“Cinta: sebuah kegilaan sesaat yang dapat
disembuhkan oleh pernikahan”
– Ambrose Bierce
I woke up in the middle of
the night due to nature calling. I sighed and rolled down the bed and dragged myself
to the toilet. Before reached the door’s handle, I took a brief look at someone
sleeping on my bed. There he was. My dearly husband for 12 years, my dearly
best friend of more than 15 years. Snoring audibly and perfectly occupying
almost two thirds of the bed with his big “love pillow”.
I climbed back to bed
afterward and couldn’t get asleep right away. What would I do without him? Would
I be able to breath? To love someone is like opening up our hearts to wounds
and injuries, to sense fear of losing and to feel insecure about ourselves. So
what is it about love then?
Meskipun dia dipenuhi
dengan keanehannya sendiri (seperti saya juga dengan keanehan saya), dia lah
yang selalu ada di semua peristiwa penting dan mendesak dalam hidup saya dengan
segenap perasaan yang saya duga sebagai cinta. Dimulai ketika dia muncul pas saya
berumur 25 tahun. Keluarga saya hobi nanya “Belum punya pacar? Mau
dijodohin aja?” (niat baik keluarga besar saya itu disambung dengan pertemuan
dengan beberapa kandidat yang membuat saya kurang nyaman, serasa dikejar debt collector hihihi).
Setelah berhasil
menjadikan saya pacarnya karena saya rada “playing
hard to get”, beberapa minggu kemudian dia dipusingkan oleh ide rese saya
tentang “kapan merit” (katanya jual mahal....hahahha). Jadinya ngga sempet ada adegan
down on his knee and asked me “Will you marry me?” karena udah keduluan dengan
rengekan saya yang ngga bermutu dan ngga ngasih solusi sama sekali. Sampai
akhirnya kami menikah 2,5 tahun kemudian (see....
there was no short cut in love, buddy,
even when you were whining all the time).
Kemudian dia juga menemani
saya 2,5 tahun selanjutnya menjalani prosedur yang berkaitan dengan peranakan
(kepingin hamil, udah hamil tapi ada kasus, melahirkan, kuret) di kamar
operasi. Untung dia ngga semaput, mengingat betapa ksatrianya suami saya itu
menghadapi kecoak (selama ini saya selalu maju dengan ikat kepala Jepang di
jidat dan sapu sebagai pedang untuk menghabisi para kecoak durjana itu... watchaaaa....!)
dan karet gelang kuning (karet gelang aja dilarang masuk rumah saya, apalagi
karet sapintrong...sungguh perbuatan yang tidak melestarikan budaya lokal.
Shame on him).
Dia kemudian turut
berperan serta aktif dalam pengasuhan anak sejak bayi, kecuali waktu Miss K
masih bayi banget dia ngga mau gendong, takut bikin celaka bayi, gitu katanya.
Itu berlangsung sampai Miss K berumur 4 bulan, sodara-sodara! Kalo dimintain tolong
ambilin barang bayi berupa popok, celana, kaos, dll dia menjelma jadi tamu
dengan pertanyaan klasiknya yang masih terus berjalan sampe anaknya gede
“Dimana disimpennya?”. Saya sampe heran, memangnya kita punya berapa banyak
lemari perlengkapan bayi sih?
Btw, ini edisi ultah perkawinan
ke-12 ya, jadi tulisan ini harusnya lebih banyak puja-puji :p.
Ketika saya
ngotot pengen cari beasiswa dan sekolah ke Amerika (it’s my childhood dream!),
dia mengamini tanpa banyak memberatkan saya dengan pertimbangan suami pada
umumnya kepada istri dengan anak kecil berumur 2,5 tahun, seperti “Inget ama
anak, nggak usah neko-neko deh” atau “Perempuan mah apa sih yang dicari?” atau
“Coba dipikir lagi deh, apa ngga di Indonesia ajah?”. Dia berpendapat kalo
niatnya baik pasti semua bisa diatur, kan sekolah 2 taun cuman sebentar, jadi saya,
dia, Miss K pasti bisa menjalaninya.
