Beberapa waktu lalu, kantor gw membuka lowker setara management trainee (yang diharapkan bisa
langsung terbang mengangkasa dan berbakti untuk negara) serta posisi general administrator (yang akan
menjamin urusan internal organisasi tertata dengan baik sesuai standar nasional).
Perekrutan tsb merupakan hajatan besar demi mendukung suksesnya pencapaian misi
kantor gw yang berdiri 2 tahun lalu. Seluruh teman outsourcing di tim gw direkomendasikan untuk bisa mengikuti
seleksi.
Pada tahap seleksi ke sekian, panitia seleksi memerlukan
banyak pegawai minimal manajer untuk mewawancarai ratusan calon pegawai level general administrator itu. Di situ lah
gw ikutan dicemplungin memeriahkan hajatan kantor. Gw sebelumnya udah pernah sih
mewawancarai calon tenaga outsourcing
yang akan bergabung di tim kami. Tapi gw tetep deg-degan pas diminta wawancara
calon pegawai beneran. Urusannya serius nih.
Gw belom pernah dapet pelatihan atau training gimana jadi
pewawancara yang baik dan benar. Selama ini pake feeling dan nalar aja sih hihihi. Untungnya ampir semua tenaga outsourcing rekrutan yg gw lulusin emang
kerjanya bagus daaaaan....terbukti beberapa tahun kemudian dapet offering sebagai pegawai tetap di kantor lain. Mereka resign dengan happy karena dapet
kesempatan lebih bagus. Tinggallah gw kudu wawancara lagi mencari penggantinya.
Emang gampang cari gantinya? Hiks.
Sebenernya peran gw dalam wawancara calon GA itu adalah
sebagai perwakilan user. Jadi masih
legitimate lah ya, terlebih kami diberikan guide
sheet mengenai apa aja yang mesti dinilai dari para calon. Standar sih.
Integritas yang ditandai perilaku tertentu yang sesuai ama nilai strategis
kantor (gw jadi ngapalin dulu dweh) dan kompetensi dari sisi administrasi.
Setiap tim pewawancara dapat jatah 10 calon/hari, maksimal 40 menit untuk
masing-masing calon.
Karena yang diwawancara adalah anak-anak muda minimal
lulusan D3 s.d. 24 tahun, jadinya wawancaranya nggak perlu angker. Partner
wawancara gw, Pak X, orangnya sih agak serius. Soalnya dia auditor, jadi
bawaannya nyelidik melulu, hehehe. Temen gw, pewawancara di tim lain, emang rada-rada gokil. Pas satu kandidat menjawab bahwa hobinya adalah origami,
langsung disuruh bikin origami sambil ditanya-tanya (jangan-jangan mau ngetes,
bisa multitasking ngga yaa).
Gokil atau serius, sebenernya tujuan dari wawancara
adalah menggali lebih dalam mengenai sosok kandidat secara lebih menyeluruh
untuk melengkapi hasil asesmen sebelumnya. Asesmen mencakup serangkaian tes
psikologi dan tes pengetahuan. Caranya bisa dengan berbagai macam: pewawancara mengajukan
pertanyaan, memancing cerita, menyediakan panggung untuk berekspresi, atau
melontarkan masalah boongan untuk mereka pecahkan. Harapannya kantor kami akan
didukung oleh para GA yang mumpuni, menguasai masalah operasional dan manajemen
intern, serta bermotivasi tinggi. Kami juga ingin rekan-rekan GA menjadi
pendukung misi kantor dengan personilnya yang tanggap, komunikatif, dan gampang
bekerja sama. Plus enak diajak seneng-seneng atau susah-susah. Banyak ya
maunya..? Iya, gw sih ngebayangin gw bakal seneng ngga kerja bareng sama dia di saat susah maupun senang.
Ternyata banyak calon pegawai yang sudah susah-susah lolos seluruh tahap
tes, ehh.. ternyata dari wawancara ketauan profilnya kurang pas dengan apa yang
diharapkan.
Ada yang berdasarkan hasil psikotest dinyatakan pinter
tapi keukeuh mengatakan bahwa “Saya memang seperti ini, Bu, sudah karakter
saya” ketika ditanya tentang cara bergaulnya yang menurut ukuran kita-kita kurang
luwes. Ada lagi kandidat yang kelihatannya belum mantap dalam berkomunikasi,
jadi jawabannya belepetan. Ketika ditanya gimana caranya dia ngobrol atau
ngerayu pacarnya, dia jawab “Nah, itu juga menjadi masalah bagi saya, Bu”
hahaha..... Waduh, kalo jadi pegawai nanti jangan sampe deh masalahnya nular ke
kita-kita. Maksud kita kepo mengenai hubungan mereka dengan keluarga, teman,
dan rekan kerja adalah untuk tahu gimana mereka berinteraksi dan beradaptasi.
Ada yang biasa-biasa aja di atas kertas tapi menjawab
pertanyaan teknis dengan menarik. Salah satunya kandidat yang pernah bekerja di
distributor BH (iya, be ha yang underwear
itu). Dia menceritakan pengalaman kerja dengan penuh semangat dan berapi-api.
Dia kerja di bagian quality control.
Pak X langsung tertarik, “Kalo produk BH, apanya yang di-QC?” Ya elah, Bapak...
nggak perlu dicobain cup-nya satu-satu
kali... dan yang pasti, nggak perlu ngecek isinya laaaa.
