Thursday, February 12, 2015

Starting with the End (Part I)



Saya tidak pernah terlalu memikirkan tentang kematian sampai setahun terakhir. Beberapa kejadian pada saya dan orang-orang yang saya sayangi menuntun saya untuk mulai mengenal kematian sebagai keniscayaan yang layak untuk dipikirkan dan dibicarakan.
Mulai dari ibu saya sakit karena kondisi gusi buruk, gizi kurang memadai (bayangkan anaknya ‘sukses’ begini, kok orang tuanya bisa nggak makan?), dan diperparah dengan penyakit diabetes serta darah tinggi yang tidak dikelola dengan baik.

Lalu saya sendiri sempat dig-dig-dug-deg-dor karena dokter pertama memberikan vonis yang menyeramkan atas kondisi tiroid saya. Alhamdulillah, menurut dokter yang memang ahlinya, kondisi tsb tidak membahayakan selama saya memperhatikan pengobatan dan menjaga kesehatan lahir batin agar hormon bisa seimbang. Setiap bertemu teman atau keluarga, pasti saya menerima komentar “Kok sekarang kurus sekali dan kuyu? Sakit apa? Jangan kurus-kurus ah, ngga bagus keliatannya. Makan yang banyak, biar seger”. Hehehe... alhamdulillah masih ada yang merhatiin.

Tidak lama, ayah saya harus operasi hernia. Meskipun hitungannya bukan operasi besar, faktor usia yang sudah lanjut menyumbang risiko tersendiri. Selama 4 siang-malam saya menemani ayah agar beliau tenang karena tau saya yang mengurusnya di rumah sakit.

Baru minggu lalu ibu mertua saya menjalani biopsi di leher, setelah sebelumnya kami berobat ke ahli gastro karena masalah pencernaannya dan shock atas diagnosis awal yang menakutkan berdasarkan hasil CT Scan. Alhamdulillah, hasil biopsi menyatakan beliau tidak terkena kanker.
Ayah dari beberapa sahabat saya juga terserang penyakit berat dan membuat sahabat saya mulai berpikir hal terburuk yang dapat terjadi ketika kita atau orang yang kita sayangi berada dalam kondisi kesehatan gawat.

Tahun lalu saya juga kebetulan menjalani umur yang kata orang waktunya memulai kehidupan. Isn’t it ironic? Kalau dipikir lagi, enggak juga. Ketika katanya saya seharusnya memulai hidup,  ternyata yang dimaksud adalah seharusnya kesadaran saya akan kehidupan mulai muncul (andai sebelumnya belum :p). Tapi apakah kehidupan itu sesuatu yang terlepas dari kematian? Justru titik tolaknya di situ. Hidup dan mati adalah dua sisi dari satu mata uang, tidak bisa dipisahkan begitu saja. So when life begins at 40, it is actually an alarm of how I perceived the chance of how it ends someday.

Tapi orang-orang lebih suka bicara tentang kehidupan daripada kematian. Dalam budaya kita, katanya “pamali” atau nggak baik ngomong tentang kematian. Kita juga takut setengah mati untuk memikirkan kematian kita sendiri. Merasa tidak siap, banyak dosa, belom berbakti, takut neraka, dll. Jadi kita lebih suka menghindar dari topik tersebut, seolah hal tsb adalah hal yang sangat jauh dan penuh misteri (mungkin lebih nyaman ngegossip tentang hal yang “jauh” lainnya seperti beda harga LV di Hongkong dibanding Milan, atau nebakin Syaiful Jamil akhirnya merit sama siapa). Akhirnya pembicaraan tentang kematian terbatas pada majelis ilmu di mesjid, kajian muslimah, atau ceramah agama karena di situ ada orang yang kita anggap berilmu (sang ustadz atau ustadzah) sehingga berhak memulai pembicaraan sulit tsb.

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Itu saja patokan saya untuk memberanikan diri membicarakan hal ini, setidaknya di sini, dengan diri saya sendiri.

Seperti yang saya bilang tadi, topiknya susah karena ngga ada pelaku sejarah dan saksi hidup yang  bisa berbagi pengalaman gimana sebenernya kondisi di “alam sana”. Meskipun ada yang pernah mengalami keajaiban tidak jadi meninggal dunia dan bisa menceritakan hal-hal luar biasa, tapi nyatanya ya belom bisa dibilang meninggal beneran.

Apalagi nyariin ahlinya, itu lebih susah. Manusia belom adil nih. Kan katanya lahir, rejeki, jodoh, dan mati adalah ketetapan Allah SWT. Nyariin organizer untuk menyambut kelahiran bayi udah banyak, mulai dari paket pemeriksaan, senam hamil, neonatal home care, dokumentasi, sampe pengelolaan tali pusar. Bisnis mak comblang juga terus marak karena manusia selalu ingin bisa ketemu jodohnya. Apalagi wedding organizer...mau mahal atau murah semua tersedia, mempelai tinggal duduk manis. Yang seret rezekinya masih bisa cari kerjaan baru, nyari konsultan bisnis, dukun, atau hynotherapist supaya pikiran bisa fresh, kinerja naik, rezeki berpihak ke kita. 

Nah, untuk yang kematian ini sepengetahuan saya yang tersedia adalah unit perawatan paliatif dan yayasan pengurusan jenazah.  Kedua jenis layanan itu juga kalo bisa ngga perlu kita bicarain deh. Ngeri. Kita menghindar sebisa mungkin.

Yang kebayang sama saya, pastinya ribet banget ya buat kita mempersiapkan kematian tersebut. Selain mempersiapkan diri pribadi untuk suatu kepastian yang saat ini masih abstrak, kita juga harus mempersiapkan orang lain dan hal-hal yang nggak pernah kepikiran sebelumnya. Bener kata orang. We’ll never be too prepared.

No comments:

Post a Comment