Wednesday, January 16, 2013

Lethal Affection

Beberapa kisah dan cerita membuka mata saya tentang sisi lain dari kasih ibu yang tak lekang di sepanjang hayat. Buku-buku menarik yang menceritakan hubungan ibu dan anak (terutama anak perempuannya) telah mendorong saya berpikir lebih keras, lebih jauh, dan lebih jujur mengenai hubungan saya dengan Miss K, buah hati saya yang tengah beranjak besar. Semua ibu pasti mencintai dan menyayangi anak-anaknya, rela berkorban dan selalu menginginkan yang terbaik bagi mereka.  Saya tidak pernah mengira bahwa cinta dan kasih sayang bisa menjadi posesif, mengurung, dan mengerdilkan. Ketika kesalahan itu berlebihan maka cinta bisa mematikan, dalam arti sebenarnya maupun dalam arti kiasan.
The Piano Teacher karya Elfriede Jelinek – Di balik kisah cinta terlarangnya, Erika -sang guru piano- menyimpan duka dan lukanya akibat perlakuan ibunya yang  mendominasi, kejam, dan “tidak masuk akal”. Novel ini dipenuhi oleh bayangan kekejian dan tindakan kejam yang diam-diam telah menyusup dalam batin Erika sebagai hasil dari penganiayaan batin yang dilakukan ibunya. Saya mempertanyakan mengapa cinta seorang ibu bisa jadi demikian mengikat, mengatur, dan melukai. Semua dilakukan atas nama melindungi, mengasihi dan mengupayakan ‘kebaikan untuk Erika’.
Akhir yang tragis untuk Erika karena sebagai korban dan pelaku dia menjebak dirinya dan mengizinkan lahirnya penganiaya baru. Buat saya novel ini termasuk kategori ‘horor’ sehingga sulit meyakinkan diri sendiri untuk membaca buku ini yang kedua kalinya. Terus terang saya sudah lupa dengan detail novel ini. Hanya kesan mengerikan yang digambarkan dengan sangat baik oleh penulisnya lah yang tetap tinggal dalam kenangan.
Bumi Manusia karya Pramoedia Ananta Toer – Cinta seorang perempuan agung dan cerdas melebihi zamannya belum tentu mampu mengantarkan sang anak menuju kemandirian dan kebahagiaannya sendiri. Saya trenyuh dengan Annelies, dia memperoleh seluruh limpahan kasih sayang Nyai Ontosoroh. Tidak diragukan lagi cinta, dedikasi, ketulusan dan perjuangan sang Nyai untuk membela kepentingan anak gadisnya itu. Tapi sekali lagi, dominasi dan penguasaan sang Mama telah melemahkan jiwa Annelis dan menggagalkannya menemukan jati diri serta kekuatannya sendiri.
Nyai Ontosoroh berpandangan jauh tentang bangsanya dan menolak untuk pasrah pada penguasaan penjajah. Sesungguhnya batin Nyai juga dipenuhi dendam terhadap orangtuanya yang telah menjualnya kepada seorang Belanda ketika ia berumur 14 tahun. Nyai tidak bisa memaafkan ibunya karena ‘berdiam diri dan tak berdaya’ sebagai perempuan Jawa atas keputusan ayahnya untuk menjual Nyai.
Keinginan Nyai untuk tidak pernah berdiam diri dan upayanya melepaskan diri dari ketidakberdayaan perempuan terbaca oleh Annelies sebagai standar yang tak akan pernah bisa ia capai. Mamanya terlalu agung, terlalu tinggi menjulang kualitasnya untuk ditiru dan dicintai apa adanya. Ia hanya mampu menuruti sang Mama, sebagai bukti cinta dan kasih sayang sang anak yang terpendam. Perjuangan cinta Nyai untuk ‘anak bangsanya’, untuk hal yang lebih besar dari dirinya sendiri, tanpa sadar telah membuatnya lupa untuk mencintai Annelies sebagai seorang anak.
Secara tidak langsung, Nyai pun telah menjual Annelies kepada 'bangsa'nya, dengan harapan bahwa dengan menikahi seorang calon pemimpin bangsa ini maka Annelies akan otomatis menjadi bagian dari perjuangan itu,menjadi bagian dari kebangkitan yang Nyai impikan. Sayangnya Annelies meninggal; penyakit fisik Annelies hanya memperkuat kesakitan yang ada dalam batinnya yang tidak mampu menerima hentakan dan gonjang-ganjing kehidupan. Benteng sang Nyai tidak mampu melindungi Annelies dari kerapuhannya sendiri.
The Battle Hymn of The Tiger Mother karya Amy Chua – Cinta dalam perjuangan mempertahankan standar hidup serta mengejar standar kualitas, etos, dan mimpi besar keluarga Amerika keturunan Cina. Dibanding dua novel di atas, buku yang ditulis Amy Chua di tengah krisis dirinya sebagai seorang ibu dari 2 anak perempuan ini memberikan banyak pandangan nyata mengenai pengasuhan anak. Dari sudut pandang dan budaya Cina (dan Asia umumnya), pola pengasuhan yang baik berarti orang tua mati-matian melaksanakan kewajibannya dan anak-anak mati-matian melaksanakan kewajibannya pula.
Prestasi akademik tak bercacat dan deretan medali ekstra kurikuler yang tak berujung dinilai sebagai hasil dari sikap hormat dan patuh pada orang tua serta disiplin diri yang luar biasa. Sebagian besar uraian Amy Chua mengenai alasan mengapa  dia melakukan hal-hal yang “luar biasa kejam” terhadap anak-anaknya sepenuhnya saya pahami dan setujui. Siapa yang tidak ingin anaknya siap hidup di masa depan yang kian tak menentu? Siapa yang mau anaknya menjadi pecundang, tidak percaya diri, tidak mandiri, dan menjadi beban masyarakat?