Dengan restunya, di sore hari ultah Miss K
yang ketiga, saya berangkat menjalani tahun pertama MBA saya di Bloomington, IN
tanpa mereka. Nggak keukur deh berapa liter air mata yang tumplek dengan
berbagai alasan: sayanya emang lebay dan cengeng kangen rumah, merasa bersalah
ninggalin anak dan suami, sedih karena melewatkan banyak momen berharganya Miss
K, stress berat karena banyak projects numpuk atau ujian yang gagal, atau saya lagi
melow aja karena ngenes bisa jalan-jalan liat dunia luar yang indah tapi ngga
bisa berbagi memori itu dengan mereka berdua.
Ternyata Babeh bener, alhamdulillah
semua bisa dilalui dengan selamat. Jangan tanya ilmu MBA-nya yaa.. udah mental
semua, entah ke mana. Yang kepatri di ingetan cuman betapa besar dukungan Babeh
dan keluarga serta betapa asiknya jalan-jalan pas liburan hehehe.
Kado dari Babeh ngga
pernah ngga indah. Boneka beruang kutub putih gede hadiah jaman pacaran
(namanya Richard). Itu beruang cuman bisa dinikmati saya sendiri karena setiap
kali mau bergabung di kamar tidur kita sekarang, Babeh dan Miss K langsung ber-whuaaaatchuuuu
ria! Sadly, akhirnya the ole Richard
dikarantina di kamar atas. Trus jam tangan Guess mungil beli di Passer Baroe
waktu ulang tahun perkawinan ke 3 (btw, itu jam tangan pertama saya seumur
hidup dan masih saya pake ampe sekarang). HP Nokia sehabis melahirkan Miss K
(berhubung HP-nya dicolong di kamar perawatan pasca bersalin sih). Dan beberapa
kue ultah suprise yang sebenernya selalu ketauan ama saya. Terus hal-hal
lainnya yang nggak kepikiran ama saya tapi dia lakukan dengan penuh semangat untuk
kebaikannya sekaligus kebaikan bersama (berhenti ngerokok, diet dan latian lari
ketika badan kian tambun). Untuk ukuran dia mah, itu udah romantis bingiiit. I
lop yu pul, Babeeeeh....
Dari semua hal tentang
dirinya (kita ngga ngomongin kekurangan deh karena kekurangan saya aja banyak
banget hehe), bagian yang paling saya suka adalah dia tidak pernah
mengungkit-ungkit apapun kesalahan saya, meskipun kadang berulang kali saya
lakukan. Dosa besar atau dosa kecil. Hal itu mendorong saya untuk berperilaku sama.
Yang udah terjadi ya udah aja, yang penting kita udah ambil pelajaran dari hal
itu.
Oia, saya lupa rumusnya
apa dan darimana (kayanya penelitian yang diceritakan dalam bukunya Malcolm
Gladwell ttg pernikahan deh), tapi yang jelas manusia secara umum cuman tahan
menerima beberapa perlakuan “jelek” saja dalam satu waktu dan untuk
memperbaikinya butuh lebih banyak perlakuan “baik”. Kalo ngga salah rasionya: 1
jelek banding 4 baik deh. Perlakuan jelek itu bukan hanya yang bersifat fisik (memukul,
mendorong tubuh utk menjauh) dan verbal (perkataan yang melukai harga diri,
nada tinggi), tapi juga bahasa tubuh yang samar tapi menyakitkan (mencibir,
menyerngit, senyum menghina, merasa jijik). Yang terakhir ini yang paling parah
dan diam-diam bisa membuat pernikahan hancur.
Jadi kalo kita lagi
berdebat dan berantem beneran, palingan cuman tahan adu beberapa kalimat aja,
karena tau percakapan itu ngga bakal ke mana-mana. Muter-muter di situ dan ngga
selesai, bahkan bisa saling menyakiti. Kalo dah gitu biasanya saya bubar jalan
dan ..... tidur! Dia juga sama. Tidur is the best policy in such circumstances.
Biasanya kalo tidurnya bener, pas bangun kita udah ceria dan bisa melihat
hal-hal yang sebelumnya tertutup kabut hitam ... Syukur-syukur abis itu baikan.
