained about my long hour at work, maybe because I resemble themselves as a responsible person working for the society. #eaaa banget ngga tuh? Mereka kan ngga kenal konsep ‘work-life balance’; mereka kenalnya Nike : Just do it (yo wis, dijalani wae). Karena itu, kalau mereka bangga...ya sudahlah, memang jatahnya mereka untuk menikmati hasil 'panen'nya.

Lambang intelektualitas? Meski berada di lingkungan kerja yang semua orangnya pinter-pinter kadang bikin ciut nyali dan terseok-seok ngejarnya, tapi beliau-beliau yang pintar itu banyak menginsipirasi saya untuk berpikir lebih jauh dan berbuat lebih banyak. To do the extra mile. Dari sisi kemapanan, Alhamdulillah saya bersyukur imbalan yang saya peroleh bisa menunjang kemandirian ekonomi keluarga dan bantu orang lain dikit-dikit. 

Soal kontribusi, setidaknya hasil dari apa yang saya kerjakan bisa dimanfaatkan oleh orang lain di seluruh Indonesia. That’s the power of data, my friend. I am anonymous to just about every user of the data I worked on. Nonetheless, I’ve built strong virtual relationship with them. I feel their  passion and ambition for projects their are in. I sense their anxiety and anger when their work’s due dates were approaching yet they got nothing from me. So, some people saw me as a heroine. Some didn’t happy and blamed me for things they failed. Some --just like myself most of the time--  are wishing we can do more.

Mestinya sih , setelah menimbang faktor-faktor di atas, secara umum harusnya saya menjawab bahwa apa yang saya kerjakan adalah sesuatu yang saya minati dan cintai. Tapi saya penasaran untuk menggali semakin dalam, sebelum terlambat.... Apakah saya mengerjakan sesuatu yang bermakna? 

A right question equals half of its right answer.

 

No comments:

Post a Comment