Tapi pilihan tindakan yang dia lakukan sungguh-sungguh di luar kemampuan saya untuk mengerti dan memahaminya. Kok seorang ibu bisa begitu ya? Tidak adakah cara lain? Mungkin saya perencana yang idealis, termasuk dalam 'merencanakan' masa depan anak saya. Tapi untuk benar-benar 'membayar' rencana dan impian saya itu dengan hilangnya kenyamanan dan kebahagiaan kami? Saya pasti menyerah. Saya memilih jalan lain yang lebih mudah, lebih tidak menantang (Papa Panda pun mungkin tak setuju betapa mudahnya saya mengibarkan bendera putih).
Saya sering disebut sebagai ‘macan malas’ oleh Miss K karena meskipun mata, telinga dan otak saya tampak sedang berproses mengenai sesuatu :p (kalau saya macan beneran, pasti saat itu saya sedang mikirin besok makan hewan buruan apa lagi yaaaa, yang sehat dan lezat buat anak-anak macan), saya tetap macan yang senang leyeh-leyeh, santai-santai di depan TV, dan took this life for granted. Sebagai macan malas, saya benar-benar terkesima dengan apa yang Amy Chua lakukan terhadap Sophia dan Lulu. Determinasi tinggi dan disiplin yang kuat itu saya rasakan laksana awan yang menghalangi cinta matahari untuk menerangi dan menghangatkan saya.
Tak urung akhirnya saya (juga Amy Chua) jadi bertanya-tanya: bahagiakah Sophia dan Lulu? Bahagiakah Miss K? Setelah apa yang kami lakukan terhadap mereka atas nama cinta, kasih sayang, perlindungan terbaik, dan cita-cita mulia menjadi warga produktif dan bahagia? Amy Chua telah menjawab di bagian akhir bukunya: Ya, mereka bilang mereka bahagia. Dia juga bilang bahwa pola pengasuhan yang ia yakini adalah about believing in your child more than anyone else – more than they believe in themselves – and helping them realize their potential, whatever it may be.
Saya? Belum ada jawaban pasti. Saya masih mencari dan mencari di tengah rentetan topik yang jadi PR saya: kegilaan pagi hari untuk berangkat sekolah dan ngantor, ulangan dan ujian sekolah, 'seabrek' ekskul (sesungguhnya Miss K hanya ikut menyanyi, berenang, bahasa Inggris, dan Kumon; yang mungkin masih di persneling 1 dibanding anak-anak Indonesia lainnya yang lebih beruntung... atau malah 'tidak beruntung' ya?), pendidikan agama dan akhlak, kemandirian, pergaulan anak dan remaja masa kini (6 deadly challenge for kids and teenagers today: smoking, alcohol and drugs as well as bullying, pornography and sex), dll... dll... Ya Allah, bless us and give me the STRENGTH so I can pass it on to her to live her own life.
Mengasuh dan mendidik sekaligus mendampingi dan menginspirasi anak bukan hal yang mudah. Terutama bagi saya yang sangat kekiri-kirian (otaknya) dan sangat percaya pada motivasi internal. Ketika menyusui dan menggendong bayi mungkin merupakan hal yang naluriah bagi sebagian besar ibu, saya perlu memastikan dgn melihat serangkaian indikator untuk tahu bahwa saya melakukannya dengan benar (bayangkan saja, contohnya saya memarkir mobil bukan dengan perasaan tapi dengan perhitungan berupa bayangan sudut sekian derajat, kecepatan sekian, jarak sekian meter dan putaran stir sekian kali… di dalam kepala saya). Ketika anak saya tidak mau makan, saya kebingungan karena seingat saya, sejak saya TK saya jarang sulit makan karena sudah paham bahwa makanan yang baik diperlukan bagi tubuh untuk tumbuh dan berkembang (sejak kecil saya serius dan sedikit membosankan...:p). Ibu dan bapak saya tidak sempat panjang lebar menasehati ini-itu karena sebagian besar hal-hal mendasar sudah sejak kecil saya lakukan sendiri.
Tapi Miss K bukan saya. Saya yang sekarang pun bukan saya yang dulu. Saya bersyukur saya memiliki kesempatan untuk terlahir kembali (dengan harapan sebagai 'saya' versi yang lebih baik) ketika Miss K hadir ke dunia ini hampir 9 tahun yang lalu. Sosok mungilnya telah mengubah hidup saya sejak saat itu. Banyak hal yang telah kami lakukan bersama, atau tidak bersama (karena saya tidak selalu ada untuknya). Semoga cinta dan kasih sayang saya mampu menggapai hatinya yang terdalam, dan membopongnya untuk berani hidup dengan keyakinannya, dengan bahagia. Jangan sampai ketulusan saya sebagai orang tua menjadi berlebihan, mematikan dan mengecilkan semangatnya untuk menghadapi dan menghiasi dunia.
Saya berdoa agar cinta saya kepadanya tidak menghancurkan diri saya juga. Di atas segala-galanya saya lah yang sebenarnya membutuhkan cinta, pengakuan, kesabaran, dan pengertiannya. Ketika suatu saat nanti saya berhenti ‘tumbuh dewasa’, saya ingin dia memaafkan, memaklumi dan menerima saya apa adanya.

No comments:

Post a Comment