Hehehe. Emang sih kesannya menghindari konflik, tapi daripada merembet ke
mana-mana, mending ditunda aja dan diomongin lain kali.
Ngomongin tentang soul mate dan pernikahan, saya setuju
dengan ulasan Mama Slesta dalam blog-nya yang kaya warna kehidupan perempuan
jaman sekarang dengan seribu pilihan dan tantangan. Kata Mama Slesta, setiap
hubungan pasti melalui siklus yang tidak terhindarkan. Baca deh. Kesimpulannya:
nggak peduli nikah ama siapa dan udah berapa lama, pasti setiap pasangan
ngalamin hal itu.
Pastinya bener sih. Ibuk
dan Bapak saya aja yang udah menikah lebih dari 40 tahun masih terus berusaha
beradaptasi karena masing-masing dari mereka juga mengalami perubahan seiring
usia dan lingkungan yang dinamis. Setiap saya pulang kampung, pasti ada aja
ceritanya bahwa “Bapakmu itu lho.....bla bla bla” atau “Tau sendiri kan Ibumu,
bli bli bli.....”. Tapi tetep aja sepasang nenek-kakek itu rukun jalan-jalan
belanja ke Pasar Baru Bandung naik angkot, bikin keluarga kebat-kebit karena
kan kesehatan beliau-beliau agak menurun akhir-akhir ini. Belum lagi kalo
diem-diem kompak melanggar diet masing-masing sampe akhirnya ketauan karena berasa
sakit di sana-sini. You only have your
kids, at your best, until before they go to college; after that... your spouse
is all you have. Makanya baek-baek dah ama misua :p
Mamak dan Akung (sepasang mertua
saya) juga ngga terkecuali dari permasalahan pasangan yang hidup bersama. Mamak mengeluh kalo Akung
susah dikasih tau, keukeuh, dan yang paling ngeselin ngga pernah kasih ide mau
makan apa, jawabannya selalu “Terserah”. Udah susah-susah dimasakin taunya ngga
dimakan. By the way, they have been married for 50 years so it means 50 years
of asking “What would you like for lunch
today?”. Perlu 50 tahun untuk tau bahwa kadang ada banyak hal yang ngga
bisa diubah. Kalo soal “susah dibilangin, keras kepala, dan keukeuh” kayanya
semua orang juga begitu deh (hampir 99% sodara dan temen cewek saya bilang kalo
suami mereka berwatak keras dan keukeuh, dalam berbagai tone dan konteks :p).
Jadi belah mana ada
cintanya sih? I guess the love flows very gently through our veins. Not too
strong to get us heart attacks. Not too weak to let us die dryly. The love
hormones which created “temporary insanity” was probably out of their way after
some years, but who needs constant juggling and having millions of butterflies
inside our belly nowadays anyway? The love we’re expecting now is more like a tonic to
help us develop and enhance a good decent healthy life, as well as to heal us
from life's wounds and injuries we couldn’t resist.
Nevertheless, just like
any other “living” thing in the world, love needs to be cherished and nurtured
along the way. It could be dead. Obsolete. Empty. Frozen. Yet I don’t know how
exactly we plan to keep the flame alive, it’s too much for both of us to talk
about. My best guess: we’ll live it day by day. Acknowledge each other as a
person, not just a spouse with loads of obligaton to keep the holy marriage
works. Be thankful for our togetherness and undestandings as well as our
disagreement and fights. Treat each day as a treasure. Grow up (and have
ourselves fix things a little bit to be compatible) together. Take care of each
other’s feeling... and our greyhair and wrinkles. Have some miles running
together... in different pace (that’s
the mantra!). Have only one TV, so we will be stuck on each other’s favorite TV
program. Get some seductive lingeries, maybe. Make another baby....
Wooow...wait! The list
could go wilder, you know.
So, this is it, I guess I have to stop right here,
right now with some wishes. If you have found the love of your life, stick with
it until it ripes again and again. If not, take a look around you as she/he
might be there all along, anxiously wait for you to open your heart. If you have
a love who doesn’t respect you and make you worse a person, maybe it’s time to
think about it again.
Love yourself, love others and have a wonderful life, my
beloved friends!
No comments:
Post a Comment