Monday, June 2, 2014

#3: Having a Relationship: To Love Someone and Still Breathing


“Cinta: sebuah kegilaan sesaat yang dapat disembuhkan oleh pernikahan”
– Ambrose Bierce

I woke up in the middle of the night due to nature calling. I sighed and rolled down the bed and dragged myself to the toilet. Before reached the door’s handle, I took a brief look at someone sleeping on my bed. There he was. My dearly husband for 12 years, my dearly best friend of more than 15 years. Snoring audibly and perfectly occupying almost two thirds of the bed with his big “love pillow”.

I climbed back to bed afterward and couldn’t get asleep right away. What would I do without him? Would I be able to breath? To love someone is like opening up our hearts to wounds and injuries, to sense fear of losing and to feel insecure about ourselves. So what is it about love then?

Meskipun dia dipenuhi dengan keanehannya sendiri (seperti saya juga dengan keanehan saya), dia lah yang selalu ada di semua peristiwa penting dan mendesak dalam hidup saya dengan segenap perasaan yang saya duga sebagai cinta. Dimulai ketika dia muncul pas saya berumur 25 tahun. Keluarga saya hobi nanya “Belum punya pacar? Mau dijodohin aja?” (niat baik keluarga besar saya itu disambung dengan pertemuan dengan beberapa kandidat yang membuat saya kurang nyaman, serasa dikejar debt collector hihihi).

Setelah berhasil menjadikan saya pacarnya karena saya rada “playing hard to get”, beberapa minggu kemudian dia dipusingkan oleh ide rese saya tentang “kapan merit” (katanya jual mahal....hahahha). Jadinya ngga sempet ada adegan down on his knee and asked me “Will you marry me?” karena udah keduluan dengan rengekan saya yang ngga bermutu dan ngga ngasih solusi sama sekali. Sampai akhirnya kami menikah 2,5 tahun kemudian (see.... there was no short cut in love, buddy, even when you were whining all the time).

Kemudian dia juga menemani saya 2,5 tahun selanjutnya menjalani prosedur yang berkaitan dengan peranakan (kepingin hamil, udah hamil tapi ada kasus, melahirkan, kuret) di kamar operasi. Untung dia ngga semaput, mengingat betapa ksatrianya suami saya itu menghadapi kecoak (selama ini saya selalu maju dengan ikat kepala Jepang di jidat dan sapu sebagai pedang untuk menghabisi para kecoak durjana itu... watchaaaa....!) dan karet gelang kuning (karet gelang aja dilarang masuk rumah saya, apalagi karet sapintrong...sungguh perbuatan yang tidak melestarikan budaya lokal. Shame on him).

Dia kemudian turut berperan serta aktif dalam pengasuhan anak sejak bayi, kecuali waktu Miss K masih bayi banget dia ngga mau gendong, takut bikin celaka bayi, gitu katanya. Itu berlangsung sampai Miss K berumur 4 bulan, sodara-sodara! Kalo dimintain tolong ambilin barang bayi berupa popok, celana, kaos, dll dia menjelma jadi tamu dengan pertanyaan klasiknya yang masih terus berjalan sampe anaknya gede “Dimana disimpennya?”. Saya sampe heran, memangnya kita punya berapa banyak lemari perlengkapan bayi sih?

Btw, ini edisi ultah perkawinan ke-12 ya, jadi tulisan ini harusnya lebih banyak puja-puji :p. 

Ketika saya ngotot pengen cari beasiswa dan sekolah ke Amerika (it’s my childhood dream!), dia mengamini tanpa banyak memberatkan saya dengan pertimbangan suami pada umumnya kepada istri dengan anak kecil berumur 2,5 tahun, seperti “Inget ama anak, nggak usah neko-neko deh” atau “Perempuan mah apa sih yang dicari?” atau “Coba dipikir lagi deh, apa ngga di Indonesia ajah?”. Dia berpendapat kalo niatnya baik pasti semua bisa diatur, kan sekolah 2 taun cuman sebentar, jadi saya, dia, Miss K pasti bisa menjalaninya. 

