Friday, December 12, 2014

Anakku, Ibu rindu!



Malam semakin larut. Lebih dari jam 10. Anakku belum pulang. Dia sudah bukan anak-anak atau remaja lagi. Tapi aku masih merasa ingin menunggunya. Sekedar menyapanya, menanyakan kabarnya hari ini.

Anakku yang cantik. Anakku yang baik. Anakku yang mandiri karena keadaan. Kudidik dia dalam diamku. Dalam setiap sen yang aku khususkan untuk sekolahnya, kursusnya, buku-bukunya, latihan basketnya. Dalam soto ayam, nasi goreng bawang dan ketoprak kesukaannya. Dalam kesederhaan.

Aku bukan orang modern, aku orang kuno. Yang menganggap kerja lebih baik daripada kata-kata. Yang berprinsip tak perlu mimpi tinggi-tinggi, yang penting hidup mandiri. Yang merasa dosa jika jadi orang kaya. Tapi entah bagaimana (mungkin karena doaku juga), anakku tumbuh pesat, liar, dan bercabang ke mana-mana. Dia adalah anak pembelajar yang cerdas memahami keadaan, berdasarkan pengamatan dan pendengarannya sendiri karena tak pernah banyak aku jelaskan. Dia adalah anak peniru yang kreatif. Dia adalah anak penjelajah yang bermimpi jalan-jalan ke sudut dunia. Dia pemimpi yang pandai mengukur diri, sabar menenun dahulu sayap-sayapnya sampai siap terbang ke dirgantara.

40 tahun sudah usianya. Anakku yang cantik. Anakku yang baik. Anakku yang mandiri. Bukan anak-anak atau remaja lagi. Tapi aku masih ingin menunggunya pulang kantor malam ini. Tadi pagi dia pamit. Ada rapat sampai malam, katanya. Dia pamit seperti beberapa hari sebelumnya, “Maaf, Ibuk aku tinggal, aku ada kerjaan ke luar kota. Aku titip Lintang yo, Buk, dia sedang ujian.” Entah kemana lagi dia menuju pada esok hari. Mudah-mudahan kau bahagia, Nak, batinku.

Selama seminggu ini aku mengunjunginya di Ibukota, baru beberapa kali saja aku bisa berbincang dengannya. Pulang kantor, anakku terlihat capek. Setelah menyapaku beberapa kalimat standar, dia mengalihkan perhatian kepada Lintang lalu kepada suaminya. Lalu kepada si Mbok tentang detil rencana esok hari yang sibuk, perlu ini itu. Kemungkinan terbaik: aku hanya mendapatkan sisa dari harinya yang panjang dan melelahkan. Terburuk: dia duduk, diam menatap layar televisi tanpa berkata-kata membiarkanku menuju kamar untuk mendahuluinya tidur.

Aku lebih sering ngobrol dengan si Mbok. Atau dengan Lintang, sepulang dia sekolah. Atau besanku ketika mereka berkunjung. Atau si Emak penjual mainan di depan SD sebelah rumah anakku. Atau Bu Kardi, penjual gorengan di Gang IV. Aku bercakap dengan anakku melalui mata dan mulut mereka yang mengenalnya. Begitu juga sebaliknya, mereka mengenal anakku melalui aku saking jarangnya mereka bersua.

Dari mereka itu aku tau anakku mestinya baik-baik saja, sehat, dan sukses-sukses saja. Syukurlah jika memang begitu karena tak pernah dia mengeluh atau menangis, kecuali 2 kali. Pernah dia menelpon, mengeluhkan kondisi kantor dan bosnya yang menyebalkan. Aku kaget, baru sekali itu dia punya masalah dan minta didengarkan. Ternyata aku masih berguna juga, meski hanya sebagai pendengar. Kali lain, dia menangis karena marah kepadaku. Dia merasa frustasi karena aku menolak bantuannya untuk bersih-bersih rumahku yang memang sudah reyot, kumuh tak terurus dan penuh oleh segala macam barang yang kukuh aku pertahankan.

Malam semakin larut. Surya, suami anakku dan Lintang, cucuku, sudah merapat ke kamar masing-masing. Tanpa dongeng sebelum tidur. Tapi anakku belum pulang juga. Inikah dunia baru itu? Dunia di mana waktu semakin tak bermakna. Siang dan malam tak lagi berganti-ganti karena selalu diisi kerja dan kerja. Inikah dunianya? Dunia di mana dia tidak sempat lagi memasak soto ayam, nasi goreng, atau ketoprak untuk anaknya. Ah, aku tidak tahu. Mungkin aku yang keliru. Dunia zaman sekarang tidak perlu lagi bukti cinta berupa soto ayam, nasi goreng, atau ketoprak. Mungkin aypon dan jalan-jalan ke luar negeri sudah menggantikan menu-menu kesayangan itu.

Wulan --anakku yang cantik, baik hati dan mandiri-- belum pulang. Aku masih menunggu. Aku ingin yakin bahwa ia baik-baik saja, sehat, dan sukses-sukses saja. Dengan demikian, dongeng sebelum tidur yang terlewat dan soto ayam yang belum sempat diracik itu sepadan dengan kebahagiaannya atas kehidupan yang penuh makna. Semakin dia bahagia, semakin aku lega bahwa telah kuwariskan sedikit kebaikan baginya. Bukan warisan (risiko) penyakit, postur, dan cara bertutur saja.

Malam ini aku akan tetap menunggu. Tak peduli berapa umur anakku, aku tetap merindu. Aku tahu dia akan lebih lelah dari biasanya. Tak apa, Nak. Senyum dan sapa singkatmu nanti akan cukup bagiku.

Ibu tunggu karena Ibu rindu.

No comments:

Post a Comment