Pak Han Hee-Seok, seorang ayah di Korea Selatan, meyakini
bahwa jika terjerat dalam kemiskinan adalah takdir baginya, maka mungkin tak
akan ada yang bisa merubah hal itu selamanya. Tapi sebagai seorang ayah, Pak
Han tidak ingin mewariskan hal yang sama kepada ketiga anaknya. Di Korea
Selatan ada pepatah bahwa anak terlahir pasti membawa piring nasinya sendiri
(pepatah versi Indonesianya: setiap anak punya rejekinya masing-masing). Pak
Han tidak percaya itu. Anak harus belajar untuk memiliki piring nasinya
sendiri.
Kisah dimulai ketika Pak Han pusing bukan main, memutar
otak mencari cara mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Biaya tertinggi bagi keluarga
di Korea Selatan adalah biaya tempat tinggal dan biaya pendidikan. Bukan hanya
pendidikan formal di sekolah, tapi juga pendidikan tambahan di tempat kursus dan
kegiatan ekstra kurikuler di luar sekolah. Hampir semua keluarga di Korea Selatan berlomba
untuk memasukkan anak-anak mereka ke berbagai tempat kursus agar anak mereka
lebih unggul dari anak lainnya. Kondisi ini sesuai dengan hasil survey Costumer Purchasing Priority – Education
oleh MasterCard tahun 2013 yang menunjukkan bahwa 67% orang tua di Asia
Pasific menghabiskan rata-rata 14% dari biaya rumah tangganya untuk membayar
biaya kursus anak. Berdasarkan survey tersebut, 33% anak-anak Korea Selatan
mengikuti kursus pelajaran tambahan di luar sekolah dan 50% mengikuti kursus
bahasa asing. Di Thailand, Malaysia, dan Singapura rata-rata 45%-52% anak-anak
ikut kursus pelajaran tambahan. Sebagai perbandingan, di Indonesia hanya 17%
anak Indonesia yang ikut kursus pelajaran tambahan dan 16% yang ikut kursus
bahasa asing.
Pak Han yang bekerja serabutan sebagai tukang bangunan
dan istrinya yang berjualan asuransi tentu tidak mampu membiayai kursus
tambahan bagi Geoul, Jeoul, dan Dan Jong. Ketika mengetahui bahwa raport Geoul kebakaran dan menduduki
peringkat 27 dari 36 murid di kelas 1 SMP, Pak Han tersentak dan sadar bahwa
ada sesuatu yang harus berubah agar kutukan kemiskinan tidak menghantui
anak-anaknya. Jalan yang ia pilih adalah mendorong anak-anaknya untuk memiliki
keunggulan akademik di sekolah, tanpa mengikuti shadow education berupa kursus atau les tambahan di
luar sekolah.
Pak Han bukannya tanpa alasan. Mereka hidup di Korea
Selatan, salah satu negara di mana anak-anak harus bersaing keras memenuhistandar akademis untuk bisa sukses dalam kehidupan. Sebenarnya hal itu lumrah terjadi di negara-negara di
kawasan Asia. Dalam buku memoar yang berjudul “After Orchard”, Margareta Astaman juga menceritakan
bahwa anak-anak di Singapura sejak dini sudah dibebani target prestasi akademik
yang harus mereka capai di setiap jenjang pendidikan jika ingin memperoleh
karir yang cemerlang setelah lulus kuliah. Segregasi nasib di mulai sejak
berhasil atau tidaknya seorang anak masuk SD yang top. Kegagalan akademis di
jenjang terendah berarti gagal masuk sekolah favorit di jenjang berkutnya, dan
itu artinya terdapat penurunan probabilitas kesuksesan mereka di masa
depan. Tidak ada jalan lain. Geoul harus
masuk universitas favorit di Korea, jika tidak maka Geoul tidak akan jadi
apa-apa.
Hal itu yang terjadi pada Pak Han muda. Ia bukan
murid yang pandai dan tidak menyukai belajar di sekolah. Tanpa keunggulan
akademis, praktis ia tidak punya kesempatan karir. Sedangkan cita-citanya
menjadi penulis juga kandas. Hingga menikah dan beranak 3, belum pernah ada
satupun karyanya yang diterbitkan. Pilihan yang tersisa adalah sebagai pekerja
bangunan.
