Setiap pagi aku angkat badanku, setengah memaksa melesakkan sebagian diriku hingga melebur ke dalamnya. Satu tanganku menggapai-gapai, menyentuh apa pun yang terasa dingin dan tak kenyal. Tangan yang lain menggenggam secarik kertas bukti dan perlindungan agar aku tak terbuang, terpental oleh rasa malu, jika terjadi sesuatu.
Aku tahu hanya perlu beberapa menit untuk akhirnya lega dan lepas, puas. Aku tahu aku hanya perlu membebaskan diriku dari belenggu rasa dan menerima diriku apa adanya. Menerima dirinya yang di sebelahku. Atau dirinya yang kadang di depan atau di belakangku. Aku hanya perlu membiarkan wajah mereka berlalu tanpa nama, merelakan temu tanpa sapa atau sentuhan tanpa makna. Tokh hanya beberapa menit saja.
Bagiku, mereka adalah potongan manusia: punggung yang kokoh sebagai sandarku, bahu yang tak sengaja menahan wajahku, tangan yang meraihku ketika tubuh tak sanggup menahan laju. Siapa, jadi tidak penting lagi. Aku adalah mereka. Mereka adalah aku. Kami sama. Tak ada yang lebih berdosa di tengah hentakan dan guncangan tubuh-tubuh kami.
Maka kubiarkan hembusan nafas mereka mengusik tengkukku, membelai tutup kepalaku, kadang pipiku. Selama beberapa menit kami berdiam bersama. Menahannya bersama. Lalu bergerak bersama. Cepat, lambat, bergantian. Aku larut dalam cairan waktu di kepalaku, yang tak punya tempat bagi kenangan saat tubuh kami berhimpit. Menit-menit –yang menyiksa, tapi lebih pasti dari janji-janji lainnya– itu hanya akan sekelebat hadir di pagiku.
Menit-menit berjalan. Gerakan cepat telah berlalu. Sisanya adalah kesendatan sebelum akhirnya kami berhenti. Menghembuskan nafas terakhir kebersamaan. Tubuh kami lepas. Jiwa kami akhirnya bebas.
Masing-masing dari kami terserang bahagia sesaat, dan itu bukan semu atau palsu. Rasa syukur itu nyata adanya. Kami bangkit dan melangkah terburu seolah ingin melupakan segalanya sebagai pagi lalu. Tak ada cemburu, tak ada perasaan tertinggalkan. Kami tak menoleh lagi. Otak kami telah diwanti untuk berebut matahari.
Suara bel yang khas bergema di genderang telingaku. Menandai satu kepergian lagi. Aku tarik tangan yang masih menggenggam ke arah dadaku. Kubuka dan carik itu masih ada. Meski sekarang tak ada artinya. Tak ada ruang untuk menggerakkannya mencari sang penanda. Carik itu ada hanya untuk jadi pengingat pada dunia bahwa aku belum jadi peminta.
Carik itu bukti adanya aku, adanya mereka. Bukti terciptanya beberapa menit bersama di pagi hari antara Bekasi – Jakarta Kota. Commuter Line. Rp.6.500.
No comments:
Post a Comment