Sahabatku, Bintang, sedang mengandung. Wajahnya memancarkan kerlip bersahaja, seakan rendah hati menyembunyikan kebahagiaan atas kehidupan yang tengah dihantarnya. Tak urung cahaya itu menyilaukan aku. Sinarnya membuat perutku terasa teriris, tercacah menjadi potongan liar tak berbentuk. Aku lantak dalam kepingan harap tak berwujud. Wajahku tak kunjung berkelip lagi. Kehidupan baru sepertinya enggan menghampiri. Aku dan hidup baru tak lagi bertukar sapa.
Ketika tubuhku tak menjawab, desakan dalam hatiku naik ke kepala layaknya migrain bermata banyak. Desakannya tajam merajam, memojokkanku hampir setiap waktu. Ada sesuatu yang menunggu untuk kukandung, untuk kulahirkan. Ada Atishaku di suatu tempat, menjerit untuk aku peluk dan timang.
Hari ini hari terakhir menstruasi batinku. Aku mandi besar untuk membersihkan sudut-sudut yang dipenuhi prasangka dan dengki. Dalam beberapa hari akan tiba masa suburku. Telurku akan siap dibuahi. Tapi kali itu hanya gelombang alfa yang boleh menyala. Aku bukan lagi tubuhku. Aku adalah selembar kertas putih dengan nafsu tak terperi. Aku berharap deburan kata-kata dan ombak titik-koma akan memagutku dalam geloranya.
Lalu akan aku menunggu selama 4 minggu sebelum alat itu memberiku dua garis, ditemani Bintang yang duduk kepanasan sambil mengelus perut buncitnya. Aku harus sabar, aku telah menunggunya bertahun-tahun dalam suatu kondisi kekerdilan yang memenjarakan. Yang akan kukandung, jika aku berhasil kali ini, adalah suaraku. Kebebasanku. Siapa aku.
Jika sampai waktu dua garis itu benar adanya, akan kupeluk Bintang dan bayi dalam perutnya. Kami akan berteriak kegirangan dan menandak kegilaan. Akhirnya kami hamil anak ke-2 bersama. Kali ini Bintang mengandung mahakaryaNya. Sebongkah daging yang telah menerima tiupan lembut kehidupan diiringi senandung dawai pujian. Aku sendiri akan mengandung keajaiban yang bisa aku bongkar pasang laiknya sebuah teka-teki gambar. Aku akan mengandungnya dalam tengkorak kepalaku. Tersembunyi dan meringkuk, memeluk otak kiri dan kananku. Aku akan menjaganya baik-baik. Aku akan memberinya nutrisi imajinasi yang merdeka sehingga tiap bagiannya terhindar dari kurang gizi. Aku akan menjaga rimba amniotiknya dengan seksama, tak berkompromi lagi dengan racun pikiran atau rasa. Dalam sembilan bulan, aku akan berlatih dan bersiap untuk kontraksi. Segenap nafas dan energiku nanti adalah untuk mendorongnya menggelincir lalu menangis kuat-kuat.
Harus aku lahirkan apa yang akan kukandung nanti. Jika pertemuan kertas dengan kata dan titik-koma tak berbuah janin prosa, wahai Bintang, sahabatku… berjanjilah untuk menolongku. Aku telah jadi pasien abadimu. Maka ingatkan aku untuk mencoba berhemaprodit lagi. Dan lagi. Dan lagi. Bantu aku untuk membujuk Tuhan agar menyelamatkan perkawinanku dengan kata-kata dan titik-koma. Bantu aku untuk bersabar. Sampai kulahirkan sumbatan di kepalaku dengan bentuk yang sehat, cantik, dan cukup bobotnya. Sampai bisa kujulurkan tanganku untuk memindahkan karya agung itu ke dekapan mereka. Sampai bisa kuterima diriku kembali apa adanya.
4 minggu berlalu. Dan aku masih aku yang lalu. Aku biarkan hatiku ikut memeluk Keeya: buah hati Bintang bersama doa-doanya.
No comments:
Post a Comment