Dalam buku memoar ini, Pak Han berbagi cerita mengenai
hal-hal yang mereka lalui bersama sebagai suatu keluarga. Akhirnya Geoul, yang menjadi
kelinci percobaan, berhasil diterima di Universitas Korea yang sangat
prestisius di Korea Selatan. Dengan
keterbatasan kondisi ekonomi (miskin), kurangnya pemahaman materi akademis, dan
ketidakstabilan secara emosional (Pak Han sering terkena serangan panik), ia
berhasil menjadi orang tua yang mengembangkan potensi anak secara optimal.
Bagaimana Pak Han melakukannya? Seperti yang sempat
diulas oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya “David vs Goliath”, untuk bisa seperti David yang menang melawan Goliath, you have to be that desperate. Pak Han berada dalam posisi tidak punya
pilihan, sehingga harus maju terus. Ia mencari cara-cara yang tidak lazim agar
celah tipis itu bisa semakin terbuka dan mengantarkannya pada peluang yang
lebih baik.
Pak Han dan keluarganya juga memiliki stamina yang luar
biasa, karena Pak Han sadar kesuksesan tidak bisa dibangun dalam waktu singkat.
Tidak kurang dari 2.000 hari yang mereka lalui dengan air mata suka dan duka
hingga akhirnya Geoul memetik hasil yang memuaskan. Kasih sayang, kesabaran,
dan kekompakan keluarga Han merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
mereka menjalani hari-hari yang berat dan penuh tekanan itu.
Buku ini bertujuan untuk menginsipirasi keluarga lain
dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam keterbatasan ekonomi. Saya
menikmati membaca buku ini karena Pak Han cukup terbuka, jujur, dan lucu dalam
mengungkapkan kondisi yang terjadi. Bisa jadi Pak Han merupakan gambaran para
ayah yang terjerat dalam kekecewaan atas pencapaian dirinya sendiri dan
ketidakmampuan mencukupi kebutuhan keluarga, namun kemudian bangkit untuk
memperbaiki keadaan. That’s really
inspiring.
Meskipun demikian, saya merasa bahwa Pak Han juga
mewakili beribu orang tua lainnya yang terlalu fokus pada pencapaian akademis
semata dan kurang menganggap penting faktor lainnya. Anak meraih nilai ujian
yang sempurna dan menduduki peringkat teratas menjadi satu-satunya tujuan hidup
bagi orang tua seperti Pak Han. Pak Han bahkan membebaskan anak-anak dari
melakukan hal lainnya –yang mungkin bermanfaat bagi perkembangan karakter anak,
seperti membantu pekerjaan di rumah–
agar anak-anak bisa memiliki lebih banyak waktu untuk belajar. Sounds like my old-school parents :p.
Sebagai orang tua jaman sekarang, saya menekankan pentingnya belajar dan
hal-hal lainnya...heuheuheu (lebih parah ya?).
Saya juga kurang sependapat dengan cara Pak Han yang
selalu berusaha membangkitkan rasa bersalah dalam diri anak-anak jika mereka
tidak menuruti arahannya. Pak Han tanpa bosan selalu mengingatkan anak-anak bahwa sebagai
orang tua mereka telah melakukan banyak hal dan berkorban demi anak. Pasti berat untuk anak-anak,
karena pada dasarnya semua anak ingin menyenangkan dan memenuhi harapan orang
tuanya. Mami Feti bilang, “Meskipun inspiratif, kayanya nggak ada sisi fun-nya untuk anak-anak.”
Begitulah, seperti juga saya, Pak Han bukan orang tua
yang sempurna. But who is? Perjalanan sebagai orang tua adalah
perjalanan panjang tanpa peta. Pengalaman Pak Han dan keluarganya dalam
menempuh jalur yang mereka pilih akan memperkaya wawasan kita sebagai orang tua
untuk memilih jalur terbaik bagi anak-anak kita, sampai mereka siap memilih bagi
diri mereka sendiri.
PS: terima kasih, Mami Feti, buat kado bukunya !!! Thanks for showing me the way so I can be a better parent.
No comments:
Post a Comment