Dengan restunya, di sore hari ultah Miss K yang ketiga, saya berangkat menjalani tahun pertama MBA saya di Bloomington, IN tanpa mereka. Nggak keukur deh berapa liter air mata yang tumplek dengan berbagai alasan: sayanya emang lebay dan cengeng kangen rumah, merasa bersalah ninggalin anak dan suami, sedih karena melewatkan banyak momen berharganya Miss K, stress berat karena banyak projects numpuk atau ujian yang gagal, atau saya lagi melow aja karena ngenes bisa jalan-jalan liat dunia luar yang indah tapi ngga bisa berbagi memori itu dengan mereka berdua. 

Ternyata Babeh bener, alhamdulillah semua bisa dilalui dengan selamat. Jangan tanya ilmu MBA-nya yaa.. udah mental semua, entah ke mana. Yang kepatri di ingetan cuman betapa besar dukungan Babeh dan keluarga serta betapa asiknya jalan-jalan pas liburan hehehe.

Kado dari Babeh ngga pernah ngga indah. Boneka beruang kutub putih gede hadiah jaman pacaran (namanya Richard). Itu beruang cuman bisa dinikmati saya sendiri karena setiap kali mau bergabung di kamar tidur kita sekarang, Babeh dan Miss K langsung ber-whuaaaatchuuuu ria! Sadly, akhirnya the ole Richard dikarantina di kamar atas. Trus jam tangan Guess mungil beli di Passer Baroe waktu ulang tahun perkawinan ke 3 (btw, itu jam tangan pertama saya seumur hidup dan masih saya pake ampe sekarang). HP Nokia sehabis melahirkan Miss K (berhubung HP-nya dicolong di kamar perawatan pasca bersalin sih). Dan beberapa kue ultah suprise yang sebenernya selalu ketauan ama saya. Terus hal-hal lainnya yang nggak kepikiran ama saya tapi dia lakukan dengan penuh semangat untuk kebaikannya sekaligus kebaikan bersama (berhenti ngerokok, diet dan latian lari ketika badan kian tambun). Untuk ukuran dia mah, itu udah romantis bingiiit. I lop yu pul, Babeeeeh....

Dari semua hal tentang dirinya (kita ngga ngomongin kekurangan deh karena kekurangan saya aja banyak banget hehe), bagian yang paling saya suka adalah dia tidak pernah mengungkit-ungkit apapun kesalahan saya, meskipun kadang berulang kali saya lakukan. Dosa besar atau dosa kecil. Hal itu mendorong saya untuk berperilaku sama. Yang udah terjadi ya udah aja, yang penting kita udah ambil pelajaran dari hal itu.

Oia, saya lupa rumusnya apa dan darimana (kayanya penelitian yang diceritakan dalam bukunya Malcolm Gladwell ttg pernikahan deh), tapi yang jelas manusia secara umum cuman tahan menerima beberapa perlakuan “jelek” saja dalam satu waktu dan untuk memperbaikinya butuh lebih banyak perlakuan “baik”. Kalo ngga salah rasionya: 1 jelek banding 4 baik deh. Perlakuan jelek itu bukan hanya yang bersifat fisik (memukul, mendorong tubuh utk menjauh) dan verbal (perkataan yang melukai harga diri, nada tinggi), tapi juga bahasa tubuh yang samar tapi menyakitkan (mencibir, menyerngit, senyum menghina, merasa jijik). Yang terakhir ini yang paling parah dan diam-diam bisa membuat pernikahan hancur.

Jadi kalo kita lagi berdebat dan berantem beneran, palingan cuman tahan adu beberapa kalimat aja, karena tau percakapan itu ngga bakal ke mana-mana. Muter-muter di situ dan ngga selesai, bahkan bisa saling menyakiti. Kalo dah gitu biasanya saya bubar jalan dan ..... tidur! Dia juga sama. Tidur is the best policy in such circumstances. Biasanya kalo tidurnya bener, pas bangun kita udah ceria dan bisa melihat hal-hal yang sebelumnya tertutup kabut hitam ... Syukur-syukur abis itu baikan. Hehehe. Emang sih kesannya menghindari konflik, tapi daripada merembet ke mana-mana, mending ditunda aja dan diomongin lain kali.

