Thursday, December 6, 2012

Ngomel Macetnya Jakarta? #BukanTrendingTopicLagi

Minggu ini kemacetan Jakarta, khususnya dari kantor saya ke rumah yang hanya berjarak 17 kilometer, sudah sangat ter...la...lu. Senin sore saya buru-buru pulang jam 5 menggunakan miss Livi agar bisa saya (sebagaimana puluhan ribu ibu-ibu di Jakarta yang punya anak usia SD) menemani Kaylia belajar menghadapi UAS. Ternyata perlu perjuangan selama 4 jam untuk sampai di rumah, gara-gara lampu merah di perempatan McD Duren Sawit gagal mengakomodir luar biasanya volume kendaraan dari arah Jatinegara (180 detik durasi lampu merah dan hanya 27 detik durasi lampu hijau). Hasilnya, tentu saja macet total mulai Pasar Prumpung.

Hal yang semakin membuat saya  geram adalah ternyata Kaylia menunggu saya pulang untuk bersama-sama latihan hafalan surat Al Quran. Dia menangis. Saya kaget karena jarang-jarang Kaylia menangis. Dia menangis karena malam itu entah mengapa dia merasa kesulitan menghafalkan surat-surat Al Quran untuk tes esok harinya. Saya menyesal sekali, karena tidak di sana ketika dia sangat membutuhkan saya. Karena sudah hampir jam 9.30 malam dan keliahatannya dia sudah lelah, saya membujuknya untuk tidur saja dan tidak usah mengkhawatirkan tentang tes Tahfidz di sekolah. "Besok dicoba saja sebisanya, Kay... kalau ternyata belum berhasil, bilang pada Ustadz untuk meminta remedial. Nanti kita coba lagi."

Hari Selasa, saya coba pulang lebih awal lagi jam 4.40 sore dan mengambil jalur perjalanan lain, melewati Jalan Pramuka. Perjalanannya memakan waktu 2 jam, masih 'untung' saya bisa sholat Maghrib di rumah. Saya sempat belajar bareng Kaylia dan membacakan paragraf pilihan dari buku Life of Pi (Kaylia sedang senang sekali dengan kisah itu setelah nonton filmnya).

Hari Rabu, kebetulan saya lembur dan pulang jam 7 malam. Saking stress-nya, saya tinggalkan miss Livi di kantor dan ikut menumpang motor Temi, teman saya yang rumahnya searah. Alhamdulillah, naik motor bisa lebih cepat, 'hanya' sekitar 1 jam 10 menit. Tapi sayangnya, ketika saya pulang Kaylia sudah tidur karena kecapekan setelah belajar bareng Babe-nya. Satu lagi kesempatan yang terlewatkan.

Hari Kamis, tadi malam, saya terjebak kemacetan dengan judul "merayap" sepanjang 17 kilometer itu. Tidak kurang dari 3 jam saya dan Dike akhirnya ngobrol ngalor-ngidul demi membunuh waktu, kekesalan, dan kebosanan berada di jalanan.  Waktu 3 jam itu setara dengan membuat cake yang enak-enak di rumah, membahas 3 bab ttg science bersama Kaylia, menulis di blog, nge-gym membakar 350 kalori atau yoga (plus steam dan shower dan grooming berlama-lama), baca beberapa bab buku yang menarik, atau berbagai kegiatan produktif lain yang jauuuuuuh lebih menyenangkan.

Tapi ketika saya membuka Twitter dan berniat ngomel tentang lalu lintas Jakarta terkini, saya terhenyak membaca tweet orang lain: "Ngomel soal macetnya Jakarta? Lo baru ya di sini?".  Nah..... nggak cuma urusan rebutan jalan, urusan ngomel aja saya udah keduluan hehehe. Tapi tweet itu menyadarkan saya. Percuma ngomel, kayak orang baru aja. Itu nggak akan merubah apapun. Ayo, sudah tahu kondisi jalanan Jakarta  seperti itu, pikirin dong apa yang bisa diperbuat untuk membuat perjalanan saya lebih cepat.

Alternatif yang ada adalah naik angkutan umum (Kopaja dan disambung angkot), naik motor, naik sepeda atau naik kereta. 

Pilihan yang dangkal dan bisa ditebak. Saya belum pernah naik Kopaja disambung Metromini atau angkot dari kantor sampai rumah sebelumnya. Dan saya merasa ini bukan saatnya. Lha wong saya komplen soal jalanan yang macet, kok malah naik kendaraan juga. Mungkin ada bedanya dari sisi waktu tempuh. Tingkat keganasan Kopaja dan Metromini di jalanan (mungkin) membuat perjalanan saya lebih cepat. Tapi faktor risiko seperti keselamatan, kemungkinan ketiduran (kalau dapat tempat duduk), kecopetan, kerampokan, serta adanya ancaman para pengamen atau peminta-minta membuat saya bertahan untuk tidak memilih sarana transportasi ini.
Mau naik motor…waaah, jauh panggang dari api. Saya belum pernah mengendarai sepeda motor seumur hidup. Jadi pilihan ini juga saya coret dari daftar.
Bike to work? Hmmm… kayaknya juga enggak deh. Selain dari sisi jarak yang menurut saya lumayan jauh untuk ditempuh dengan bersepeda, saya juga kurang percaya diri di tengah kondisi jalanan Jakarta yang bak hutan belantara. Siapa yang kuat dan pe-de, dialah yang jalan duluan.
Akhirnya, kereta api CommuterLine tetap jadi pilihan saya. Sebelumnya saya juga pengguna on-off CommuterLine selama 2012 ini. Dilihat dari sisi jadwal keberangkatan (seandainya tepat waktu), CommuterLine yang berangkat setiap 30-40 menit sekali menawarkan fleksibilitas waktu. Dilihat dari harga tiket Rp8.500 (dan ojek Rp10.000) menurut saya masih setara dengan 2 liter bensin yang  saya gunakan untuk perjalanan one-way 17 kilometer dengan tingkat kemacetan ‘wajar’. Dilihat dari jarak rumah-stasiun dan kantor-stasiun, saya pikir tidak terlalu jauh (sekitar 1-2 kilometer) sehingga bisa ditempuh dengan bajaj, ojek, atau bahkan berjalan kaki. Dari sisi berjubelnya penumpang, kebetulan jalur CL ke arah rumah saya masih bisa dibilang nggak terlalu memprihatinkan seperti jalur lainnya ke arah Serpong, Bogor, dan Depok. Tahan-tahan sebentar deh, tokh dalam 30 menit saya sudah turun di stasiun dekat rumah.
Jadi, mulai hari ini… dengan hati yang bulat, saya niatkan untuk istiqomah memerangi kemacetan Jakarta dengan… naik CommuterLine. Semoga nggak terlalu banyak pekerjaan akhir tahun yang membuat saya harus lembur. Semoga musim hujan tidak menyebabkan banjir atau membuat rusaknya sentra CommuterLine. Semoga CommuterLine bisa tepat waktu. Semoga. Demi kualitas hidup yang lebih baik. Bismillah.

No comments:

Post a Comment