Satu kandidat lain cerita ttg kerjaannya di PT Ajinomoto
yang dia bilang “hebat” karena jualan bumbu doang tapi bisa bertahan sekian
lama dan ekspor pula. Gw nahan-nahan diri untuk gak keceplosan nanya “Apa
pendapat kamu tentang MSG dan Ajinomoto?” hehehe, kuatir OOT. Pada intinya sih, kita pengen denger gimana
mereka mempersepsikan tempat bekerja dan peran dirinya dalam organisasi atau
perusahaan itu. Mereka orang penting atau bukan. Berkontribusi apa enggak.
Ada yang lucu nih. Tebak deh apa jawaban calon pegawai ketika
ditanya “Apa hobimu?”. Dari 10 orang di hari pertama, hanya 3 yang menjawab dengan
jawaban nyata: main catur, bulu tangkis, baca buku. Sisanya? Browsing (is that really a hobby?). Main sama adik
di rumah (she got to be kidding).
Ngobrol (whaaattt?). Main game (so is my 10.5 year-old daughter’s hobby).
Ngga ada waktu untuk melakukan hobi karena kuliah padat (parah!). Oh iya, ada
satu yang kayaknya keberatan ditanya ttg hobi as if we were crossing the line.
Come on.....
Kita pengen ngintip
kepribadian seseorang dari hobinya, apakah dia risk taker, apakah dia senang dalam kesendirian, apakah dia
kreatif, dll. Yang jelas kita pengen tahu banget apakah mereka ‘memoles’ dan ‘memperkaya’
diri dengan kegiatan yang menyenangkan dan bermakna.
Trus yang absurd adalah info dari tim pewawancara sebelah
(oh yes, we shared information...!
Believe me, most interviewers like us liked to compare notes) bahwa salah satu
kandidat tercatat menganggur dalam 2 tahun setelah lulus D3. Ketika ditanya apa
yang dilakukan selama 2 tahun itu, dia menjawab “Yah, saya ngelamar-lamar kerja
aja sih, Bu”. Dan dia nggak
ngapa-ngapain lagi dong. 2 tahun, man!!
Kacau tu anak. Sebenernya yang kita pengen denger adalah jawaban seorang juara,
anak muda yang tidak gampang putus asa dan bermental baja. Nggak cuma nunggu
diterima kerja.
“Selama saya menunggu respon atas lamaran pekerjaan yang
saya cita-citakan, saya kerja part time
di kampus/toko/perusahaan/lembaga kursus”.
Atau “Saya bantu orang tua dagang/jaga warung”.
Atau “Saya ikutan lembaga nir laba yang mendukung
kesadaran terhadap AIDS/HIV/kanker/anti korupsi”.
Atau “Saya jadi kuli bangunan”. Atau “Saya narik becak di
pasar”. Atau “Saya jualan gorengan”.
Atau "Saya kerja mandiin macan galak sampe 3x digigit".
Atau apa gitu, kek. Yang penting jangan NGANGGUR!
Atau apa gitu, kek. Yang penting jangan NGANGGUR!
Mendengar jawaban itu, temen gw langsung nepsong mem-black list kandidat tadi tanpa basa-basi.
Nah, beberapa kandidat aneh yang kami wawancarai itu termasuk Generation Y yang mbalelo (maksudnya, ngga sesuai dengan deskripsi Gen Y
menurut Renee Suhardono, adalah generasi yang terkesan jauh lebih cepat,berdaya dan berani). Ya itu tadi. Motivasi rendah. Lebih menonjolkan
ke-aku-an untuk dimengerti, tanpa mengerti orang lain. Pasif dan nggak kreatif.
Waduuuh, gelo atiku....
Tapi Alhamdulillah, ada juga kandidat yang bagus. Salah
satunya kandidat dari daerah yang nun jauh di barat Indonesia. Sejak SMA dia
sudah membiayai sekolah sendiri dengan bekerja serabutan. Biaya kuliah
ditanggung dengan bekerja sebagai operator dan admin generator listrik.
Kecerdasannya juga lumayan. Saya kasih nilai tinggi, mudah-mudahan dia lolos. If I were to work a tough project with
someone, I would like him to be my partner. Coba ada lebih banyak anak muda
kayak dia.
Jadi selama 2 hari gw mewawancarai 13 orang calon
pegawai, gw juga belajar banyak hal dari mereka. Gw belajar berempati standing on their shoes, gimana rasanya
jadi mereka. Gw belajar untuk ngga jumawa, merasa diri lebih pinter (padahal
kenyataannya yang lebih dari gw adalah cuman lebih tua doang :p). Gw belajar
sabar menangkap informasi yang mereka sampaikan karena sesungguhnya banyak hal yang disampaikan itu ada di luar pengetahuan kita. Gw belajar memberikan
pertanyaan yang tepat. Gw belajar mengasah feeling
dan intuisi gw yang sebenernya parah banget (karena menurut gw semua orang itu pd
dasarnya baik, pinter, jujur, dll). Gw belajar untuk bilang “tidak” terhadap
kandidat yang memang nggak layak. Jujur aja... jadi pewawancara itu cukup menguras tenaga dan pikiran lho. Masalahnya, nasib orang dan nasib lembaga euy.
Saking deg-degan, setiap gw memulai, mengakhiri dan menandatangani berkas berita acara
wawancara, gw nggak lupa mengucap “Bismillahirrahmanirrahiiim”. Semoga apa yang
kami lakukan merupakan bagian dari ibadah yang diridhai Allah SWT. Mudah-mudahan
hasil wawancara juga menjadi jalan kebaikan bersama: kebaikan buat kantor gw, buat calon pegawainya, buat semua pihak. Amiin YRA.
No comments:
Post a Comment