Ngomongin tentang soul mate dan pernikahan, saya setuju dengan ulasan Mama Slesta dalam blog-nya yang kaya warna kehidupan perempuan jaman sekarang dengan seribu pilihan dan tantangan. Kata Mama Slesta, setiap hubungan pasti melalui siklus yang tidak terhindarkan. Baca deh. Kesimpulannya: nggak peduli nikah ama siapa dan udah berapa lama, pasti setiap pasangan ngalamin hal itu.

Pastinya bener sih. Ibuk dan Bapak saya aja yang udah menikah lebih dari 40 tahun masih terus berusaha beradaptasi karena masing-masing dari mereka juga mengalami perubahan seiring usia dan lingkungan yang dinamis. Setiap saya pulang kampung, pasti ada aja ceritanya bahwa “Bapakmu itu lho.....bla bla bla” atau “Tau sendiri kan Ibumu, bli bli bli.....”. Tapi tetep aja sepasang nenek-kakek itu rukun jalan-jalan belanja ke Pasar Baru Bandung naik angkot, bikin keluarga kebat-kebit karena kan kesehatan beliau-beliau agak menurun akhir-akhir ini. Belum lagi kalo diem-diem kompak melanggar diet masing-masing sampe akhirnya ketauan karena berasa sakit di sana-sini. You only have your kids, at your best, until before they go to college; after that... your spouse is all you have. Makanya baek-baek dah ama misua :p

Mamak dan Akung (sepasang mertua saya) juga ngga terkecuali dari permasalahan pasangan yang  hidup bersama. Mamak mengeluh kalo Akung susah dikasih tau, keukeuh, dan yang paling ngeselin ngga pernah kasih ide mau makan apa, jawabannya selalu “Terserah”. Udah susah-susah dimasakin taunya ngga dimakan. By the way, they have been married for 50 years so it means 50 years of asking “What would you like for lunch today?”. Perlu 50 tahun untuk tau bahwa kadang ada banyak hal yang ngga bisa diubah. Kalo soal “susah dibilangin, keras kepala, dan keukeuh” kayanya semua orang juga begitu deh (hampir 99% sodara dan temen cewek saya bilang kalo suami mereka berwatak keras dan keukeuh, dalam berbagai tone dan konteks :p). 

Jadi belah mana ada cintanya sih? I guess the love flows very gently through our veins. Not too strong to get us  heart attacks. Not too weak to let us die dryly. The love hormones which created “temporary insanity” was probably out of their way after some years, but who needs constant juggling and having millions of butterflies inside our belly nowadays anyway? The love we’re expecting now is more like a tonic to help us develop and enhance a good decent healthy life, as well as to heal us from life's wounds and injuries we couldn’t resist.

Nevertheless, just like any other “living” thing in the world, love needs to be cherished and nurtured along the way. It could be dead. Obsolete. Empty. Frozen. Yet I don’t know how exactly we plan to keep the flame alive, it’s too much for both of us to talk about. My best guess: we’ll live it day by day. Acknowledge each other as a person, not just a spouse with loads of obligaton to keep the holy marriage works. Be thankful for our togetherness and undestandings as well as our disagreement and fights. Treat each day as a treasure. Grow up (and have ourselves fix things a little bit to be compatible) together. Take care of each other’s feeling... and our greyhair and wrinkles. Have some miles running together... in different pace (that’s the mantra!). Have only one TV, so we will be stuck on each other’s favorite TV program. Get some seductive lingeries, maybe. Make another baby....

Wooow...wait! The list could go wilder, you know. 

So, this is it, I guess I have to stop right here, right now with some wishes. If you have found the love of your life, stick with it until it ripes again and again. If not, take a look around you as she/he might be there all along, anxiously wait for you to open your heart. If you have a love who doesn’t respect you and make you worse a person, maybe it’s time to think about it again. 

Love yourself, love others and have a wonderful life, my beloved friends!

No comments:

Post a Comment