Friday, December 13, 2013

Parent with No Property (Kisah Nyata Han Hee-Seok)


 
Pak Han Hee-Seok, seorang ayah di Korea Selatan, meyakini bahwa jika terjerat dalam kemiskinan adalah takdir baginya, maka mungkin tak akan ada yang bisa merubah hal itu selamanya. Tapi sebagai seorang ayah, Pak Han tidak ingin mewariskan hal yang sama kepada ketiga anaknya. Di Korea Selatan ada pepatah bahwa anak terlahir pasti membawa piring nasinya sendiri (pepatah versi Indonesianya: setiap anak punya rejekinya masing-masing). Pak Han tidak percaya itu. Anak harus belajar untuk memiliki piring nasinya sendiri.

 
Kisah dimulai ketika Pak Han pusing bukan main, memutar otak mencari cara mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Biaya tertinggi bagi keluarga di Korea Selatan adalah biaya tempat tinggal dan biaya pendidikan. Bukan hanya pendidikan formal di sekolah, tapi juga pendidikan tambahan di tempat kursus dan kegiatan ekstra kurikuler di luar sekolah.  Hampir semua keluarga di Korea Selatan berlomba untuk memasukkan anak-anak mereka ke berbagai tempat kursus agar anak mereka lebih unggul dari anak lainnya. Kondisi ini sesuai dengan hasil survey Costumer Purchasing Priority – Education oleh MasterCard  tahun 2013 yang menunjukkan bahwa 67% orang tua di Asia Pasific menghabiskan rata-rata 14% dari biaya rumah tangganya untuk membayar biaya kursus anak. Berdasarkan survey tersebut, 33% anak-anak Korea Selatan mengikuti kursus pelajaran tambahan di luar sekolah dan 50% mengikuti kursus bahasa asing. Di Thailand, Malaysia, dan Singapura rata-rata 45%-52% anak-anak ikut kursus pelajaran tambahan. Sebagai perbandingan, di Indonesia hanya 17% anak Indonesia yang ikut kursus pelajaran tambahan dan 16% yang ikut kursus bahasa asing.  

 
Pak Han yang bekerja serabutan sebagai tukang bangunan dan istrinya yang berjualan asuransi tentu tidak mampu membiayai kursus tambahan bagi Geoul, Jeoul, dan Dan Jong. Ketika mengetahui bahwa raport Geoul kebakaran dan menduduki peringkat 27 dari 36 murid di kelas 1 SMP, Pak Han tersentak dan sadar bahwa ada sesuatu yang harus berubah agar kutukan kemiskinan tidak menghantui anak-anaknya. Jalan yang ia pilih adalah mendorong anak-anaknya untuk memiliki keunggulan akademik di sekolah, tanpa mengikuti shadow education berupa kursus atau les tambahan di luar sekolah.

 
Pak Han bukannya tanpa alasan. Mereka hidup di Korea Selatan, salah satu negara di mana anak-anak harus bersaing keras memenuhistandar akademis untuk bisa sukses dalam kehidupan. Sebenarnya hal itu lumrah terjadi di negara-negara di kawasan Asia. Dalam buku memoar yang berjudul “After Orchard”,  Margareta Astaman juga menceritakan bahwa anak-anak di Singapura sejak dini sudah dibebani target prestasi akademik yang harus mereka capai di setiap jenjang pendidikan jika ingin memperoleh karir yang cemerlang setelah lulus kuliah. Segregasi nasib di mulai sejak berhasil atau tidaknya seorang anak masuk SD yang top. Kegagalan akademis di jenjang terendah berarti gagal masuk sekolah favorit di jenjang berkutnya, dan itu artinya terdapat penurunan probabilitas kesuksesan mereka di masa depan.  Tidak ada jalan lain. Geoul harus masuk universitas favorit di Korea, jika tidak maka Geoul tidak akan jadi apa-apa.

 
Hal itu yang terjadi pada Pak Han muda. Ia bukan murid yang pandai dan tidak menyukai belajar di sekolah. Tanpa keunggulan akademis, praktis ia tidak punya kesempatan karir. Sedangkan cita-citanya menjadi penulis juga kandas. Hingga menikah dan beranak 3, belum pernah ada satupun karyanya yang diterbitkan. Pilihan yang tersisa adalah sebagai pekerja bangunan.

