Tuesday, December 11, 2012

To Change, or Not To Change


Kebanyakan orang tidak senang dengan perubahan. Termasuk Mr. Corporate Star di kantor saya. Dedikasi dan prestasinya tidak diragukan lagi. Sederet pujian dan penghargaan atas kontribusi di kantor, di organisasi, dan di majalah bukan lagi hal baru baginya. Tak urung, dia berkata bahwa dia paling anti perubahan, tidak menyukai hal-hal yang baru, dan lebih percaya pada hal-hal yang telah teruji mampu menghadirkan keamanan dan kenyamanan.

 

Aha!

Ingin rasanya saya bersorak. Saya tidak sendiri. Saya juga tidak suka perubahan. Kalaupun ada perubahan, tentunya sudah saya rencanakan sematang mungkin supaya tidak terlalu menimbulkan gejolak dan ketidaknyamanan. 10 tahun lalu saya berani beralih kantor justru karena terpaksa; di kantor lama saya sudah sangat tidak merasa aman dan nyaman. Pilihan saya hanya bertahan atau pindahan.

 

5 tahun lalu saya berani sekolah lagi di negeri orang, juga karena saya jenuh melakukan pekerjaan berulang dan merasa perlu tantangan baru. Tantangan itu saya bayar mahal dengan kehilangan berat badan, mata cekung dengan lingkaran hitam ala panda, berpisah dengan suami, dan jadi ibu ‘ratu tega’. Jauh-jauh sang ilmu saya tuntut mati-matian, hasilnya ‘hanya’ perspektif baru dalam memandang pekerjaan saya yang lama. Ya. Pekerjaan yang lama, yang berulang-ulang dan membuat jenuh itu. Dengan cara melihat yang baru itulah (alasan klise untuk menghindar dari perubahan ekstrem yang saat itu sudah tak sanggup saya tanggung) saya kembali ke haribaan bangku saya yang lama, layar komputer yang sama, posisi yang sama.

Seperti ayam jantan yang selalu berkokok di jam yang sama, saya adalah mahluk ritual dan saya benci semua hal yang merusak itu. Saya ingin duduk di kursi yang sama di perpustakaan. Sepanjang masih tersisa, saya akan lari di threadmill yang sama. Dalam meeting, saya buru-buru duduk di sebelah orang yang pertama saya kenali. Sepatu baru saya kemungkinan baru akan dipakai 3 bulan dari tanggal pembeliannya. Saya ajak keluarga berlibur ke tempat yang sudah pernah saya atau suami datangi ketika acara kantor kami. Pendeknya, saking sulitnya berubah dan cintanya pada kebiasaan lama, saya menjadi agak membosankan.

Dan sekarang, kantor saya sedang dilanda demam perubahan. Banyak yang merasa takut, seperti saya. Memang belum seserius ancaman PHK. Tapi berbagai pikiran negatif langsung muncul seiring makin santernya berita perubahan itu. Saya merasa terusik, bagaimana nasib saya nanti? Apakah tuntutan dan tekanan pekerjaan akan lebih besar? Jam kerja lebih panjang? Akankah saya dikelilingi rekan-rekan kerja yang sekaligus sahabat saya seperti sekarang? Mampukah saya cepat beradaptasi dengan kondisi baru? Kalau kantor kami pindah lokasi, commuting time bisa makin panjang dong? Will I be happier? Will I be more fulfilled?

Mr. Corporate Star bilang bahwa salah satu cara menghadapi dan menjalani perubahan adalah dengan meyakini bahwa perubahan adalah keniscayaan dalam hidup ini. Ada perubahan yang bisa kita kendalikan, ada juga yang di luar kuasa manusia. Ketika kita menjadi bagian penting atau penggerak dari perubahan itu, kita sesungguhnya berusaha mengambil kendali atas perubahan tersebut sehingga manfaatnya akan terasa lebih besar dari mudharatnya. Ketika perubahan itu di luar kuasa manusia, resepnya hanya satu: ikhlas, katanya.

Keikhlasan merupakan bentuk yang abstrak buat saya. Mudah diucapkan, sulit untuk dilakukan. Tapi rupanya Allah SWT mencoba lagi menunjukkan pada saya. DIA mempertemukan saya dengan seseorang secara sepintas lalu dalam kursus manajemen yang saya ikuti minggu ini.

Ia adalah seorang penyiar radio di Belanda, membawakan siaran khusus tentang Indonesia. Hidupnya tenang dan damai sampai terjadinya krisis ekonomi di Eropa. Rasionalisasi stasiun radio di akhir tahun ini memaksanya untuk cepat berpikir mengenai kemungkinan yang bisa ia tempuh setelah berhenti bekerja. Ia memilih pulang ke Indonesia dan membuka biro jasa konsultan komunikasi proyek.

Kenapa jasa komunikasi? Karena itulah bidang keahliannya. Spesialisasi biro jasanya adalah proyek di Indonesia yang bekerja sama dengan konsultan dan penyedia jasa teknis dari Belanda. Kenapa proyek dan kenapa Belanda? Lama tinggal di Belanda, membuatnya mengenali karakteristik lansekap kota di Belanda yang mungkin berguna untuk penataan kota di Indonesia. Proyek pionirnya adalah mensukseskan pembangunan bendungan pantai utara Jakarta yang akan ditangani oleh ahli teknik bendungan dari Belanda. Voila. Semua itu terjadi padanya dalam waktu yang sangat singkat.

Keputusannya memang terkesan cepat. Tapi sesungguhnya saya yakin, ia telah bertahun-tahun mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang ia sendiri mungkin tidak pernah tahu ke arah mana. And one good thing leads to another. Kecintaan pada pekerjaannya, ketertarikannya pada lansekap kota, dan ingatannya pada tanah air secara sambung-menyambung telah berkonspirasi menjadikan dirinya seperti saat ini, dengan keputusan yang seperti sekarang.

 

Mungkin inilah yang disebut Mr. Corporate Star dengan ikhlas menerima perubahan sekaligus berperan aktif dalam mengarahkan perubahan itu menjadi (sedikitnya) sesuai keinginan kita, untuk keuntungan kita, demi kebahagiaan kita. Kenali diri kita, kenali kelebihan dan kekurangan kita, dan kenali apa yang bisa kita tawarkan pada dunia. Bahasa sederhananya: build your core competency.

 

Meski saya sudah bertemu dengan Mr. Corporate Star dan Pak Konsultan, saya masih merasa takut akan perubahan. Dan saya akan terus merasakan perasaan itu sampai akhirnya saya harus berhadapan dengannya. Tapi saya percaya pada perubahan karena perubahan adalah esensi dari kehidupan. Melarikan diri dari perubahan adalah sesuatu yang paradoksial, karena ternyata pelarian itu menuntut kita untuk juga berubah.

 

Saya harap ketika saya bertegur sapa dengan perubahan di kantor saya, saat itu saya akan menyambut perubahan sebagai suatu kesempatan dan suatu penyegaran, bukan ancaman. Sebagai satu lagi pintu yang terbuka untuk saya. Untuk bisa berbuat sesuatu yang bermakna.

 

No comments:

Post a Comment