Saya ngga berani bicara ttg
kematian dari sisi kesiapan secara rohani dan spiritual. Jauh banget dari
kapasitas saya. Saya mau ngobrolin sisi logistiknya aja berdasarkan pemahaman saya
yang sangat terbatas gimana kalo kita mesti menghadapi cobaan dan kehilangan anggota keluarga.
Terkait orang-orang
terdekat di keluarga inti, sebelumnya saya tidak pernah berpikir: gimana kalo meninggalnya mendadak? Tapi gimana
juga kalo sakitnya berkepanjangan? Apakah saya mampu, kuat hati dan memiliki
ilmu yang cukup untuk mendampingi mereka di saat yang paling penting di akhir
hidupnya? Apa yang seharusnya saya
katakan kepada orang yang sedang kesakitan dan merasa tidak nyaman? Apakah
kata-kata “Sabar ya, Allah SWT menyayangimu” itu cukup? Doa apa yang tepat
untuk menenangkan batin yang sedang ketakutan? Bagaimana jika saya yang panik?
Bagaimana jika niat saya ditolak ybs? Bagaimana jika saya sedang
bersenang-senang di suatu tempat –ngga ada feeling
apa-apa-- ketika hal mendadak itu terjadi? Saya sungguh nggak tau. And we are extremely terrified by things we don’t know.
Saya tidak pernah
membayangkan bagaimana menjadi seorang caregiver
jika ada anggota keluarga yang sakit berat dan membutuhkan perawatan intensif
jangka panjang, atau perawatan paliatif. Apakah saya akan punya cukup energi
dan kesabaran untuk melakukannya dengan baik
meskipun1000% berniat dengan tulus dan ikhlas. Apakah saya bisa untuk berpikir dan
berperilaku positif serta tetap bersemangat and
not getting sick myself? Gimana caranya saya bisa memfasilitasi keinginan
sang pasien sehingga meningkatkan kualitas hidupnya secara lahir batin? Saya
yakin banget hal itu ngga gampang. Baru baca tentang orang yang merawat anjingnya yang mengidap penyakit dementia (Canine Dysfunctional Disorder) kaya gini aja udah mewek. Itu baru anjing lho,
dan anjingnya saya juga nggak kenal. Such
a tough girl.
Kalau hal ini terjadi
pada keluarga inti, sejauh apa saya bisa menyokong secara keuangan? Sudah memadai
kah asuransi kesehatan yang dimiliki? Saya teringat teman sekolah saya di Amrik yang orang tuanya berusia di atas 70 tahun tapi sehat, energik, dan produktif. Dia bilang, "Our healthcare system do them so much favor". Alhamdulillah, setidaknya kita sudah punya BPJS. Seluruh biaya operasi ayah
saya dan proses endoskopi+kolonoskopi ibu mertua ditanggung oleh BPJS.
Sedangkan biaya kesehatan saya ditanggung oleh asuransi kantor.
Tapi tidak bisa
dipungkiri, kemarin saya tetep deg-degan. Saya belum mempersiapkan dana darurat untuk kebutuhan seperti ini. There’s no logic without logistics.
Pasti kita perlu biaya untuk transportasi, biaya kontrol dokter dan obat yang
tidak ditanggung, biaya untuk makanan tambahan/supplement, serta yang tidak kalah penting adalah biaya “psikologis”.
Terkadang dalam keadaan sedih, bingung, murung, dan lelah, kita cenderung
membuat keputusan secara impulsif. Makan ngga dipikirin dan dipilih-pilih, mau
murah atau mahal, makanan sehat atau junk food, yang penting makan. Ada barang
ketinggalan di rumah, daripada puyeng harus balik atau menunda penggunaan
mendingan beli baru. Dalam kondisi merasa “kepepet” dan “emergency” seperti itu,
kita jadi lebih permisif untuk melakukan hal-hal yang kita anggap akan
melegakan dan membuat kita merasa lebih baik.
Saya juga masih kurang
ilmu tentang prosesi jenazah dan pemakaman, tentang yang diwajibkan +
disunnahkan dan yang diharamkan.
Sumpah... kursus mengenai topik ini ada di paling bawah “Self development course this year”. Kepikirannya tentang kursus luar negeri
melulu, sedangkan materi yang penting seperti pengurusan jenazah ngga jadi
prioritas sampai mungkin kelak akan jadi “mendesak”. Hiks.