 
Dalam buku memoar ini, Pak Han berbagi cerita mengenai hal-hal yang mereka lalui bersama sebagai suatu keluarga. Akhirnya Geoul, yang menjadi kelinci percobaan, berhasil diterima di Universitas Korea yang sangat prestisius di Korea Selatan.  Dengan keterbatasan kondisi ekonomi (miskin), kurangnya pemahaman materi akademis, dan ketidakstabilan secara emosional (Pak Han sering terkena serangan panik), ia berhasil menjadi orang tua yang mengembangkan potensi anak secara optimal.

 
Bagaimana Pak Han melakukannya? Seperti yang sempat diulas oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya “David  vs Goliath”, untuk bisa seperti David yang menang melawan Goliath, you have to be that desperate. Pak Han berada dalam posisi tidak punya pilihan, sehingga harus maju terus. Ia mencari cara-cara yang tidak lazim agar celah tipis itu bisa semakin terbuka dan mengantarkannya pada peluang yang lebih baik.

 
Pak Han dan keluarganya juga memiliki stamina yang luar biasa, karena Pak Han sadar kesuksesan tidak bisa dibangun dalam waktu singkat. Tidak kurang dari 2.000 hari yang mereka lalui dengan air mata suka dan duka hingga akhirnya Geoul memetik hasil yang memuaskan. Kasih sayang, kesabaran, dan kekompakan keluarga Han merupakan faktor yang menentukan keberhasilan mereka menjalani hari-hari yang berat dan penuh tekanan itu.

 
Buku ini bertujuan untuk menginsipirasi keluarga lain dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam keterbatasan ekonomi. Saya menikmati membaca buku ini karena Pak Han cukup terbuka, jujur, dan lucu dalam mengungkapkan kondisi yang terjadi. Bisa jadi Pak Han merupakan gambaran para ayah yang terjerat dalam kekecewaan atas pencapaian dirinya sendiri dan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan keluarga, namun kemudian bangkit untuk memperbaiki keadaan. That’s really inspiring.

 
Meskipun demikian, saya merasa bahwa Pak Han juga mewakili beribu orang tua lainnya yang terlalu fokus pada pencapaian akademis semata dan kurang menganggap penting faktor lainnya. Anak meraih nilai ujian yang sempurna dan menduduki peringkat teratas menjadi satu-satunya tujuan hidup bagi orang tua seperti Pak Han. Pak Han bahkan membebaskan anak-anak dari melakukan hal lainnya –yang mungkin bermanfaat bagi perkembangan karakter anak, seperti membantu pekerjaan di rumah–  agar anak-anak bisa memiliki lebih banyak waktu untuk belajar. Sounds like my old-school parents :p. Sebagai orang tua jaman sekarang, saya menekankan pentingnya belajar dan hal-hal lainnya...heuheuheu (lebih parah ya?).

 
Saya juga kurang sependapat dengan cara Pak Han yang selalu berusaha membangkitkan rasa bersalah dalam diri anak-anak jika mereka tidak menuruti arahannya. Pak Han tanpa bosan selalu mengingatkan anak-anak bahwa sebagai orang tua mereka telah melakukan banyak hal dan berkorban demi anak. Pasti berat untuk anak-anak, karena pada dasarnya semua anak ingin menyenangkan dan memenuhi harapan orang tuanya. Mami Feti bilang, “Meskipun inspiratif, kayanya nggak ada sisi fun-nya untuk anak-anak.”

 
Begitulah, seperti juga saya, Pak Han bukan orang tua yang sempurna. But who is?  Perjalanan sebagai orang tua adalah perjalanan panjang tanpa peta. Pengalaman Pak Han dan keluarganya dalam menempuh jalur yang mereka pilih akan memperkaya wawasan kita sebagai orang tua untuk memilih jalur terbaik bagi anak-anak kita, sampai mereka siap memilih bagi diri mereka sendiri.

PS: terima kasih, Mami Feti, buat kado bukunya !!!  Thanks for  showing me the way so I can be a better parent.

No comments:

Post a Comment