Kebanyakan orang tidak senang dengan
perubahan. Termasuk Mr. Corporate Star di kantor saya. Dedikasi
dan prestasinya tidak diragukan lagi. Sederet pujian dan penghargaan atas
kontribusi di kantor, di organisasi, dan di majalah bukan lagi hal baru
baginya. Tak urung, dia berkata bahwa dia paling anti perubahan, tidak menyukai
hal-hal yang baru, dan lebih percaya pada hal-hal yang telah teruji mampu
menghadirkan keamanan dan kenyamanan.
Aha!
Ingin rasanya saya bersorak. Saya tidak sendiri. Saya juga tidak suka perubahan.
Kalaupun ada perubahan, tentunya sudah saya rencanakan sematang mungkin supaya
tidak terlalu menimbulkan gejolak dan ketidaknyamanan. 10 tahun lalu saya
berani beralih kantor justru karena terpaksa; di kantor lama saya sudah sangat
tidak merasa aman dan nyaman. Pilihan saya hanya bertahan atau pindahan.
5 tahun lalu saya berani sekolah lagi di
negeri orang, juga karena saya jenuh melakukan pekerjaan berulang dan merasa
perlu tantangan baru. Tantangan itu saya bayar mahal dengan kehilangan berat
badan, mata cekung dengan lingkaran hitam ala panda, berpisah dengan suami, dan
jadi ibu ‘ratu tega’. Jauh-jauh sang ilmu saya tuntut mati-matian, hasilnya
‘hanya’ perspektif baru dalam memandang pekerjaan saya yang lama. Ya. Pekerjaan
yang lama, yang berulang-ulang dan membuat jenuh itu. Dengan cara melihat yang
baru itulah (alasan klise untuk menghindar dari perubahan ekstrem yang saat itu
sudah tak sanggup saya tanggung) saya kembali ke haribaan bangku saya yang
lama, layar komputer yang sama, posisi yang sama.
Seperti ayam jantan yang selalu berkokok
di jam yang sama, saya adalah mahluk ritual dan saya benci semua hal yang
merusak itu. Saya ingin duduk di kursi yang sama di perpustakaan. Sepanjang
masih tersisa, saya akan lari di threadmill
yang sama. Dalam meeting, saya
buru-buru duduk di sebelah orang yang pertama saya kenali. Sepatu baru saya
kemungkinan baru akan dipakai 3 bulan dari tanggal pembeliannya. Saya ajak
keluarga berlibur ke tempat yang sudah pernah saya atau suami datangi ketika
acara kantor kami. Pendeknya, saking sulitnya berubah dan cintanya pada
kebiasaan lama, saya menjadi agak membosankan.
Dan sekarang, kantor saya sedang dilanda
demam perubahan. Banyak yang merasa takut, seperti saya. Memang belum seserius ancaman
PHK. Tapi berbagai pikiran negatif langsung muncul seiring makin santernya
berita perubahan itu. Saya merasa terusik, bagaimana nasib saya nanti? Apakah
tuntutan dan tekanan pekerjaan akan lebih besar? Jam kerja lebih panjang?
Akankah saya dikelilingi rekan-rekan kerja yang sekaligus sahabat saya seperti
sekarang? Mampukah saya cepat beradaptasi dengan kondisi baru? Kalau kantor
kami pindah lokasi, commuting time
bisa makin panjang dong? Will I be happier? Will I be more
fulfilled?
Mr. Corporate
Star bilang bahwa salah satu cara menghadapi dan menjalani perubahan adalah
dengan meyakini bahwa perubahan
adalah keniscayaan dalam hidup ini. Ada
perubahan yang bisa kita kendalikan, ada juga yang di luar kuasa manusia.
Ketika kita menjadi bagian penting atau penggerak dari perubahan itu, kita
sesungguhnya berusaha mengambil kendali atas perubahan tersebut sehingga
manfaatnya akan terasa lebih besar dari mudharatnya. Ketika perubahan itu di
luar kuasa manusia, resepnya hanya satu: ikhlas, katanya.
Keikhlasan merupakan bentuk yang abstrak
buat saya. Mudah diucapkan, sulit untuk
dilakukan. Tapi rupanya Allah SWT mencoba lagi menunjukkan pada saya. DIA
mempertemukan saya dengan seseorang secara sepintas lalu dalam kursus manajemen
yang saya ikuti minggu ini.
Ia adalah seorang penyiar radio di
Belanda, membawakan siaran khusus tentang Indonesia. Hidupnya tenang dan damai
sampai terjadinya krisis ekonomi di Eropa. Rasionalisasi stasiun radio di akhir
tahun ini memaksanya untuk cepat berpikir mengenai kemungkinan yang bisa ia
tempuh setelah berhenti bekerja. Ia memilih pulang ke Indonesia dan membuka
biro jasa konsultan komunikasi proyek.
Kenapa jasa komunikasi? Karena itulah bidang keahliannya. Spesialisasi biro jasanya adalah proyek
di Indonesia yang bekerja sama dengan konsultan dan penyedia jasa teknis dari
Belanda. Kenapa proyek dan kenapa Belanda? Lama tinggal di Belanda, membuatnya
mengenali karakteristik lansekap kota di Belanda yang mungkin berguna untuk
penataan kota di Indonesia. Proyek pionirnya adalah mensukseskan pembangunan
bendungan pantai utara Jakarta yang akan ditangani oleh ahli teknik bendungan
dari Belanda. Voila. Semua itu
terjadi padanya dalam waktu yang sangat singkat.
Keputusannya memang terkesan cepat. Tapi
sesungguhnya saya yakin, ia telah bertahun-tahun mempersiapkan diri untuk
berbagai kemungkinan yang ia sendiri mungkin tidak pernah tahu ke arah mana. And one good
thing leads to another. Kecintaan pada pekerjaannya,
ketertarikannya pada lansekap kota, dan ingatannya pada tanah air secara
sambung-menyambung telah berkonspirasi menjadikan dirinya seperti saat ini,
dengan keputusan yang seperti sekarang.
Mungkin inilah yang disebut Mr. Corporate Star dengan ikhlas menerima
perubahan sekaligus berperan aktif dalam mengarahkan perubahan itu menjadi
(sedikitnya) sesuai keinginan kita, untuk keuntungan kita, demi kebahagiaan
kita. Kenali diri kita, kenali kelebihan dan kekurangan kita, dan kenali apa
yang bisa kita tawarkan pada dunia. Bahasa sederhananya: build your core competency.
Meski saya sudah bertemu dengan Mr. Corporate Star dan Pak Konsultan, saya
masih merasa takut akan perubahan. Dan saya akan terus merasakan perasaan itu
sampai akhirnya saya harus berhadapan dengannya. Tapi saya percaya pada perubahan
karena perubahan adalah esensi dari kehidupan. Melarikan diri dari perubahan adalah
sesuatu yang paradoksial, karena ternyata pelarian itu menuntut kita untuk juga
berubah.
Saya harap ketika saya bertegur sapa dengan perubahan di kantor saya, saat
itu saya akan menyambut perubahan
sebagai suatu kesempatan dan suatu penyegaran, bukan ancaman. Sebagai satu lagi pintu yang terbuka
untuk saya. Untuk bisa berbuat sesuatu yang bermakna.
No comments:
Post a Comment