Friday, September 19, 2014

Running: activity or self actualization?



Saya tuh orang yang males banget foto-foto dan bikin collage. Padahal kan jaman sekarang pictures speak louder than words yaa...hehehe. Dianggapnya the action are best reflected on the pictures. Soalnya saya termasuk golongan orang-orang yang kadang punya pikiran sempit dan picik bahwa yang narsis itu pasti lebih banyak gayanya dibanding aksi dan esensinya. Hahaha, bayangin tuh piciknya kaya apa. Padahal kebanyakan karena saya ngga PD aja, selalu mematok standar tinggi yang tentunya ngga pernah bisa saya capai sendiri. Belum lagi foto saya lari kayanya menyedihkan semua, which is exactly makes the point that I ran incorrectly. Hahaha, ngaku nih. Banyak yang mesti dibenerin.

Running fever masih melanda Jakarta dan seluruh Indonesia sampe 2014 ini. Amazing sih.. masih awet. Hot trend? Gaya hidup modern? Agama baru? Urban style? Banyak teman-teman saya yang langsung jatuh cinta sama lari dan investasi gede-gedean: niat bulet, waktu berlatih dan metode latihan yang serius (it really takes a considerable chunk of your week end and week day time to do tempo run, strength training, hill work, and long run), gear lari yang nyaman dan gaya (sepatu, compression, kaos kaki, sport bra, visor, kaca mata, jam tangan mahal yang bagi mereka ngga masalah), gadget dan keanggotaan training/challenge program secara online, makanan pilihan buat refueling, dan rencana perjalanan ikut race event di berbagai kota dan negara (marathon/half marathon seri dunia bakal dikejar, andai bisa masuk kualifikasi). 

Hasilnya? Posting di media sosial, foto-foto berkegiatan yang bikin ngiler, pemecahan rekor/catatan waktu pribadi, kumpul-kumpul teman sehati, persahabatan (friends who run together, stay together  katanya), dan rasa puas telah menaklukan tantangan di luar pekerjaan dan tuntutan jenis lainnya (everybody  picks her/his own battle, one after another). If I suck or I am stuck with other things in life, then maybe running could save me. Mungkin ada juga yang berpikiran begitu.

Nike We Run, Dec 2013 #BajakJkt (review asik ada jg di http://www.rezafaisal.net/?p=891)

Ada lagi teman-teman anti mainstream: semakin sesuatu hal menjadi tren dan jadi komoditi, semakin nggak mau ikutan. Anget-anget tai ayam, ntar juga berlalu dengan sendirinya. Di Indonesia ini apa sih hal baru yang ngga laku? Sepeda lipet. Sepeda gunung. Zumba. Futsal. Food combining. OCD. Diet a la Dr. Grace (saya juga baru tau hari ini ternyata sebagian besar ibu-ibu kantor adalah pasien sang Dokter dalam rangka penurunan berat badan). Wisata kuliner. SK-II skin treatment. Foto pake bibir monyong. Selfie dan tongsis. Dll. Jadi wajar aja para anti mainstream itu ngga terlalu excited dengan tren yang satu ini. Salah satu kisah ttg pelaku anti-#etapi-pro mainstream olahraga lari yang kocak banget ada di sini nih. Ngakak berats deh.

Saya sih ngeliat kegiatan lari seperti olah raga lainnya sebagai cara untuk mengolah badan dan memperoleh manfaat terbaik. Sama kaya berenang, main tenis, yoga, senam aerobik, zumba, dan lain-lain. Kebetulan aja di Oktober 2012 saat saya ingin mencoba hal yang baru, saya pilih sesuatu yang sebelumnya saya nggak suka. Biasanya saya olahraga voli, basket dan yoga karena olahraga lain saya anggap susah dan saya males beradaptasi (baca: usaha). Apalagi udah merasa ngga sejago orang lain.

Mindset kaya gitu lama-lama jadi halangan karena saya semakin nggak PD mencoba hal baru yang positif. Saya menyadari bahwa ternyata saya sendiri yang membatasi my own possibilities.  Olahraga lari saya pilih karena murah, bisa dilaksanakan, udah lama kepikiran (sejak liat bodi keren pelari cewek bule di Boulder,CO  dan Bloomington, IN) tapi ngga berani mulai, membuat saya senang, dan saat itu lari memang mulai jadi tren di Indonesia.

Murah karena modalnya cuman celana training dan kaos biasa serta sepatu Nike warisan dari Amerika seharga $40. Untuk sepatu cadangan, saya beli New Balance W480 di SportStation yang diskon 70% jadi cuman Rp177.000. Baru setahun kemudian saya beli Brooks GTS12 yang diskon 50% juga, jadi Rp665.000. Alhamdulillah 2 sepatu itu cocok dan nyaman dipakai. Pokoknya saya perhitungan banget. Ngga rela belanja mahal kalo ngga yakin bakalan berguna dalam jangka waktu lama. Saya tes diri saya dulu, kalo setaun masih betah lari baru boleh ngintip-ngintip barang lain. Long sleeve shirt paling nyaman dan saya suka adalah pink shirt-nya The Urban Mama yang saya beli di event Running Coach bareng Brett Money dan Alan Walker pada bulan Mei 2013. Rada mahal sih Rp269.000 tapi Rp40.000 diantaranya untuk nyumbang yayasan amal. Sayang ngga sekalian beli yang warna turqouise dan lime sekalian, soalnya stock cepet abis.

