Saya tidak pernah
terlalu memikirkan tentang kematian sampai setahun terakhir. Beberapa kejadian
pada saya dan orang-orang yang saya sayangi menuntun saya untuk mulai mengenal
kematian sebagai keniscayaan yang layak untuk dipikirkan dan dibicarakan.
Mulai dari ibu saya
sakit karena kondisi gusi buruk, gizi kurang memadai (bayangkan anaknya
‘sukses’ begini, kok orang tuanya bisa nggak makan?), dan diperparah dengan
penyakit diabetes serta darah tinggi yang tidak dikelola dengan baik.
Lalu saya sendiri sempat
dig-dig-dug-deg-dor karena dokter pertama memberikan vonis yang menyeramkan
atas kondisi tiroid saya. Alhamdulillah, menurut dokter yang memang ahlinya,
kondisi tsb tidak membahayakan selama saya memperhatikan pengobatan dan menjaga
kesehatan lahir batin agar hormon bisa seimbang. Setiap bertemu teman atau
keluarga, pasti saya menerima komentar “Kok sekarang kurus sekali dan kuyu?
Sakit apa? Jangan kurus-kurus ah, ngga bagus keliatannya. Makan yang banyak,
biar seger”. Hehehe... alhamdulillah masih ada yang merhatiin.
Tidak lama, ayah saya
harus operasi hernia. Meskipun hitungannya bukan operasi besar, faktor usia
yang sudah lanjut menyumbang risiko tersendiri. Selama 4 siang-malam saya
menemani ayah agar beliau tenang karena tau saya yang mengurusnya di rumah
sakit.
Baru minggu lalu ibu
mertua saya menjalani biopsi di leher, setelah sebelumnya kami berobat ke ahli
gastro karena masalah pencernaannya dan shock atas diagnosis awal yang
menakutkan berdasarkan hasil CT Scan. Alhamdulillah, hasil biopsi menyatakan
beliau tidak terkena kanker.
Ayah dari beberapa
sahabat saya juga terserang penyakit berat dan membuat sahabat saya mulai
berpikir hal terburuk yang dapat terjadi ketika kita atau orang yang kita
sayangi berada dalam kondisi kesehatan gawat.
Tahun lalu saya juga
kebetulan menjalani umur yang kata orang waktunya memulai kehidupan. Isn’t it ironic? Kalau dipikir lagi,
enggak juga. Ketika katanya saya seharusnya memulai hidup, ternyata yang dimaksud adalah seharusnya
kesadaran saya akan kehidupan mulai muncul (andai sebelumnya belum :p). Tapi
apakah kehidupan itu sesuatu yang terlepas dari kematian? Justru titik tolaknya
di situ. Hidup dan mati adalah dua sisi dari satu mata uang, tidak bisa
dipisahkan begitu saja. So when life
begins at 40, it is actually an alarm of how I perceived the chance of how it
ends someday.
Tapi orang-orang lebih
suka bicara tentang kehidupan daripada kematian. Dalam budaya kita, katanya
“pamali” atau nggak baik ngomong tentang kematian. Kita juga takut setengah
mati untuk memikirkan kematian kita sendiri. Merasa tidak siap, banyak dosa,
belom berbakti, takut neraka, dll. Jadi kita lebih suka menghindar dari topik
tersebut, seolah hal tsb adalah hal yang sangat jauh dan penuh misteri (mungkin
lebih nyaman ngegossip tentang hal yang “jauh” lainnya seperti beda harga LV di
Hongkong dibanding Milan, atau nebakin Syaiful Jamil akhirnya merit sama
siapa). Akhirnya pembicaraan tentang kematian terbatas pada majelis ilmu di
mesjid, kajian muslimah, atau ceramah agama karena di situ ada orang yang kita
anggap berilmu (sang ustadz atau ustadzah) sehingga berhak memulai pembicaraan
sulit tsb.
Dalam Al Qur’an
dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Itu saja patokan
saya untuk memberanikan diri membicarakan hal ini, setidaknya di sini, dengan
diri saya sendiri.
Seperti yang saya bilang
tadi, topiknya susah karena ngga ada pelaku sejarah dan saksi hidup yang bisa berbagi pengalaman gimana sebenernya
kondisi di “alam sana”. Meskipun ada yang pernah mengalami keajaiban tidak jadi
meninggal dunia dan bisa menceritakan hal-hal luar biasa, tapi nyatanya ya
belom bisa dibilang meninggal beneran.
Apalagi nyariin ahlinya,
itu lebih susah. Manusia belom adil nih. Kan katanya lahir, rejeki, jodoh, dan
mati adalah ketetapan Allah SWT. Nyariin organizer untuk menyambut kelahiran bayi
udah banyak, mulai dari paket pemeriksaan, senam hamil, neonatal home care, dokumentasi, sampe pengelolaan tali pusar.
Bisnis mak comblang juga terus marak karena manusia selalu ingin bisa ketemu
jodohnya. Apalagi wedding organizer...mau
mahal atau murah semua tersedia, mempelai tinggal duduk manis. Yang seret
rezekinya masih bisa cari kerjaan baru, nyari konsultan bisnis, dukun, atau hynotherapist supaya pikiran bisa fresh, kinerja naik, rezeki berpihak ke kita.
Nah, untuk yang kematian
ini sepengetahuan saya yang tersedia adalah unit perawatan paliatif dan yayasan
pengurusan jenazah. Kedua jenis layanan
itu juga kalo bisa ngga perlu kita bicarain deh. Ngeri. Kita menghindar sebisa
mungkin.
No comments:
Post a Comment