Trus, pemakaman baiknya
di mana ya? Sewanya itu untuk selamanya atau sewa pakai sampai berapa waktu? Pernah baca artikel
“Jangan Mati di Jakarta” belom? Yah,
begitu lah, ngga kepikiran deh. Oia, sampe sekarang nih, mau jadi anggota Yayasan Bunga
Kamboja aja nggak jadi-jadi. Padahal agennya duduk di sebelah kubikel saya di
kantor. Padahal preminya amat sangat terjangkau. Parahh kan? Karena sebagian
dari diri saya masih menolak kenyataan yang rasanya terlalu jauh dan pahit
untuk diakui.
Lebih lanjut lagi, saya
nggak tahu gimana cara pengelolaan hutang dan harta warisan; apa bedanya pelaksanaan
hukum negara dengan hukum Islam. Sebaiknya gimana menyelesaikan harta dalam
bentuk hibah, wasiat, dan warisan? Gimana caranya supaya harta tsb ngga memancing pertikaian dalam keluarga karena rebutan atau hanya karena beda pendapat ttg cara pengurusannya.
Ngurusin surat-surat dan dokumen
administrasi harta warisannya ke mana ya? Salah satu sahabat yang baru ditinggal ibunda
tercinta, kecipratan rezeki untuk mengurus dokumen harta warisan kedua
orangtuanya yang telah meninggal. Urusannya ternyata ngga gampang. Cerita sahabat saya itu
yang panjang kali lebar ttg pertemuan dengan Ketua RT, RW, Pak Lurah, dll --dibumbui
komentar ttg betapa absurd-nya proses birokrasi di negeri ini-- membuat kami
tergelak-gelak dalam kepedihan. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan segala
urusannya. Amiin YRA.
Nah ini nih, saya belum yakin
banget mengenai acara pengajian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari yang menurut
sebagian orang lumrah (baca: nyaris wajib) dilaksanakan karena sudah tradisi
dan sebagai bentuk penghormatan kepada yang meninggal dunia. Sebagian orang
meyakini bahwa hal tsb termasuk bid’ah dan mengada-ada karena sesungguhnya yang
masih berpengaruh terhadap orang yang meninggal hanyalah amal ibadahnya, ilmu,
dan doa anak yang sholeh/sholehah. Jadi sakleknya: nggak perlu acara tahlilan. Kalo ada dissenting opinion, gimana menyelesaikannya? Jangan sampe setelah ditinggal meninggal, keluarga malah berantem.
Lalu apa yang harus
dilakukan dengan benda peninggalan yang lebih bersifat historis, romantis, dan
sentimental dibanding nilai ekonomisnya? Disimpan, disumbangkan, atau dibagikan
ke beberapa anggota keluarga, atau gimana? Bingung, kan.
Saya baca-baca, di
Amerika dan beberapa negara lain sudah ada penyedia jasa yang mengkhususkan
diri dalam memberikan dukungan moral dan teknis bagi para calon ibu, para
penderita sakit berat dan/atau keluarganya dalam mempersiapkan tahapan penting dalam hidup mereka right at the begining and the end. Istilahnya “birth and death
doula”. Kalo dilihat deretan jasa
yang mereka tawarkan melalui situs internetnya, sebagian besar hal-hal yang
kita pertanyakan di atas dapat mereka selesaikan.
Bukannya dalam
masyarakat kita layanan tersebut ngga ada, tapi mungkin belum terintegrasi dari
satu penyedia dan yang jelas belum dijadikan komoditas komersial yang
ditawarkan dengan harga tertentu (some
packages can be as high as tens of thousand dollar). Lebih jauh lagi di
masyarakat kita, institusi keluarga masih memiliki nilai yang sangat tinggi dan
dianggap dapat menyediakan dukungan penuh kepada anggotanya yang dalam
kesusahan. Adapun bantuan dari institusi kesehatan atau agama atau lainnya
merupakan bagian dari partisipasi anggota keluarga secara tidak langsung. Saat
ini, keluarga bisa ‘dikutuk’ abis dan dianggap menelantarkan kalo sampe
menyerahkan nasib anggotanya ke lembaga jasa komersial. Nggak tau juga ya 10-20
tahun ke depan.
So, barang kali udah waktunya
buat saya agar --seiring waktu dan semakin ‘dewasa’nya saya-- mulai memikirkan
dan mempersiapkan diri. Tentunya bukan untuk menyuburkan sikap paranoid dan
pesimisme, tapi untuk memaknai dan merayakan kehidupan itu sendiri. Mau ngapain
lagi sih, selain menikmati hidup dengan benar dan bijaksana. #jiah.
Remember, the real life begins at 40! Let’s embrace it happily.
No comments:
Post a Comment