Bisa dilaksanakan karena kebetulan di kantor ada gym yang menyediakan treadmill sehingga saya bisa latian dari NOL: mulai dari jalan kaki, jalan kaki + lari 2 menit sampe belajar lari konstan selama 20 menit. Akses ke Taman Monas di hari kerja dan Car Free Day Jakarta di hari Minggu terbuka lebar sehingga saya bisa mencoba lari outdoor. Selain itu flexi time di kantor memungkinkan saya ke Monas/gym dulu baru masuk kantor jam 08.30 pagi karena tokh ujungnya juga emang hampir setiap hari lembur sampai jam 19.00an. Hari Minggu kadang lari (beda jalur) sama Babe Aris di CFD (Kaylia seneng nongkrongnya aja di GBK). Jadi dari sisi waktu, sarana dan family time  bisa diatur. Kalo ikutan event, Babe ama Kay diajak juga biar sekalian piknik. Untung bisa kompak, kalo enggak kan rada nggak enak hati tuh lari sendirian, serasa bersenang-senang di atas penderitaan orang lain...
Samsung Runseries #1 Jakarta 10K, 2014

Seperti yang saya bilang tadi, udah lama saya kepikiran untuk mulai olahraga lagi. Olahraga yang saya pilih dan (mungkin akhirnya saya) sukai. Bukan olahraga pas HUT RI di kantor (saya dikejar-kejar untuk menggenapkan pemain di tim voli atau basket) atau  olahraga pas gathering dan senam pagi bersama. Saya ingin sesuatu yang personal, bisa dilakukan sendirian aja, nggak mesti barengan atau tergantung pada orang lain. Waktu itu saya sedang malas yoga, padahal istrukturnya udah didatangkan ke kantor. Padahal yoga udah menolong saya ngatasin migren dan pegal-pegal punggung. Padahal biaya lumayan terjangkau. Padahal...padahal... Dasar males aja sayanya.

Saya ngerasa masih sreg dengan olahraga lari ini sepanjang itu menyenangkan, ngga dijadikan ajang dengan agenda aneh-aneh. Dunia ini udah repot dengan segala macam persaingan, jadi pastinya saya males banget kalo lari jadi media untuk bersaing atau adu hebat (hahaha, itu khas banget ngeles-nya golongan yang kalah mulu). Jadi saingannya dengan diri sendiri aja. Kalo bisa bikin time record lebih baik ya syukur, kalo enggak yaa diterima aja dulu.. nanti-nanti baru usaha lagi, ngga usah terlalu dipikirin.

Jika lari merupakan trend, saya anggap sebagai hal yang menguntungkan karena semakin banyak orang yang melakukannya maka semakin banyak pengetahuan dan sharing pengalaman yang bisa kita manfaatkan. Temen kantor bikin running club yang terbuka dan supportive untuk semua orang termasuk forever newbie seperti saya yang selalu menempati urutan akhir-akhir ...hehe. Tentunya di dunia maya pengetahuan dan pengalaman itu lebih bebas dibagi dan dialirkan ke mana-mana. Group chat, website dan blog pribadi nggak cuman berisi foto narsis doang kok, banyak hal yang bisa saya pelajari dari orang-orang yang sebenernya ngga saya kenal sama sekali. 

Ujung-ujungnya saya simpulkan bahwa apapun pencapaian mereka –besar atau kecil– merupakan hasil dari mengelola kesehatan, waktu, energi, uang, dan kehidupan selain urusan lari. Perihal ada yang eksis lebay, big talker, egois, narsis, dll itu mah biasa. Orang kaya itu kan ada juga di olahraga atau kegiatan apapun di dunia ini, udah bawaaan orok masing-masing.

Beberapa website dan blog yang saya suka intip ttg olahraga lari adalah: Runner’s World, Singapore’s Running Society, dan Dunia Lari Indonesia.
 


Jadi, lari itu aktifitas atau salah satu cara aktualisasi diri nih?

Kesimpulannya: ngga bisa dipisah yaaa... sama deh dengan kegiatan lain. Dari sekedar beraktifitas, lama-lama serius dan bisa jadi cara untuk tetap sehat, cantik dan seksi :p. Lalu jadi lahan untuk eksis, untuk persahabatan, untuk berprestasi, untuk menorehkan personal legend, untuk mencari dan menjawab banyak pertanyaan di dalam diri masing-masing.

Di luar faktor tren dan narsisme, mungkin awalnya iseng atau pingin sehat aja,  lama-lama jadi ketagihan ‘feeling good’ from natural #endorphin, trus jadi antusias untuk terlibat lebih dalam karena manfaatnya ternyata seperti mendapatkan nafkah/kepuasan lahir batin (jiaahh...kaya perkawinan nih), dan akhirnya berkomitmen untuk menjadikannya life-time activity

Semoga saya dan keluarga tetep semangat untuk berusaha hidup sehat dengan berlari atau kegiatan lainnya. Suatu saat saya pasti bosan, frustasi, atau malas atau ngga mampu lari berlari... Dan hal itu mungkin harus diterima dengan lapang dada dan kesadaran bahwa we run to make our lives better, filled with good deeds and great actions. If it doesn't make it, maybe we should stop. Or wiser: maybe we should take a look back that we might not do it right all this time.

No comments:

Post a Comment