Malam semakin larut. Lebih dari jam 10. Anakku belum
pulang. Dia sudah bukan anak-anak atau remaja lagi. Tapi aku masih merasa ingin
menunggunya. Sekedar menyapanya, menanyakan kabarnya hari ini.
Anakku yang cantik. Anakku yang baik. Anakku yang mandiri
karena keadaan. Kudidik dia dalam diamku. Dalam setiap sen yang aku khususkan
untuk sekolahnya, kursusnya, buku-bukunya, latihan basketnya. Dalam soto ayam,
nasi goreng bawang dan ketoprak kesukaannya. Dalam kesederhaan.
Aku bukan orang modern, aku orang kuno. Yang menganggap
kerja lebih baik daripada kata-kata. Yang berprinsip tak perlu mimpi
tinggi-tinggi, yang penting hidup mandiri. Yang merasa dosa jika jadi orang
kaya. Tapi entah bagaimana (mungkin karena doaku juga), anakku tumbuh pesat,
liar, dan bercabang ke mana-mana. Dia adalah anak pembelajar yang cerdas
memahami keadaan, berdasarkan pengamatan dan pendengarannya sendiri karena tak pernah banyak aku jelaskan. Dia adalah anak peniru
yang kreatif. Dia adalah anak penjelajah yang bermimpi jalan-jalan ke sudut
dunia. Dia pemimpi yang pandai mengukur diri, sabar menenun dahulu sayap-sayapnya
sampai siap terbang ke dirgantara.
40 tahun sudah usianya. Anakku yang cantik. Anakku yang
baik. Anakku yang mandiri. Bukan anak-anak atau remaja lagi. Tapi aku masih
ingin menunggunya pulang kantor malam ini. Tadi pagi dia pamit. Ada rapat
sampai malam, katanya. Dia pamit seperti beberapa hari sebelumnya, “Maaf, Ibuk aku tinggal, aku ada kerjaan ke
luar kota. Aku titip Lintang yo, Buk, dia sedang ujian.” Entah kemana lagi
dia menuju pada esok hari. Mudah-mudahan kau bahagia, Nak, batinku.
Selama seminggu ini aku mengunjunginya di Ibukota, baru
beberapa kali saja aku bisa berbincang dengannya. Pulang kantor, anakku terlihat
capek. Setelah menyapaku beberapa kalimat standar, dia mengalihkan perhatian
kepada Lintang lalu kepada suaminya. Lalu kepada si Mbok tentang detil rencana
esok hari yang sibuk, perlu ini itu. Kemungkinan terbaik: aku hanya mendapatkan sisa dari harinya
yang panjang dan melelahkan. Terburuk: dia duduk, diam menatap layar televisi tanpa berkata-kata membiarkanku menuju kamar untuk mendahuluinya tidur.
Aku lebih sering ngobrol dengan si Mbok. Atau dengan Lintang,
sepulang dia sekolah. Atau besanku ketika mereka berkunjung. Atau si Emak
penjual mainan di depan SD sebelah rumah anakku. Atau Bu Kardi, penjual
gorengan di Gang IV. Aku bercakap dengan anakku melalui mata dan mulut mereka
yang mengenalnya. Begitu juga sebaliknya, mereka mengenal anakku melalui aku saking
jarangnya mereka bersua.
Dari mereka itu aku tau anakku mestinya baik-baik saja,
sehat, dan sukses-sukses saja. Syukurlah jika memang begitu karena tak pernah dia
mengeluh atau menangis, kecuali 2 kali. Pernah dia menelpon, mengeluhkan kondisi
kantor dan bosnya yang menyebalkan. Aku kaget, baru sekali itu dia punya
masalah dan minta didengarkan. Ternyata aku masih berguna juga, meski hanya sebagai pendengar. Kali lain, dia menangis karena marah kepadaku. Dia merasa frustasi
karena aku menolak bantuannya untuk bersih-bersih rumahku yang memang sudah reyot,
kumuh tak terurus dan penuh oleh segala macam barang yang kukuh aku pertahankan.
Malam semakin larut. Surya, suami anakku dan Lintang,
cucuku, sudah merapat ke kamar masing-masing. Tanpa dongeng sebelum tidur. Tapi
anakku belum pulang juga. Inikah dunia baru itu? Dunia di mana waktu semakin
tak bermakna. Siang dan malam tak lagi berganti-ganti karena selalu diisi kerja
dan kerja. Inikah dunianya? Dunia di mana dia tidak sempat lagi memasak soto
ayam, nasi goreng, atau ketoprak untuk anaknya. Ah, aku tidak tahu. Mungkin aku
yang keliru. Dunia zaman sekarang tidak perlu lagi bukti cinta berupa soto
ayam, nasi goreng, atau ketoprak. Mungkin aypon dan jalan-jalan ke luar negeri
sudah menggantikan menu-menu kesayangan itu.
Wulan --anakku yang cantik, baik hati dan mandiri-- belum
pulang. Aku masih menunggu. Aku ingin yakin bahwa ia baik-baik saja, sehat, dan
sukses-sukses saja. Dengan demikian, dongeng sebelum tidur yang terlewat dan
soto ayam yang belum sempat diracik itu sepadan dengan kebahagiaannya atas
kehidupan yang penuh makna. Semakin dia bahagia, semakin aku lega bahwa telah
kuwariskan sedikit kebaikan baginya. Bukan warisan (risiko) penyakit, postur, dan cara
bertutur saja.
Malam ini aku akan tetap menunggu. Tak peduli berapa umur
anakku, aku tetap merindu. Aku tahu dia akan lebih lelah dari biasanya. Tak apa,
Nak. Senyum dan sapa singkatmu nanti akan cukup bagiku.
Ibu tunggu karena Ibu rindu.